Suasana hiruk pikuk tersaji di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (20/10/2023) siang. Orang-orang dari berbagai kelompok etnis di Indonesia sibuk mempersiapkan giat kebudayaan masing-masing.
Selasar gedung putih yang sarat dengan sejarah School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) itu diisi beragam stan pameran.
Penanda bahwa Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 siap menyambut masyarakat yang datang berkunjung.
Dalam salah satu ruangan, tampak sebuah sketsa monokrom yang diletakkan melebar di dinding museum. Ada tiga gambar bersusun yang menceritakan seorang perempuan yang melewati orang yang tengah duduk.
Susunan gambar di baris paling atas bertuliskan “Tidak Sopan”. Gambar di tengah bertuliskan “Kurang Sopan”. Sedangkan paling bawah bertuliskan “Sopan”. Ada tulisan “Tabe” besar di bawahnya.
Bila melihat gambar dan membaca kata-kata yang terpampang, maka kita bisa memaknainya semacam tutorial bagaimana etika berjalan melintas di depan orang.
Sementara itu, terlihat seorang laki-laki memakai iket Sunda berkain batik biru di kepalanya, berdiri di samping gambar. Tugasnya menjelaskan makna gambar kepada pengunjung.
“Tabe, bagi orang Kaili ini semacam kebiasaan permisi saat melewati orang. Tabe ada juga lagunya. Sudah ada empat lagu anak berbahasa Kaili yang kami ciptakan,” jelas Ribut Cahyono laiknya seorang pemandu.
Ibut, sapaan akrabnya, menjabat sebagai Ketua Yayasan Peduli Musik Anak Indonesia (YPMAI) yang berbasis di Bogor, Jawa Barat.
Saat bersua Tutura.Id, Ibut menjelaskan bahwa musik bisa menjadi alat pendidikan yang dapat menanamkan nilai-nilai karakter. Jadi, tak melulu sekadar menawarkan hiburan.
Rupanya budaya tabe yang tumbuh dan tertanam dalam laku orang-orang Kaili tidak hanya hadir dalam bentuk sketsa tutorial, tapi juga dalam wujud lagu berjudul “Tabe”.
Tepat di samping gambar sketsa tadi, ada alat pemutar musik lengkap dengan penyuara telinga (earphone).
Setiap pengunjung bisa merasakan pengalaman lengkap dalam mencerna informasi tentang tabe; melihat secara visual (sketsa) dan mendengar melalui lagu.
Terciptanya lagu "Tabe" adalah hasil diskusi bersama lewat Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Sulteng. Penyusunan lirik berbahasa Kaili dengan dialek Ledo dibantu langsung oleh orang Kaili.
Begitu pun dengan penulisan lirik tiga lagu lainnya, yakni "Lalove" ( alat musik sulteng), "Ule Sava" (ular sawah), "Naroo Mayaa" (kepercayaan diri).
Ibut merasa penting melibatkan langsung penutur bahasa ibu Kaili Ledo. Musabab cara orang Kaili-Ledo melafalkan huruf "v" berbeda dengan huruf "v" dalam Bahasa Indonesia.
FTBM Sulteng pun menjadi kolaborator dalam PKN 2023, yang mengusung tema “Pendidikan yang Berkebudayaan”. Pendidikan pada anak jadi fokus.
Olehnya, FTBM Sulteng mengutus TBM Sou mPombaca Tata Vuri yang terletak di Tipo, Ulujadi, Palu, sebagai perwakilan untuk tampil di PKN 2023.
Ada lima anak dari TBM Sou mPombaca Tata Vuri akan tampil membawakan empat lagu hasil kolaborasi dengan YPMAI di Museum Kebangkitan Nasional, Senen, Jakarta Pusat (25/10).
“Rencanya lagu ini akan menjadi album lagu pendidikan anak berbasis Bahasa Kaili. Ke depannya bisa bekerja sama dengan sekolah untuk digunakan sebagai media pendidikan yang tidak hanya di sekolah tetapi juga keluarga," tutur Irzan, pendiri TMB Sou Pombaca Tatavuri saat dihubungi, Minggu (22/10).
Tabe' sebagai budaya permisi
Seorang pengunjung perempuan dengan dialek khas Sunda turut mengomentari sketsa tabe yang terpampang di hadapannya. Dia mencoba mencerna makna gambar.
“Tabe itu mungkin mirip punten kalau di Bahasa Sunda. Ternyata di setiap daerah ada istilahnya. Menunjukkan orang memang harus tahu cara permisi,” lontarnya.
Informasi tentang budaya tabe sebagai ucapan permisi yang sopan dan beretika itulah yang menjadi inti kehadiran Sulteng di PKN 2023. Turut dikenalkan bahwa budaya tabe juga ada di Suku Kaili.
Ribut Cahyono yang memproduseri lagu “Tabe” mengungkapkan, pentingnya mengenalkan keberagaman tradisi leluhur. Sama pentingnya dengan ikut melestarikan budaya permisi ini kepada generasi muda.
Olehnya, lagu "Tabe" ikut menyasar misi sebaran pengetahuan pada anak dengan rentang umur 12-15 tahun. Sebab ditemukan adanya keprihatinan menurunnya kesadaran anak dan remaja dalam bersopan santun, terutama pada orang-orang yang lebih tua.
Ibut menyebut kebiasaan mengucap “tabe” di saat hendak melewati orang yang lebih tua kini tidak lagi dipratikkan secara ketat. Melalui lagu ini, ia berharap anak-anak bisa kembali diingatkan lewat irama yang ringan dan menyenangkan.
“Cara orang bertutur di setiap daerah akan semakin terlihat. Karya yang dipajang oleh teman-teman dari Palu tentang tabe bagaimana sopan santun mempunyai kesamaan di beberapa daerah. Seperti di Makassar orang juga menyebutnya tabe, di Sumatera dikenal dengan tabik, dan kalau di Sunda menggunakan punten,” bebernya.
Meskipun budaya permisi memiliki istilah yang berbeda di tiap daerah, makna dan nilai tetap sama. Gestur saat mengucapkannya juga mirip. Ini menjadi bukti tanda persilangan budaya nusantara yang beragam.
“Kalau setiap orang dapat memahami dan peduli tentang kearifan kebudayaan ini, orang akan tertarik untuk berkunjung. Ini dapat menciptakan ekosistem budaya jadi hidup,” pungkas Ibut.
Tabe Pekan Kebudayan Nasional 2023 Pekan Kebudayan Nasional PKN 2023 Yayasan Peduli Musik Indonesia orum Taman Baca Masyarakat Sulteng BM Sou Pombaca Tata Vuri