Lazimnya menuju hari pencoblosan untuk memilih para wakil rakyat, kepala daerah, hingga presiden, tokoh-tokoh yang berniat mengikutinya pasti akan rajin berseliweran di tengah kita.
Jika tak hadir secara fisik alias langsung, kehadiran mereka kerap terwakilkan oleh foto atau gambar yang memenuhi berbagai sudut kota melalui Alat Peraga Kampanye (APK).
Bentuknya dalam berbagai medium. Paling sering kita jumpai berupa pamflet, spanduk, poster, dan papan iklan besar alias billboard.
Pemasangan APK juga tak ayal menyasar sembarang tempat. Tak peduli jika itu melanggar peraturan, merusak keindahan tata kota, dan menghasilkan sampah visual. Terpenting publikasi bisa terpasang dan narsisisme politik tersalurkan, hal lain jadi urusan belakang.
Kukuh Ramadan, seorang seniman visual asal Palu saat dihubungi via telepon (2/4/2023), mengamini terkait sampah visual tadi. Menurutnya, tebaran pemasangan materi publikasi kampanye politik di berbagai sudut yang tidak mengindahkan kepatutan dan estetika hanya mengotori kota.
Warga sebenarnya berhak menuntut agar ruang publik bersih dari tindakan privatisasi segelintir partai atau tokoh politik. Kampanye toh sebenarnya ajang menyampaikan ide, gagasan, dan visi misi para calon, bukan ajang memperbanyak foto diri.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah menetapkan masa kampanye Pemilu mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Namun, jauh sebelum penetapan itu sudah banyak bertebaran poster partai dan tokoh yang ingin mencalonkan diri.
Pemandangan serupa terjadi di Kota Palu. Berbagai tempat yang sebenarnya telah disediakan untuk memasang iklan kampanye para calon tetap saja tidak digubris. Semisal praktik memenuhi dinding rumah warga dengan poster atau pamflet partai dan tokoh politik.
Aturan Wali Kota Palu Nomor 8 tahun 2012, jelas menyebut soal reklame yang terdiri dari billboard, videotron, baliho, neon box, spanduk, umbul-umbul, mini banner, stiker, dan selebaran.
Jika pemasangan reklame yang bertujuan komersial dan nonkomersial dilakukan di atas jalur hijau, jalan, taman kota, bangunan gedung/bukan gedung, dan tower atau menara, maka sang penyelenggara reklame harus mengantongi izin kepala daerah.
Sejumlah persyaratan harus dilampirkan jika ingin mendapatkan surat “sakti” tersebut. Beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain foto copy bukti pemilikan tanah/surat sewa lahan dan atau surat pernyataan tidak keberatan dari pemilik lahan.
Berikutnya, penyelenggara APK harus pula menyertakan rencana narasi yang akan digunakan dalam reklame dan mengisi formulir yang disiapkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) dan atau Dinas Kebersihan dan Tata Kota.
Ada pula aturan membayar pajak reklame dan retribusi kekayaan daerah untuk pemakaian tanah yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan reklame.
Selanjutnya, Peraturan KPU No.11 tahun 2020 tegas melarang APK pilkada di tempat ibadah termasuk halaman, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, dan lembaga pendidikan (gedung dan sekolah).
Pemasangan APK juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Jika pemasangan APK berada di tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta, maka harus dengan izin tertulis dari pemilik tempat tersebut.
Tak kalah pentingnya, pembersihan atau penurunan segala bentuk APK juga harus menjadi tanggung jawab pasangan calon.
Sayangnya tak semua calon pemilihan anggota legislatif dan eksekutif mematuhi segala ketentuan tadi. Alhasil banyak rumah warga yang jadi korban sampah visual APK tanpa izin.
Alfrida (73) merupakan contoh warga yang dinding rumahnya ditempeli poster kampanye tanpa izin. Ia hanya bisa pasrah melihat dinding rumahnya dikotori saban musim kampanye.
“Dari dulu tidak pernah keberatan karena tidak tahu. Termasuk siapa yang pasang dan kapan mereka tempel saya juga tidak tahu karena mereka tidak pernah permisi. Sebenarnya bikin kotor dinding. Kalau bendera atau spanduk, kan, bisa dilepas. Kalau (poster) ini bikin kotor. Biasanya saya yang lepas-lepas sendiri,” ungkap Alfrida yang bermukim di Besusu Barat saat ditemui Tutura.Id (1/4).
Kerepotan serupa pasti dialami juga oleh warga lain yang jadi korban ulah orang-orang tak bertanggung jawab terkait pemasangan APK dengan serampangan. Salah satu faktor yang membuat praktik lancung ini langgeng terjadi karena penegakan hukum dari peraturan tersebut yang tidak tegas.
Sementara jika hal serupa dilakukan oleh seniman street art, pelaku kontan akan menjadi buruan Satpol PP. Julukan sebagai pelaku vandalisme pasti akan direkatkan juga.
“Kebanyakan kasus, sih, kalau terkait dengan lembaga tertentu yang bukan personal, peraturannya jadi tidak tegas. Kalau untuk urusan ekspresi, misal street art, cepat sekali ditindaknya. Sementara untuk urusan berbau politik, berbau komersial, kok bisa los-los saja. Semacam ada diskriminasi,” tegas Kukuh Ramadan.
pemilu pilkada pilpres pileg politik kampanye alat peraga kampanye komisi pemilihan umum bawaslu caleg capres sampah visual seniman visual street art reklame