I Putu Ardika Yana; rekaman kepedulian Pemkot Palu terhadap masalah mental
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 1 September 2022 - 11:33
Bagikan ke:
TUTURA.ID - I Putu Ardika Yana; rekaman kepedulian Pemkot Palu terhadap masalah mental
I Putu Ardika Yana, sumber: https://www.instagram.com/p/CGul9zCnnJI/

Profesi menjadi psikolog sebetulnya bukan pilihan pertama I Putu Ardika Yana. Opsi pertama pria kelahiran Palu, 15 Oktober 1989, ini menjadi seorang dokter.

Lantaran biaya pendidikan dokter terbilang mahal, Ardi, demikian sapaan akrabnya, akhirnya melirik psikolog. Pilihan itu terlintas saat dirinya duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Atas.

Keluarga Ardi yang punya latar belakang di bidang kesehatan terang menyokong penuh pilihan tersebut. Jadilah kemudian ia melanjutkan jenjang studi hingga strata dua di Yogyakarta. Kelar menyelesaikan kuliah, Ardi kembali ke Palu untuk mengamalkan bidang keilmuan yang telah diperolehnya. Begitulah ihwal alasan Ardi menjalani profesinya sekarang.

Ardi menjadi satu di antara 3000-an psikolog klinis yang ada di Indonesia. Ia juga menggenapi total 18 orang psikolog klinis yang berada di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Daerah-daerah di Sulteng selain Kota Palu belum ada psikolog klinis. Beberapa dari mereka yang buka praktik di luar rumah sakit sekitar 6-7 orang.

Secara keseluruhan jumlah psikolog klinis, psikolog industri, dan psikolog pendidikan yang ada di Sulteng sekitar 30 hingga 40-an orang.

Jumlah itu belum menyertakan para sarjana dan magister psikolog di Universitas Tadulako yang sudah punya beberapa dosen psikolog. Kehadiran mereka untuk mengajar, bukan untuk memberikan layanan kesehatan jiwa. Tentu jumlah tersebut masih jomplang dibandingkan jumlah penduduk.

Ikhtiar awal yang dilakukan Ardi adalah mendirikan komunitas Sejenak Hening sebagai pusat layanan kesehatan mental masyarakat dan pendidikan. Saat awal pandemi Covid-19 merebak di Palu, Ardi dan rekan-rekannya di komunitas ini turut memberikan pendampingan psikologis gratis kepada masyarakat.

Berikutnya Ardi turut pula membidani lahirnya komunitas Rumah Berbagi. Harapannya "rumah" tersebut jadi tempat memumpuk kesadaran dan kepedulian tentang pentingnya isu-isu terkait kesehatan mental.

Melalui dua wadah tadi Ardi coba menyelami seluk-beluk masalah mental yang menimpa para warga di Sulteng, terkhusus di Palu dan Sigi, Biromaru.

Minim Dukungan Pemerintah Kota

Ardi menilai kesehatan mental sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Penanganannya seharusnya preventif. Bukan menunggu setelah ada laporan orang yang berkeliaran di jalan, membahayakan sekitarnya, atau bahkan sudah bunuh diri.

Pun ketika ada kasus bunuh diri, masih banyak warga yang menilai penyebab utamanya dari kadar iman yang rendah sehingga memilih mati. Padahal kita tentu saja tidak boleh mengabaikan aspek psikologis dalam keputusan tersebut.

Kasus lain yang dicontohkan Ardi adalah kekerasan seksual pada anak yang selalu berulang. Seorang pedofil punya kecenderungan besar mengulangi kelakuannya bila hanya mendapat hukuman penjara alih-alih mendapatkan layanan kesehatan mental.

Para pengguna narkoba juga demikian. Ardi yang juga seorang penyuluh narkoba di Badan Narkotika Nasional Kota Palu melihat titik pangkalnya dari masalah mental. Melakukan pendekatan psikologis kemungkinan besar dapat lebih efektif menekan angka pengguna. Upaya ini bisa jalan beriringan dalam setiap sosialisasi bahaya penyalahgunaan narkoba.

Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan Ardi untuk menggedor kesadaran Pemerintah Kota (pemkot) Palu dalam hal penanganan masalah mental.

Hal yang pernah coba diusulkannya adalah dengan menghadirkan layanan psikologi di puskemas. Sejalan dengan program “Palu Sehat” yang selama ini kerap digaungkan pemkot. Taklimatnya ternyata kandas lantaran kalah saing dengan program Adipura yang menjadi fokus utama.

Ikhtiar lain yang dilakukannya adalah melayangkan undangan kepada beberapa kepala seksi dan perencana program. Tujuannya untuk memberikan pelatihan merancang program kesehatan jiwa. Hasilnya, mereka yang hadir enggan menjelmakan hasil pelatihan tersebut dalam bentuk program yang konkret.

Menyoal pelayanan kesehatan mental yang belum menjadi perhatian pernah pula ditanyakan oleh wartawan kepada Mutmainnah Korona. Ketua Komisi A DPRD Palu yang membidangi bagian pemerintahan itu mengatakan bahwa fokus sekarang adalah mengurusi pencegahan kekerasan seksual.

Padahal pemicu kekerasan seksual juga bisa terjadi karena kesehatan mental. Ardi sempat membahasa soal ini dalam bukunya yang terbit tahun lalu dengan judul Utuh. Isinya tentang persepektif lain dalam berbagai persoalan, salah satunya kekerasan seksual. Bila kebanyakan orang menganggap alasan utamanya karena relasi kuasa, buku itu coba menyajikan lebih dalam, yakni mental. Relasi kuasa lahir dari mental yang tidak sehat karena merasa berkuasa.

Gemas dengan respons pemkot yang demikian, Ardi menyuarakan kritiknya melalui fitur story di Instagram. Pun demikian, hingga hari ini Ardi melihat belum ada tanda-tanda program terkait kesehatan mental para warga sebagai salah satu fokus pemkot.

Jawaban-jawaban yang mereka terima punya nada serupa. “Nanti saja programnya dilaksanakan. Soalnya masalah ini tergantung arahan pak wali kota,” demikian Ardi menirukan.

Cara berpikir pemerintah dan kebanyakan warga di Kota Palu yang dicontohkannya tadi bikin proses advokasi terkait kesehatan mental terasa makin berliku.

Seharusnya ada sosok ahli, atau minimal sadar pentingnya kesehatan mental, yang berada dalam lingkaran satu pemerintahan provinsi dan kota. Kehadiran figur tersebut bisa ikut mendorong dan mengawal hadirnya program yang diharapkan Ardi dan kawan-kawan.

Apa yang terjadi kemudian adalah Rumah Berbagi dengan layanan gratis yang ia dirikan malah jadi tempat pengharapan pemerintah kota untuk mengurusi masalah mental.

Perlakuan berbeda mereka dapatkan di Sigi, tetangga Kota Palu, yang menjadi wilayah intervensi Sejenak Hening.

Kerja-kerja advokasi terasa lebih mudah lantaran para pengambil keputusan di daerah tersebut memahami situasi dan kondisi. Pun proses pengambilan keputusannya tidak serumit Kota Palu.

Harapan mereka sederhana. Pemkot tergerak dan bertindak serius menangani masalah mental. Sekaligus membuktikan bahwa program “Palu Sehat” yang dimaksudkan bukan hanya sekadar bentuk fisiknya saja, tapi juga mental warga.

Kata kunci terkait
Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Bantuan modal usaha bagi para pelaku usaha mikro dan super mikro di Sigi
Bantuan modal usaha bagi para pelaku usaha mikro dan super mikro di Sigi
Pemerintah Kabupaten Sigi kembali menyerahkan bantuan kepada para pelaku UMKM dan super mikro agar dapat…
TUTURA.ID - Pemkab Sigi terima penghargaan dalam hal inovasi dan pengelolaan keuangan daerah
Pemkab Sigi terima penghargaan dalam hal inovasi dan pengelolaan keuangan daerah
Badan Riset Inovasi Daerah Sulteng menilai Pemkab Sigi salah satu yang berhasil dalam hal inovasi…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng