
Gustav Pator tampak asyik menghabiskan malam dengan berdiskusi perihal dunia audio dengan seorang kawannya di Perpustakaan Mini Nemu Buku, Jalan Tururuka, Palu Selatan (19/9/2022).
Di samping mereka sebuah laptop menganga menampilkan aplikasi Adobe Audition. Lalu dengan saksama mereka menatap sebuah papan tulis penuh coretan dan gambar mirip diagram detak jantung. Sesekali saling mempraktikkan apa yang sedang mereka bicarakan.
Jika tiba giliran mendapat pertanyaan dari sang kawan, maka Pator—demikian panggilan akrabnya—menjelaskan dengan penuh semangat. Kadang ia menulis di udara, kadang pula di papan tulis.
Pator yang lahir di Palu, 1987, berprofesi sebagai audio engineer. Sebuah keahlian yang merujuk pada kecakapan seseorang dalam bidang produksi suara dan musik. Istilah ini sebenarnya sudah cukup familiar, tapi masih kerap disalahpahami oleh banyak orang.
Terkadang ia dilabeli sebagai individu yang berprofesi sebagai sound engineer alih-alih audio engineer. Padahal baginya dua bidang profesi yang sekilas mirip itu punya perbedaan.
Seorang sound engineer menurutnya adalah orang yang memiliki keahlian memahami plus menggunakan perangkat keras (hardware) saat hendak rekaman atau manggung. Sementara audio engineer akan mengolah hasil rekaman tersebut memanfaatkan perangkat lunak alias software.
Dua istilah tersebut juga punya padanan masing-masing dalam Bahasa Indonesia. Penata suara kerap digunakan sebagai padanan sound engineer, sedangkan laman Wikipedia memunculkan rekayasawan audio untuk pengganti audio engineer.
Pator menjelaskan bahwa secara umum sedikitnya ada tiga tahapan yang harus dilalui ketika ingin menggeluti bidang pengelolaan audio. Bagian mendasar adalah memahami kebutuhan proses awal rekaman (tracking). Fase ini membutuhkan keahlian menggunakan berbagai peralatan dan peranti lunak dengan pemahaman standar frekuensi sebuah suara.
Tahap berikutnya adalah kecakapan mengolah hasil rekaman atau mencampur hasil rekaman (mixing) untuk membangun suasana, semisal meletakkan suara-suara di posisi tertentu. Proses terakhir memoles sebuah hasil rekaman (mastering) dalam satuan LUFS (Loudness Unit Full Scale) agar terdengar makin empuk di telinga. Serupa memoles cat vernis pada mebel agar terlihat lebih kinclong.
Di Indonesia, tiga tahapan kerja di atas berbeda dengan standar kerja di Eropa. Bila di Eropa dikerjakan oleh masing-masing orang pada setiap tahapan, di Indonesia kebanyakan dikerjakan oleh hanya dua orang. Tahapan tracking dikerjakan satu orang, lalu tahapan mixing dan mastering rangkap dikerjakan oleh satu orang.
Pator mulai tertarik dan menyukai dunia audio saat bergabung dengan Tank Top dan Respect Your Mom sebagai bassis, dua band yang ia dirikan bersama kawan-kawannya semasa kuliah sekitar 2006.
Bergabung dalam dua band tadi membuatnya penasaran dengan proses lahir dan tersebarnya sebuah lagu.
Jauh sebelumnya Pator menduga kuat bahwa kesukaannya terhadap dunia audio menurun dari ayahnya, Jaya Rantetasik. Mendiang ayahnya tercatat sebagai penggebuk drum kelompok Madness, band lokal yang pernah dihuni Abdee Negara (kini gitaris Slank).
Keseriusannya menggeluti dunia audio mewujud pada 2008 dengan mendirikan studio di rumahnya yang diberi nama Jags Studio. Momen tersebut juga menjadi titik awal Pator coba-coba membuka jasa dalam pengelolaan audio rekaman.
Semua dikerjakannya sendiri, mulai dari menyediakan peranti rekaman sampai mengelola hasil rekaman. Belajar pun sendiri alias autodidak. Tarif yang ia patok kala itu Rp150 ribu untuk jasa rekaman dan penyuntingan.
Vaporize dan Scarhead Barricade adalah ada dua band lokal Palu yang menggunakan jasanya untuk rekaman. Sebagai band lokal, target mereka tak muluk. Minimal lagunya bisa tembus terputar di stasiun radio. Pator dapat memenuhi target tersebut.
Seiring perjalanan waktu, Jags Studio hanya sanggup bertahan hingga 2013. Setelahnya jadi kurang beraktivitas karena pada masa itu kebanyakan orang sedang keranjingan Blackberry, sebuah jenama ponsel pintar yang pernah sangat populer. Sedikit banyak memberi pengaruh pada berkurangnya minat memproduksi karya.
Apa yang Pator lakoni saat ini jauh berbeda dengan disiplin ilmu yang didapatkan semasa kuliah sebagai mahasiswa Sosiologi di Universitas Tadulako (Untad).
Pun demikian, ada satu momen di masa kuliah yang menurutnya turut membantu instingnya dalam menyelami proses rekaman, yakni saat menggarap kebutuhan audio untuk pementasan kabaret mahasiswa Ilmu Komunikasi Untad pada tahun 2009.
Tidak mudah bagi Pator untuk terus melakoni kesukaannya tersebut sebagai profesi. Apa yang jadi kecintaannya belum diperhatikan sebagai profesi yang serius di Palu. Iklimnya belum terbentuk sebagai sebuah industri yang bisa menjanjikan.
Oleh karena itu, Pator mencoba realistis dengan menjajal profesi-profesi lain demi mendapatkan penghasilan demi menghidupi keluarganya. Pernah ia jadi sales barang elektronik, honorer, bahkan pernah jadi seorang debt collector. Selepas kerja barulah ia kembali menenggelamkan diri dengan menyimak berbagai konten tentang dunia audio di YouTube. Kebiasaan ini bertahan hingga sekarang.
Merasa tetap butuh pendidikan formal, ia memutuskan menimba ilmu di Jogja Audio School (JAS) milik Fahmy Arsyad Said yang juga sesama anak Palu. Salah satu alumni JAS yang jadi teman sekelasnya adalah Alffy Rev—seorang YouTuber, komposer, dan produser musik.
Selama belajar di Kota Gudeg periode 2019-2020, ia banyak mendapatkan tambahan pengetahuan baru setelah satu dekade belajar secara autodidak tentang seluk-beluk audio rekaman. Alhasil ia berhasil membawa pulang sertifikat Mixing & Mastering Engineer.
Setelah lulus dari JAS, Pator langsung kembali ke Palu. Lalu terlibat dalam proses pengerjaan film “Kabar dari Amal” dan “Turun ke Atas” yang dikerjakannya pada tahun 2020.
Dalam proses belajarnya Pator mengaku terinspirasi sosok Marc Daniel Nelson, seorang produser musik dan mixing audio engineer. “Teruslah belajar. Bila sudah habiskan seribu jam belajar, pertahankan dan tambah durasi belajar itu. Karena dalam dunia audio tidak ada hal yang baru dan baku. Yang terjadi adalah pengulangan. Karena mixing bukan sekadar menyelesaikan masalah, tetapi juga melahirkan inovasi,” ujar Pator mengutip ucapan sosok yang dikaguminya.
Lalu, Pator sekali lagi memperkaya pengalaman belajarnya itu lewat kursus jarak jauh yang dilaksanakan secara daring pada 2021. Pator jadi peserta tunggal asal indonesia. Sementara itu, penyelenggaranya—Hardcore Music Studio—berbasis di Kanada. Fokus utama kursus itu membicarakan tentang mixing engineer.
Seiring makin meratanya perkembangan industri rekaman dan panggung konser, Pator berharap iklim seni mengelola audio juga terbangun mapan terbangun di Palu. Sehingga profesinya bisa dipandang seperti halnya profesi lain.