Resesi ekonomi global jadi buah bibir. Ramai media memberitakannya. Salah satu pemicunya ialah pesan Presiden Joko “Jokowi” Widodo agar Indonesia tetap "eling lan waspada."
Presiden Jokowi menyebut bahwa dunia diambang resesi, karenanya Indonesia butuh lebih berhati-hati. Jokowi juga bicara soal upaya pemerintah menekan inflasi lewat subsidi langsung ke masyarakat. Ia juga memerintahkan kementerian dan instansi pemerintah untuk melakukan pembelian langsung.
“Sekali lagi kita tetap harus menjaga optimisme, tapi yang lebih penting hati-hati dan waspada" Begitu perkataan Jokowi ihwal ancaman resesi global, yang disampaikannya dalam acara Investor Daily di JCC, Jakarta Pusat.
Pekan lalu (6/10), Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, juga telah mengonfirmasi situasi terpuruknya ekonomi dunia. Ia bahkan melukiskan ekonomi dunia dalam kondisi "gelap gulita".
“Lebih banyak kerapuhan, ketidakpastian yang besar, volatilitas ekonomi yang lebih tinggi, konfrontasi geopolitik, dan bencana alam yang lebih sering terjadi dan menghancurkan," kata Georgieva tentang penyebab resesi, seperti dilansir Reuters.
Tutura.Id merangkum hal-hal yang perlu diketahui seputar topik resesi ekonomi global.
Apa itu resesi? Dan bagaimana contohnya?
Definisi normatif ala KBBI menerangkan resesi sebagai, “Kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri).”
Orang-orang dengan disiplin ilmu ekonomi, rasanya punya jawaban lebih detail tentangnya. Setidaknya mereka bisa bilang: Resesi adalah periode penurunan roda perekonomian yang ditandainya dengan melemahnya produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut.
Saat resesi lazim terjadi kenaikan tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan kontraksi di pendapatan manufaktur untuk periode waktu yang panjang.
Di Indonesia resesi besar terjadi pada medio 1998. Saat itu harga bahan pokok naik, PHK serta pengangguran merajalela, rupiah keok di hadapan dolar, dan lain-lain. Situasi ekonomi tersebut lantas berujung pada memanasnya atmosfer politik yang berbuah arus reformasi dan berujung pada robohnya Orde Baru.
Apa penyebab resesi global saat ini?
Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, setidaknya telah menggarisbawahi tiga sebab utama resesi global saat ini: Pandemi Covid-19, perang Rusia versus Ukraina, dan bencana iklim di berbagai benua.
Pandemi Covid-19 sebagaimana kita ketahui telah membuat ekonomi melambat. Aktivitas ekonomi jadi serba terbatas. Pemutusan hubungan kerja tak terelakkan. Daya beli warga melemah. Pemerintah di seluruh dunia perlu merasionalkan ulang anggaran mereka demi menghadapi pandemi.
Dunia sebenarnya sedang tumbuh beriring pandemi yang mereda. Namun apa boleh bikin bencana dan perang datang di waktu yang tak tepat.
Bencana akibat perubahan iklim belakangan lebih sering terjadi. Sejak tengah tahun ini kita sudah menyaksikan kenaikan suhu ekstrem di Eropa. Lalu ada banjir bandang di Pakistan yang terjadi sejak Juni 2022. Atau katakanlah intensitas hujan di Sulawesi yang lebih tinggi, dan bikin kita lebih sering dengar kabar banjir.
Bencana tentu bisa ganggu keuangan. Sederhananya: Tiap bencana butuh dana ekstra; belum lagi jalur pasok komoditi yang terganggu.
Adapun perang Rusia dan Ukraina tak bisa dianggap sekadar konflik dua negara. Ia berimbas pada negara lain. Peran Rusia sebagai pemasok gas alam telah membuat banyak negara Eropa—yang mengkritik serangan Rusia—memutus kontrak.
Padahal negara-negara Eropa bergantung pada Rusia dalam aspek energi. Seperti yang sering terjadi, bila aspek energi terusik kerap kali muncul efek domino. Sama seperti kenaikan tarif BBM yang bakal segera disusul kenaikan harga komoditas lainnya.
Itulah yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Mereka mengalami inflasi, atau kenaikan harga barang dan jasa. Langkah cepat diambil oleh bank sentral di Eropa dan AS; mencoba meredam inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Problemnya, kenaikan suku bunga juga bisa memukul investasi dan konsumsi. Pertumbuhan ekonomi bakal mengalami kontraksi.
Merujuk prediksi IMF, yang dilansir VOA Indonesia, prospek pertumbuhan ekonomi di AS pada tahun ini hanya 1,6 persen. Sedangkan perekonomian negara-negara Uni Eropa hanya akan tumbuh 0,5 persen.
Secara umum, IMF memerkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini ada di angka 3,2 persen—turun jauh dari tahun lalu yang mencapai 6%. Situasi ekonomi global yang merosot itu bakal berimbas pada pasar ekspor.
Pada titik ini nama China perlu disebutkan. Sebagai kekuatan ekonomi dunia, China bakal mengalami kemerosotan ekspor. Bila sudah begitu, pertumbuhan ekonomi China pun bakal melambat.
Perkara itulah yang mungkin bakal berpengaruh ke perekonomian Indonesia. Pasar ekspor Indonesia bakal menyusut, menimbang status China sebagai negara utama tujuan ekspor Indonesia.
View this post on Instagram
Apa imbas resesi global bagi Indonesia
Indonesia konon tetap jadi “titik terang di tengah perekonomian dunia yang memburuk.”
Optimisme itu disampaikan oleh Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Geogieva, saat berjumpa dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Pertemuan Tahunan IMF 2022 di Washington DC, AS (11/10).
Lontaran itu positif adanya, mengingat Georgieva pernah menyinggung tentang 28 negara yang sudah antre di IMF untuk mengatasi perkara ekonomi.
Meski demikian, bukan berarti Indonesia aman dari imbas resesi ekonomi global. Imbas awal dari ekonomi dunia yang sedang kontraksi telah dirasakan: Penyesuaian suku bunga Bank Indonesia; kenaikan harga BBM; hingga melemahnya rupiah terhadap dolar AS--Rp15.318 ribu per USD1, Rabu (12/10).
Perlambatan ekonomi China juga diprediksi bakal menyusutkan ekspor Indonesia dan melemahkan ekonomi dalam negeri.
Namun sebuah optimesme juga datang dari Muhamad Chatib Basri, ekonom Universitas Indonesia, yang menuliskan analisisnya soal resesi global di Kompas (12/10).
Chatib bilang dampak resesi global terhadap Indonesia tak akan seburuk dampaknya pada Singapura, Korea Selatan, Taiwan, atau negara yang (ekonominya) berorientasi ekspor. “Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global,” tulis Chatib.
Kesimpulan analisa Chatib menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan mengalami resesi, tetapi pertumbuhan ekonomi bakal melambat.
Catatan lain, perang Rusia dan Ukraina sebenarnya membuka peluang baru bagi Indonesia. Negara-negara Eropa tengah menghindari sumber energi (gas bumi) dari Rusia sebagai bentuk protes atas serangan ke Ukraina. Hal itu secara tidak langsung membuka kebutuhan komoditi energi lainnya.
Batubara, yang kerap dimusuhi lantaran label sumber energi kotor, kini mulai dicari pasar Eropa. Indonesia perlu melihat celah ini untuk menaikkan ekspor batubara. Harga batubara dunia juga diprediksi bakal naik.