Jauh sebelum adanya gawai alias gadget dan beragam jenis gim online yang bebas diakses kapan saja, dunia anak-anak pernah diisi dengan beragam jenis permainan tradisional. Bahan bakunya sederhana dan disediakan oleh alam sekitar.
Teolog Nicolaus Adriani dan Albert C. Kruyt dalam buku bertajuk De Bara'e Sprekende Toradjas Van Midden-Celebes (De Oost-Toradjas), dipublikasikan 1912, membahas satu bab khusus tentang ragam permainan tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang mereka saksikan.
Disebutkan beberapa permainan tradisional tersebut, antara lain motalamiri, mogonde, pondo, dan mowinti.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa anak-anak menciptakan permainan karena meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Mereka berimajinasi seolah melakukan hal yang demikian.
Anak perempuan, misalnya, membungkus tongkol jagung atau mentimun lalu menggendongnya. Terkadang mereka asik bermain kejar-kejaran laiknya pemburu.
Permainan tradisional kemudian berkembang dan memiliki banyak ragam hingga suatu ketika hadir istilah musim permainan. Masih ingat pernah ada yang namanya musim layang-layang? Atau kurun yang tak terlampau lama sempat juga menjamur musim latto-latto yang bikin pekak telinga itu.
Hingga saat ini masih jadi tanda tanya apa faktor yang memengaruhi permainan tersebut ramai dimainkan oleh anak-anak dalam kurun waktu tertentu.
Musim permainan ini seumpama siklus yang dalam kurun waktu tertentu dapat berubah. Ibarat kalender permainan anak-anak. Hanya saja tidak mesti tren permainannya berurutan setiap tahun.
Pengecualian mungkin untuk bulan tertentu. Contohnya saban Ramadan tiba, pasti musim permainan yang ramai dimainkan adalah meriam bambu atau sepak bola api.
Namun, era digital saat ini menjadikan kita cukup sulit menemukan lagi anak-anak yang masih memainkan aneka permainan tradisional. Jangankan memainkan, sejumlah nama permainan tradisional sudah terdengar asing di telinga bocah-bocah kiwari.
Mendekatkan lagi ragam permainan tradisional dari keterasingan anak-anak generasi digital sekarang jadi maksud diadakannya Festival Permainan Rakyat Sulteng.
Program Studi Antropologi Untad dengan Balai Pelestarian Kebudayaan XVIII (Wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat) jadi inisiator acara ini. Lokasinya berlangsung di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Palu, Sabtu (15/6/2024).
“Hal ini yang coba kami bangun kembali di masyarakat. Teknologi dan modernitas memang sesuatu yang perlu diikuti. Tapi jangan sampai kita tinggalkan hal-hal yang menyangkut budaya tradisional. Dua hal ini patut disandingkan sebagai identitas,” ungkap Habsa selaku ketua panitia.
Festival ini diadakan dalam bentuk lomba yang diikuti oleh anak-anak usia sekolah dasar. Tampak wajah-wajah semringah diiringi gelak tawa dari anak-anak yang mengikuti perlombaan.
Pelaksanaan festival ini sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali pada anak-anak bahwa banyak sekali pilihan permainan yang bisa dimainkan selain gawai dan ponsel cerdas.
Ada tujuh macam permainan tradisional yang diperlombakan dalam festival kali ini, yaitu noventilia, nosusu vatu, nobanga, tilako atau kalempa, gonde, nojapi-japi, dan nobente.
View this post on Instagram
Sri Anjar Sari selaku anggota tim Verifikasi Fasilitas Pemajuan Kebudayaan juga menyampaikan, faktor yang memengaruhi anak-anak sudah tidak lagi memainkan permain tradisional adalah lingkungan sekitar tempat tinggal.
Anak-anak tidak lagi menemukan permainan tersebut. Mereka tidak mengetahui ada permainan selain gawai. Selain itu, gawai jadi cara paling praktis sebab ada banyak permainan yang tersimpan dalam satu perangkat.
Menjadi hal yang penting untuk memperkenalkan atau mengajak kembali anak-anak mengenal dan memainkan aneka permainan tradisional.
Undang-undang No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, tepatnya Pasal 5 huruf (i), juga menulis permainan rakyat atau permainan tradisional masuk dalam 10 objek pemajuan kebudayaan. Oleh karena itu, permainan tradisional patut mendapat perhatian lebih.
Anggota Dewan Pakar Persatuan Olahraga Tradisional Indonesia (Portina), Dindin Abidin, menyebutkan pula bahwa permainan tradisional bisa menstimulasi aspek motorik kasar dan halus anak.
Permainan congklak, misalnya, melatih motorik halus dengan mengambil batu-batu kecil di papan permainan.
”Selain mengembangkan kemampuan motorik anak, permainan tradisional juga melatih kreativitas, mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional, mendekatkan anak ke alam, dan meningkatkan kemampuan untuk konsentrasi,” ujar Dindin dikutip dari Kompas.Id.
A. Ardiansyah melalui disertasinya yang berjudul Nilai Karakter Dalam Permainan Tradisional di Suku Kaili Kota Palu, Sulawesi Tengah (2019) menulis, permainan tradisional bisa menjadi wahana pendidikan karakter yang bertransformasi membentuk kepribadian anak, mulai dari disiplin, jujur, tanggung jawab, mandiri, peduli lingkungan, hormat-menghormati, kerja keras, kreatif, dan komunikatif.
permainan tradisional permainan rakyat Festival Permainan Rakyat Sulteng Prodi Antropologi Untad Balai Pelestarian Kebudayaan XVIII UU Pemajuan Kebudayaan generasi digital anak-anak