Butuh waktu lebih kurang 30 menit dari Kota Palu untuk sampai ke Desa Porame. Di desa yang terletak di wilayah Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi itulah Ramporame Festival tergelar.
Festival ini digelar di sebuah tanah miring perbukitan, tempat warga desa menanam padi dan jagung. Tak kurang dari 500 orang datang selama dua hari festival (13-14 Agustus 2022).
Wiston, salah seorang tokoh pemuda Porame sekaligus inisiator festival, menjelaskan bahwa "Ramporame" merupakan nama lawas dari Porame. Konon wilayah ini jadi tempat pertemuan para punggava atau mereka yang "punya nama". Dalam budaya Kaili, punggava punya kedudukan penting, meski tak setinggi para madika.
"Gara-gara nama itu (Ramporame), para orang tua di sini juga senang dan mendukung festival kami," kata Dacu, sapaan akrab bagi Wiston.
Festival ini hanya disiapkan dalam kurun waktu sebulan, tanpa struktur kepanitiaan, dan proses budgeting yang ketat.
Sebagai gantinya, acara ini menjadikan kolaborasi sebagai jantungnya. Gotong-royong alias baku bantu antarkomunitas dan individu menjadi kekuatan utama selama persiapan acara.
Dacu bilang, modal utama Ramporame Festival ialah banyaknya anak muda Porame yang aktif dalam berbagai kegiatan. Mereka senang terlibat dalam Komunitas Pencinta Alam, Remaja Masjid, Karang Taruna, sanggar seni, hingga memiliki beberapa band.
Para pemuda, kata Dacu, jadi motor kreatif dalam penggarapan festival.
***
Panggung utama berada di sisi barat. Posisinya menghadap ke timur, bersemuka dengan bulan yang naik pelan-pelan pada malam festival.
Di belakang panggung, beberapa tenda telah didirikan. Penghuninya sibuk mempersiapkan sesuatu. Ada yang sedang buat api penghangat atau memasak; beberapa yang lain sibuk merapikan barang-barang dalam tenda.
Adapun pengunjung festival datang dari berbagai tempat mulai dari Desa Dolo, Desa Baliase, Kota Palu, bahkan Poso.
Di tanah lapang, empat film pendek diputar, di antaranya Gula & Pasir (Sarah Adilah), dan Suara Surau (Lucky Arie).
Pemutaran ini menggugah romantisme layar tancap dari masa silam. Para pengunjung menonton berjejer dengan beralaskan terpal sambil mengunyah jajanan atau menyeruput kopi dan teh. Ada pula yang duduk di pinggiran tanah terasering. Di saat yang sama anak-anak kecil main kejar-kejaran.
Saat film bernuansa asmara diputar, sorak sorai dan tawa penonton terdengar lebih nyaring.
Di sekeliling area festival, warga berjualan pada stan yang disediakan. Pengunjung juga suka dengan jualan warga. Paling tidak stan jualan ini bisa menawarkan makanan tradisional yang mengobati kerinduan para pengunjung.
Menunya macam-macam: uta dada, jagung rebus dengan campuran kelapa parut dan duo, nasi kuning, kacang, kelapa muda, saraba, teh, hingga kopi.
***
Malam makin larut, bulan pun tampak utuh, orang-orang kian ramai berkumpul di depan panggung utama festival. Ada tiga band lokal dan satu pembacaan puisi yang jadi puncak acara pada malam pertama Ramporame Festival (13/8).
Culture Project tampil pertama dengan tiga lagu. Selanjutnya giliran Polelea menghibur para pengunjung. Band ini baru saja menang lomba cipta musik dari Kemenparekraf--mereka bawa pulang uang 50 juta.
Pertunjukan musik jadi kian bergairah saat Prapatan Reggae tampil. Band yang berdiri sejak 2009 itu memainkan tiga lagu dan sukses membawa penonton berjoget dalam irama reggae.
Saya merasa perlu bertanya mengapa reggae yang identik dengan pantai tapi bisa dinikmati warga Porame (atau yang lebih besar teritori Kabupaten Sigi) yang notabene tak punya laut. “Reggae ini basisnya kedamaian dan ketenangan. Tidak harus dekat pantai” ucap Nandar, vokalis Prapatan Reggae.
Pada hari kedua, festival tetap ramai dengan pengunjung. Satu hal menarik, pada sore hari kedua, ada sesi khusus meramu obat tradisional oleh Forum Sudut Pandang. Bagi Forum Sudut Pandang ini merupakan bagian program Piknikan, sebuah workshop dengan konsep piknik.
Saya tak sempat menyinggahi puncak acara musik pada hari kedua; tetapi beberapa kawan yang turut hadir menyebut bahwa acaranya jauh lebih "pecah".
“Banyak warga yang masih ragu atau mungkin heran festival ini bisa berjalan tanpa anggaran” kata Dacu.
Lebih lanjut Dacu mengaku puas, meski masih punya beberapa catatan evaluasi. “Tahun ini masih terbatas. Beberapa konsep belum jalan sesuai rencana. Tahun depan diupayakan lebih matang secara persiapan” ujarnya.
Arsip gambar dan video festival itu dapat dilihat lewat akun instagram @ramporamefestival.