
“EEEEHUUUUU!!!”
EEEEEEEHUUUUUU!!!”
Demikian suara peaju (teriakan untuk membangkitkan semangat) yang terlontar dari mulut warga Desa Balumpewa saat menonton tradisi mosivinti. Suara teriakan lantang saling bersahutan memekakkan telinga bagi orang awam yang mendengarnya.
Sejurus kemudian terdengar bunyi benturan kaki. Penonton berteriak makin gaduh. Larut dalam keseruan adu betis yang dilakukan dua orang pria dewasa di sebuah tanah lapang di belakang Gereja Bala Keselamatan Balumpewa, Kec. Dolo Barat, Kab. Sigi (29/10/2022).
Mosivinti merupakan permainan tradisional Suku Kaili yang masih langgeng dipertahankan oleh beberapa daerah, termasuk to po Inde yang mendiami Balumpewa. Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) Kabupaten Sigi menghadirkannya dalam Festival Literasi 2022.
Jika diterjemahkan, mosivinti merupakan sebuah kata kerja yang terdiri dari mosi (saling) dan vinti (menendang kaki). Jika digabungkan mosivinti berarti “saling menendang/mengadu kaki”.
Menurut keterangan Gideon (55) selaku kepala adat Desa Balumpewa, mosivinti bertujuan sebagai ajang adu ketangkasan. Pun hiburan bagi masyarakat yang hingga sekarang masih mempraktikkan tradisi ini. Pesertanya dua orang pria yang bergiliran saling menendang betis satu sama lain.
Permainan ini kerap hadir di acara pesta, lebaran, natal, maupun momen saat masyarakat ramai menghadiri sebuah kegiatan. “Setiap ada keramaian, kami mosivinti lagi,” ujar Gideon sembari mengalungi lehernya dengan selembar handuk mandi.
Suku Bugis di Sulawesi Selatan juga mengenal permainan serupa mosivinti. Sebutannya mallanca yang berasal dari kata lanca (menyepak) dan ganca-ganca (bagian kaki di atas tumit). Permainan tradisional ini hanya dilakukan usai musim panen sebagai bentuk rasa syukur. Perbedaan lainnya, mallanca dilakukan oleh dua tim yang masing-masing beranggotakan dua orang.
Gideon tak mengetahui pasti asal dan kapan persisnya tradisi adu betis ini bermula di Ngata Balumpeva. Ia hanya menuturkan bahwa mosivinti merupakan permainan yang telah menjadi tradisi karena sudah dipraktikkan oleh para leluhur mereka.
Kisah versi lain tentang muasal permainan unik ini bermula saat para tetua turun gunung sehabis menjaga ladang. Untuk menghilangkan rasa pegal di betis karena telah berjalan melintasi jalan terjal nan berliku, mereka saling menendang kaki.
Peraturan mosivinti sederhana saja seperti namanya. Peserta yang saling berhadapan hanya boleh menendang betis lawan main menggunakan punggung kaki. Sedangkan pemain lainnya memasang kuda-kuda untuk menerima tendangan dari lawan mainnya. Mata kaki juga bisa jadi sasaran tendangan, asal lawan main menendang menggunakan mata kaki pula.
Sebagai peserta yang sudah sering terlibat dalam permainan mosivinti, Gideon berbagi tips untuk “memecahkan” betis lawan main. “Kalau mosivinti itu kita vinti dulu betis bawah, baru kita vinti betis atas, baru ketiga kalinya di tengah betis. Pecah sudah dia,” ungkap Gideon penuh semangat.
Durasi permainan tak berlaku dalam mosivinti. Permainan dihentikan manakala salah seorang pemain mengaku sudah tak sanggup melanjutkan atau mengalami cedera.
Jika pemain mengalami cedera, mereka akan diberikan penanganan dengan ramuan obat tradisional. “Ada tumbuhan, cuma saya lupa namanya. Nanti ditempel di betis yang sakit. Tapi walaupun bikin betis pecah, kami tidak ada baku marah. Tidak ada persoalan,” pungkas Gideon.