_Saraba_70_Lebih_dari_4_dekade_jualan_saraba.jpeg)
Bagi kebanyakan orang, kedai masih jadi pilihan favorit untuk kongko bersama teman dan kolega. Kota Palu menawarkan banyak opsi untuk itu, salah satunya Sara’ba 70 yang namanya sekarang berganti Losa' 70--akronim dari Lopis Sara'ba 70. Letaknya di Jalan Nanas, tak jauh dari Kantor Pegadaian Cabang Palu Barat.
Seperti namanya, interior dan ornamen kedai itu kental dengan nuansa lawas dekade lampau. Anak-anak sekarang menyebutnya retro atau vintage.
Ketika memasukinya, tampak ruangan dengan dinding berkelir putih yang telah memudar pula terkelupas. Terpajang foto-foto para tokoh Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Beberapa lukisan juga hadir mengisi ruangan, mulai dari dinding, bingkai pintu dan jendela, hingga di lantai.
Pada salah satu sudut ruangan, tampak tiga orang pria paruh baya sedang bersenda gurau. Sesekali mereka bercanda. “Jadi bagaimana keputusan kasus Sambo?” menyeletuk salah satu di antara mereka demi membuka obrolan dengan topik yang sedang hangat jadi pemberitaan.
“Bukan Sambo, tapi Ferdy. Sambo itu nama keluarga besar. Yang bikin kasus si Ferdy,” menyahut seorang bapak yang lainnya. Lalu semua terbahak.
Tak berselang lama, seorang pria sigap menyambut dan menanyakan menu pesanan yang saya inginkan. Setelahnya beringsut dengan lincah menuju dapur. Tunggulah barang sebentar, sang pria tadi sudah datang menyajikan menu pesanan di atas meja.
Dua kombinasi favorit yang menjadi rekomendasi bagi mereka yang baru pertama kali mendatangi kedai ini adalah saraba original dan kue lupis.
Saraba yang menjadi minuman khas Sulawesi Selatan telah sejak lama menjadi pilihan berbagai kalangan, termasuk di Palu. Biasanya dikonsumsi untuk mengusir flu, meredakan gejala masuk angin, atau sekadar mengembalikan stamina.
Aroma dan rasanya kuat hasil dari campuran rempah nan beragam. Beberapa orang menyebut khasiat saraba mirip wedang jahe, sekoteng, atau bandrek yang populer di Pulau Jawa. Hanya saja soal rasa jelas berbeda.
Saraba umumnya terbuat dari gula merah, santan, jahe, kuning telur, dan merica bubuk. Ada pula yang menambahkannya dengan serai, cengkih, atau kayu manis demi memperkuat rasa. Sementara kue lupis sebagai pendampingnya terbuat dari beras ketan yang diguyuri gula merah.
Bagi Fudail bin Iyadh (54), sang pemilik Sara’ba 70, berjualan minuman khas ini sudah menjadi usaha keluarga yang berlangsung turun-temurun. Kedua orang tuanya pertama kali merintisnya sejak dekade 70-an.
Fudail, demikian panggilan akrabnya, mengenangkan lokasi pertama usaha keluarganya berjualan terletak di depan Bioskop Karya, yang kemudian berganti nama menjadi Bioskop Benteng. Lokasinya sekarang di Jl. Sungai Wera, Kelurahan Ujuna, Palu Barat.
Kala itu masih era kejayaan bioskop tunggal. Belum ada konsep jaringan bioskop seperti sekarang. Berbekal tenda kain ibunya mulai berjualan saraba dengan harga segelas masih Rp50 perak hingga Rp100.
Usaha ini kemudian dilakoni juga oleh ketiga saudaranya yang lain. Lalu dilanjutkan olehnya. Semacam meneruskan tongkat estafet usaha keluarga.
Keluarga ini mungkin satu-satunya yang masih bertahan sebagai penjual saraba di Palu. Sementara yang lainnya memilih gulung tikar dengan beragam alasan, mulai dari kalah bersaing atau generasi penerus tak bersedia melanjutkan.
Dalam menjalankan usahanya, Fudail saban pagi belanja bahan baku pembuatan saraba ke Pasar Manonda. Letak pasar yang biasa juga disebut Inpres itu tak begitu jauh dari tempatnya berjualan.
Untuk mempertahankan rasa, maka harus menggunakan jahe dan serai yang belum lama mengalami masa panen. Agar aroma awet terjaga, menjerang saraba juga harus menggunakan tungku kayu dengan potongan-potongan kayu sebagai bahan bakar. Cara memasak ini disebutnya sudah bertahan sejak pertama kali merintis usaha.
Tempat usahanya sekarang ini menempel dengan rumah tinggal yang menjadi warisan mendiang ayahnya. Fudail mulai menempatinya sejak 2004.
Pengalaman sewaktu muda mengikuti salah seorang pamannya yang berprofesi sebagai dosen seni membuatnya ikut ketularan menggemari barang-barang seni. Salah satunya lukisan. Alhasil beberapa hasil karya lukisannya terpajang di kedainya ini.
Jika dibandingkan dengan warung kopi dan kafe lain yang ada di kota ini, tak berlebihan jika menyebut Sara’ba 70 tidak sekadar mempertahankan cita rasa saraba, tapi juga cita rasa seni. Lebih artsy.
Suka duka selama membuka usaha berjualan saraba telah banyak dirasakannya. Naik turun jumlah pengunjung termasuk di antaranya. Ada waktu tempatnya ramai terisi, tapi tak jarang juga sepi.
Pernah mampir tawaran membuat kegiatan di kedainya untuk mengundang kerumunan. Tegas tawaran tersebut ia tampik musabab ingin mengutamakan kenyamanan pelanggan lain.
Kini hari-hari Fudail menyuguhkan saraba ditemani pula oleh anaknya yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Besar harapannya agar kelak sang buah hati bersedia melanjutkan usaha berjualan saraba.