Istilah child grooming alias pemikatan anak kembali mengemuka beberapa hari lalu setelah Kriss Hatta (34) mempublikasikan hubungan romantisnya dengan anak berumur 14 tahun.
Menyitir Liputan6.com, Kriss Hatta bahkan berniat menikahi anak tersebut dengan alasan telah mengantongi restu dari orang tua sang anak. Kasus ini menuai kecaman warganet dengan menyebut Kriss Hatta sebagai seorang pedofil.
Mencuatnya kasus ini memicu beberapa warganet turut menceritakan pengalaman pemikatan yang dilakukan orang dewasa kepada mereka semasa kecil. Seorang di antaranya, sebut saja Lentera, menulis bahwa saat berusia 15 pernah berpacaran dengan laki-laki yang sembilan tahun lebih tua darinya. Kala itu Lentera masih sangat naif sehingga mudah dimanipulasi oleh sanjung puji dan bujuk rayu hingga akhirnya terlena.
Terma child grooming merujuk perilaku orang dewasa yang melakukan pendekatan, membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan seorang anak di bawah umur untuk tujuan seksual.
Perilaku demikian masuk kategori tindak kekerasan seksual. Seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 ayat 15a dalam UU tersebut berbunyi; "Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum."
Sementara yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Anna Surti Artiani, seperti dilansir dalam laman web magdalene.co, mengatakan child grooming bisa terjadi dalam berbagai bentuk dan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk senior, guru les, orang yang tidak dikenal, atau mentor.
Selain memanipulasi untuk tujuan seksual, pelaku juga sengaja memainkan emosi anak hingga ia terpuruk secara mental. Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan turut mendekati keluarga korban sehingga korbannya semakin tidak sadar sedang dimanipulasi.
“Umumnya pelaku akan berlaku baik dan membuat anak merasa istimewa dengan perlakuan maupun ucapannya. Kemudian hal itu dijadikan jalan masuk untuk tindak kekerasan seksual,” ujar Dewi Rana (48) selaku Direktur Lingkar Belajar Untuk Perempuan (Libu Perempuan) saat ditemui Tutura.id (7/10/2022).
Contoh kasus child grooming yang diceritakan Dewi terjadi di Pantoloan. Pelakunya seorang pria berusia sekitar 60 tahun yang berstatus paman korban. Sementara sang ponakan masih berumur tiga tahun.
Modus pelaku untuk menggaet hati korban yakni dengan memberikan permen, membelai kepala korban, memuji parasnya hingga korban bersedia duduk di pangkuannya. Merasa korban sudah termakan tipu daya, paman bejat ini mulai melakukan pelecehan.
Hal ini kemudian disadari ibu korban ketika anaknya mengeluh kesakitan saat ingin buang air. Akhirnya korban berani menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya. Sang ibu lantas berinisiatif melapor yang kemudian menerima pendampingan kasus dari Libu Perempuan.
Menurut data yang diperoleh Libu Perempuan, terdapat 8 laporan kasus child grooming di Provinsi Sulawesi Tengah sepanjang 2020-2022. Bisa jadi angka di lapangan lebih besar dari yang dilaporkan mengingat korban enggan mengungkap kasusnya dengan pelbagai pertimbangan, atau bahkan tekanan dari pelaku.
“Kalau seberapa marak, saya pikir satu kasus harus dihitung banyak, dalam konteks perlindungan anak. Karena bisa saja pelakunya dari orang terdekat atau orang-orang yang memiliki power pada mata pencarian orang tua korban sehingga tidak berani melaporkan. Jadi, anak memang sangat rentan. Apalagi posisi ekonomi keluarga yang bergantung pada pelaku,” ungkap Dewi.
Beberapa tahapan child grooming yang pernah dijabarkan National Center for Victims of Crime (h/t safechild.org), yaitu pelaku akan mengidentifikasi dan mencari target, mendapatkan kepercayaan dan akses, mengambil peran dalam kehidupan target, memisahkan anak dari lingkungannya, menguatkan hubungan yang terjalin, inisiasi kontak seksual, hingga akhirnya bisa mengontrol anak.
Oleh karena itu, UU tentang Perlindungan Anak berbicara dalam ranah pencegahan. Pasalnya jika kekerasan seksual telah terjadi, maka akan lebih banyak lagi faktor yang mempengaruhi sehingga kasus child grooming sukar terselesaikan. Orang tua juga harus mendapat pembekalan dan pemahaman tentang hak anak. Pun anak harus diajarkan tentang upaya mitigasi tindak pelecehan dan kekerasan seksual.