Relawan Nemu Buku sudah sibuk sedari siang. Ada yang belanja bahan makanan, memasak, atau sekadar ikut bersih-bersih. Cuaca hari itu cukup cerah--di Palu, cerah bermakna matahari sedang terik-teriknya.
Itu hari penting bagi mereka yang pernah bergiat, terlibat, atau sekadar bersentuhan dengan Nemu Buku, satu perpustakaan mini dan ruang literasi mandiri di Palu. Rabu, 17 Agustus 2022, Nemu Buku sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-15.
Menyiapkan perayaan sederhana macam ini tidak butuh waktu lama. Relawan berdatangan bukan sebagai tamu. Mereka terjun ke dalam kesibukan sambil bertanya, “Apa yang bisa saya kerjakan?” lalu mulai bekerja.
Ini perayaan spesial, sejak gempa 2018, aktivitas Nemu Buku agak menurun. Bangunan yang hancur lantaran "goyang tanah" jadi salah satu penyebabnya. Kini, di Tururuka nomor 27, sudah berdiri satu bangunan baru yang sedang dalam tahap finalisasi.
Bangunan baru itu menghadap ke arah barat. Senja nan terik bikin suasana tambah hangat. Cahaya matahari masuk lewat sela-sela jejeran bambu dan daun pintu yang terbuat dari kaca, menerangi punggung buku dalam perpustakaan. Di Beranda Nemu Buku, senda gurau makin jadi di antara para relawan.
Azan magrib berkumandang, makanan telah disajikan. Yang lain mulai bersantai dan beberapa yang lain menyiapkan layar tancap untuk pemutaran video pendek berdurasi kurang dari 7 menit.
Orang-orang masih berdatangan, mereka membawakan makanan tambahan. Sebagian besar orang yang berkumpul saling kenal. Sekumpulan kawan yang lama tidak ketemu membikin suasana makin hidup. Tawa dimana-mana.
Lepas azan isya, acara dimulai. Abizar, salah seorang relawan, malam itu berperan memandu perayaan. Ia meminta Neni Muhidin, Pendiri Nemu Buku, untuk membacakan doa.
“Semoga Nemu Buku bisa terus menebar kebaikan dan relawannya diberi kesehatan” Kata Neni. “Aaaamiiiiin” dibalas serentak oleh para relawan. Begitu doa selesai, sebuah kue dalam dos dipotong dan dibagi. Lebih banyak lagi yang memilih makan nasi.
Nemu Buku, mulanya berdiri tahun 2007, merupakan perpustakaan mini di ruang bekas garasi. Rak-raknya disusun dengan lembaran papan yang dijepit batako. Yang dipajang ialah sejumlah koleksi pribadi milik Neni Muhidin.
Pada masa itu, gagasan mendirikan perpustakaan (bahkan yang mini sekalipun) jadi hal “aneh” di beberapa lingkaran pertemanan Neni Muhidin. Main band, motoran, atau menongkrong adalah sesuatu yang lebih menggambarkan semangat muda. Bukan baca buku.
Ruang itu tumbuh pelan-pelan. Kolega dan kerabat Neni Muhidin banyak sumbang bahan bacaan.
Dalam proses tumbuhnya itu pula, Neni Muhidin bertemu kawan se-hobi di Kota Palu, yang tidak lain cikal bakal lahirnya program Nombaca.
Beranggotakan empat orang dengan Neni Muhidin, sebuah obrolan berbagi hasil bacaan jadi topik kelompok kecil itu. Tiap pekan lokasinya berubah, sebelum akhirnya jadi rutin di Nemu Buku.
Pada perjalanannya, Nemu Buku seumpama rumah bagi banyak komunitas di Kota Palu. Beberapa program Nemu Buku diinisiasi oleh banyak relawan dan komunitas. Semisal Bioskop Jumat, Malam Puisi Palu, atau Kelas Menulis Palu. Program lainnya ada Roadshow Buku dan Hagala buku.
Ada begitu banyak kolaborasi yang dilakukan bila ada ide buat sesuatu. Kolaborasi sering kali muncul sebagai keterlibatan personal. Para relawan banyak bantu ini dan itu. Seperti saat menerbitkan sekaligus meluncuran buku “Selfie; Sewindu catatan dari Palu”, sebuah buku yang ditulis Neni Muhidin itu berasal dari dana gotong royong.
Kini, di usia 15 tahun, sudah banyak hal dilewati Nemu Buku. Termasuk kendala dana operasional ataupun silih bergantinya relawan. Meski begitu, para pegiatnya tidak habis akal menghidupkan ruang literasi ini.