Stampede: Panik massal, dan saling injak berujung maut
Penulis: Muammar Fikrie | Publikasi: 31 Oktober 2022 - 07:30
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Stampede: Panik massal, dan saling injak berujung maut
Ilustrasi kerumunan massal. - (Foto: Shutterstock)

Pesta Halloween berubah jadi bencana di Itaewon, Seoul, Korea Selatan, Sabtu (29/10/2022) malam. Setidaknya 153 orang meninggal dunia—masih bisa bertambah—akibat kepanikan dalam kerumunan massal nan berjejalan. Ratusan orang lainnya mengalami cedera.

Orang-orang berdesakan. Terhimpit satu sama lain. Saling dorong dan baku injak. Paru-paru tak punya ruang cukup untuk mengembang. Asupan oksigen jadi terbatas. Akibatnya fatal. Dari cedera hingga kematian. Bencana.

"Orang-orang terus mendorong ke gang klub yang menurun, mengakibatkan orang lain panik, berteriak, dan jatuh seperti kartu domino," kata saksi yang tidak disebutkan namanya, dikutip kantor berita Yonhap.

Tragedi itu terjadi di Itaewon, satu kawasan populer bagi warga dan pelancong di Seoul. Pada malam celaka itu ditaksir sekitar 100 ribu orang datang ke Itaewon guna merayakan Halloween pertama sejak pandemi.  

Banyak media mancanegara memilih diksi “stampede” untuk menggambarkan peristiwa tersebut. Pun demikian dengan media berbahasa Inggris dari Indonesia macam Jakarta Post dan Tempo English Version. 

Dalam sebulan terakhir, istilah “stampede” ramai digunakan media untuk melukiskan dua tragedi yang memakan ratusan korban jiwa.

Sebelum peristiwa Itaewon, istilah tersebut juga digunakan untuk menggambarkan momen maut di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Bencana sepak bola 1 Oktober 2022 itu menelan 135 korban jiwa, termasuk di antaranya 39 anak-anak.

Lantas apa arti “stampede” dan seberapa tepat penggunaannya?

Makna kata “stampede”

Oxford Learner Dictionaries mengartikan “stampede” sebagai “situasi ketika sekelompok orang atau hewan seperti kuda tiba-tiba berlari ke arah yang sama, terutama karena mereka takut atau terlalu bersemangat.”

Satu artikel ilmiah populer di The Conversation Indonesia menawarkan definisi lebih detail atasnya. 

Stampede, krisis alur-alir kerumunan massa, merupakan gabungan fenomena panik, lari, desak, dorong, himpit-himpitanan sampai saling injak dan terkadang juga saling serbu menuju pintu keluar baik dalam konteks pertunjukan olahraga, acara keagamaan, kampanye maupun konser,” demikian tertulis dalam artikel tersebut. 

Dalam kasus Kanjuruhan, tembakan gas air mata jadi penyebab kepanikan dan ketakutan. Suporter lantas berhamburan mencari jalur keluar stadion. Pintu keluar yang terlalu kecil (atau tertutup) tak sanggup menampung lautan manusia. Orang-orang berdesakan hingga saling menginjak satu sama lain.

Kematian akibat "stampede" juga punya ciri khas berupa trauma di kepala dan dada pertanda kekurangan oksigen. 

Sulit dapat padanan dalam bahasa Indonesia

Penutur Bahasa Indonesia kesulitan menemukan padanan “stampede”. Terjemahan bebas lewat pelbagai layanan kamus daring hanya menawarkan diksi seperti menyerbu, mendesak, lari, atau mendorong.

Kata lain seperti “kerusuhan” pun dianggap tak mencerminkan situasi detail. “Kerusuhan” hanya tepat untuk menggambarkan situasi huru-hara, tidak melukiskan peristiwa detil seperti saling dorong dan baku injak.

Beberapa saat setelah peristiwa Kanjuruhan, Ivan Lanin, seorang pegiat Bahasa Indonesia, kasih pandangan ihwal “stampede”. Seperti dilansir Kumparan, Ivan bilang bahwa “stampede” memiliki kompenen makna “saling injak” atau “injak-menginjak”. 

Menurut Ivan, penggunaan “stampede” oleh media internasional bermaksud untuk menggambarkan detail peristiwa. Adapun bahasa Indonesia belum punya hiponim atau kata bermakna spesifik yang bisa melukiskan peristiwa tersebut. 

Media di Indonesia, kata Ivan, boleh jadi punya kecenderungan berhati-hati dalam melukiskan peristiwa. Barangkali hal itu pula yang membuat media Indonesia--seperti juga Tutura.Id--pakai istilah yang pemaknaannya lebih umum dan kurang spesifik seperti “kerusuhan”, “insiden”, atau “tragedi”.

Ada yang pakai diksi "crowd crush"  

Meski begitu, perlu dicatat bahwa media-media mancanegara juga belum satu nada pakai “stampede”.

Beberapa media memilih pakai kata “crowd crush”. Media publik Inggris, BBC menyebut peristiwa di Seoul sebagai “Itaewon crowd crush.

Al Jazeera juga punya posisi yang sama. Media asal Qatar itu berargumen bahwa “crowd crush” lebih tepat dibanding “stampede” guna menggambarkan peristiwa di Itaewon. 

Crowd crush adalah ketika orang-orang berdesakan di ruang terbatas dan terus mendorong, menyebabkan kerumunan jatuh dalam efek domino sehingga sulit bagi orang untuk bangun. Semakin besar kerumunan, semakin kuat efek crowd crush,” demikian menurut Al Jazeera.

Problemnya, penutur Bahasa Indonesia tetap kesulitan menerjemahkan “crowd crush”. Saking ruwetnya, Google Translate dengan bebas bisa menerjemahkanya sebagai “naksir orang banyak”. Sama sekali tak menggambarkan bencana. 

Lepas dari seberapa presisi penggunaan diksi, peristiwa nahas di Itaewon dan Kanjuruhan bermula dari kerumunan massal. Keduanya mengingatkan kita bahwa tata kelola dan mitigasi dalam kerumunan massal jadi hal penting untuk diperhatikan.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
2
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Sepak bola Indonesia; ada yang lebih penting dari medali emas
Sepak bola Indonesia; ada yang lebih penting dari medali emas
Kita patut bersuka cita dengan raihan emas dari ajang sepak bola Sea Games 2023. Namun,…
TUTURA.ID - Kaleidoskop 2022: Olahraga
Kaleidoskop 2022: Olahraga
Ada banyak momen olahraga terjadi sepanjang 2022. Satu yang paling menyita perhatian dan pemberitaan menyangkut…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng