Nestapa petani plasma di Buol: 15 Tahun dikelabui korporasi
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 23 Februari 2023 - 14:49
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Nestapa petani plasma di Buol: 15 Tahun dikelabui korporasi
Konferensi Pers Forum Petani Plasma Buol di Kantor WALHI Sulteng (Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id)

“Pokoknya petani plasma tiap bulan akan menerima hasil. Tidak perlu kerja keras. Apa pun keinginan kalian akan dipenuhi oleh perusahaan,” demikian Mada Yunus Ahama menirukan perkataan manajemen PT Hardaya Inti Plantations (HIP).

Mada merupakan salah satu anggota Koperasi Tani (Koptan) Awal Baru sekaligus petani yang lahannya dieksplorasi oleh PT HIP, korporasi sawit di Kabupaten Buol. Ia juga tergabung dalam Forum Petani Plasma Buol (FPPB), sebuah forum komunikasi antarpetani maupun koperasi tani yang menjalin kemitraan inti plasma dengan PT HIP.

Menurut perhitungan Mada, dari sistem kemitraan inti plasma itu dirinya bisa mendapatkan insentif sebesar Rp5 juta untuk sekali panen. Masa panen bisa sepekan sekali.

Ia menceritakan bahwa ketika PT HIP mengajak para petani di Kabupaten Buol dengan skema kemitraan inti plasma, mereka dijanjikan mendapat insentif bulanan, jaminan hidup (jadup), hingga program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan alias Corporate Social Responsibility (CSR).

Korporasi akan merealisasikan janji tersebut bila sudah memasuki lima tahun. Ketika sudah menghasilkan tandan buah segar (TBS). Namun, hingga tahun 2023 janji manis tak kunjung dirasakan oleh petani plasma.

“Perusahaan bilang jadup ada dan sudah dicairkan. Tapi, pas kami ketemu pengurus koperasi, dia bilang tidak ada pencairan. So bolak-balik, seperti bola pingpong, tapi tidak ada kejelasan,” sambung warga Desa Tiloan, Kecamatan Taloan, itu dengan senyum getir.

Sekadar informasi, PT HIP merupakan anak usaha dari Cipta Cakra Murdaya Group (CCM Group). PT HIP telah beroperasi sejak 1995 di Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol. Tepatnya di areal perkebunan kurang lebih 13 ribu hektare dengan kapasitas olah produksi minyak kelapa sawit 90 ton/jam.

Bila merujuk surat eksternal PT HIP bernomor: 069/HIP/EK-FPN/IX/11 tentang Bantuan Pencarian Tenaga Profesional, sistem kemitraan inti plasma ini mulai dikembangkan sejak 2011.

Aksi spanduk petani di kebun plasma sawit di Desa Winangun, Kabupaten Buol | Foto: Istimewa

Jadi korban janji manis selama 15 tahun

Apa yang dirasakan oleh Mada dan ratusan petani plasma di Buol lebih gamblang dijelaskan perwakilan FPPB, Patrisia, dalam konferensi pers yang digelar di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah (22/2/2023).

“Berdasarkan regulasi, perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20% dari total luas area izin usahanya. Namun, dalam perkembangannya malah lahan milik petani yang dirampas untuk jadi kebun plasma. Sementara tidak sejengkal pun lahan perusahaan yang jadi kebun plasma,” ungkap Patrisia kepada wartawan.

Pernyataan FPPB merujuk UU 11/2020 Pasal 58 seperti diubah dalam Perppu 2/2022, UU 4/2023, dan Permentan nomor 21/2017. Keempat regulasi tersebut kurang lebih menyatakan bahwa perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan wajib memfasilitasi kebun masyarakat seluas 20 persen dari luas lahan perusahaan.

Patrisia menyebut para petani selaku pemilik lahan tidak mendapat bagi hasil dari kebun plasma. Pun tidak lagi memiliki hak atas tanah-tanah mereka karena dikendalikan sepenuhnya oleh PT HIP.

Para petani hanya bisa menyaksikan kendaraan lalu-lalang mengangkut TBS hasil kebun plasma hingga ratusan ton setiap hari.

“Justru para petani plasma yang tergabung dalam Koptan mitra PT HIP harus berhadapan dengan hutang bernilai ratusan miliar,” sambung Patrisia yang juga pengurus Koptan Amanah, salah satu koperasi mitra PT HIP.

PT HIP pada tanggal 24 Oktober 2022 pernah mengeluarkan surat internal yang menyampaikan pinjaman tujuh Koptan. Nilainya mencapai Rp1,1 triliun.

Hutang yang dibebankan kepada sejumlah Koptan itu punya perbedaan nominal. Koptan Amanah kurang lebih senilai Rp364 miliar, Koptan Awal Baru sebesar Rp120 miliar, sementara Koptan Piyonoto Rp111 miliar.

Namun dua bulan berselang, terjadi perubahan nominal hutang senilai Rp590 miliar alias turun 53,6 persen dari penyampaian hutang awal. Hutang tersebut bahkan tanpa ada penjelasan disertai bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

Patrisia menyebut bahwa sejumlah Koptan tidak pernah menerima uang dari hutang sebesar itu. Pihaknya bahkan hanya menerima rata-rata kurang lebih Rp52 ribu per hektare yang diterima setiap bulan.

“Sebagai contoh, petani plasma yang dinaungi Koptan Amanah selama 15 tahun cuma terima kurang dari Rp5 juta per hektare. Lebih miris lagi petani plasma Koptan Awal Baru menerima Rp35 ribu. Itupun hanya sekali,” tuturnya.

Masalah ini kian mengerucut karena ditengarai sejumlah Koptan dikelola oleh manajemen yang buruk. Bahkan tiga orang pengurus diduga menggelapkan uang koperasi. Belum lagi Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Buol yang campur tangan berlebihan sehingga aktivitas koperasi menjadi terhambat.

Persoalan antara petani plasma dengan PT HIP makin melebar karena perusahaan bertahun-tahun membeli TBS jauh di bawah harga yang telah ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Buol.

Misalnya saja saat harga TBS ditetapkan Rp2.900 rupiah per kilogram dan harga di petani mandiri berkisar Rp1.200 rupiah per kilogram. PT HIP malah membeli TBS dari plasma dengan harga kisaran Rp500-Rp600 rupiah per kilogram.

Harga tertinggi pembelian yang ditetapkan PT HIP hanya sekitar Rp850 rupiah per kilogram sebelum kemudian ada kenaikan saat perusahaan lain masuk sebagai kompetitor pasar di Kabupaten Buol.

Terus berjuang mencari keadilan

Tak ingin terus menerus mengalami penindasan dari PT HIP, petani plasma lalu melakukan sejumlah perlawanan seperti melakukan aksi spanduk, rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD Kabupaten Buol, hingga melayangkan tuntutan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Sejumlah aksi tersebut bikin DPRD Buol akhirnya membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelesaikan problem yang dialami oleh petani plasma. Perjuangan FPPB mendapat dukungan dari dua organisasi nonpemerintah, yaitu WALHI dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng.

Direktur WALHI Sulteng Sunardi Katili menyebut bahwa persoalan yang dialami oleh petani plasma adalah wujud ketidakadilan dari korporasi.

“Bisa dilihat bahwa model kemitraan inti plasma ini hanya menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bukan sebaliknya,” katanya dalam sesi konferensi pers.

WALHI Sulteng menilai bahwa persoalan utama yang mestinya diselesaikan oleh PT HIP adalah menjelaskan asal usul hutang dan pertanggung jawaban atas penggunaan utang tersebut. Bukan dengan menambah masalah seperti kriminalisasi maupun bentuk penindasan lainnya.

Sunardi  berjanji akan melihat masalah ini secara komprehensif, mulai dari sisi penegakkan HAM, keperdataan karena adanya konflik agraria, hingga keterkaitan dengan masalah lingkungan.

Pola inti plasma atau kemitraan perkebunan sawit dirancang sejak era Orde Baru. Dengan skema kemitraan, perusahaan bertindak sebagai inti, sementara plasma merujuk petani sekitarnya.

Inti diharapkan membantu plasma, mempersiapkan dan membina plasma dalam memelihara, mengelola, dan menampung hasil kebun plasma.

Tujuannya memberdayakan masyarakat sekitar perkebunan sehingga mereka turut menikmati hasil kebun dan mengangkat perekonomian.

Namun, merujuk laporan investigasi BBC, The Gecko Project, dan Mongabay, seiring tahun berlalu skema itu justru memihak pada konglomerasi.

Banyak petani yang alih-alih untung malah buntung. Mereka terperangkap dalam skema eksploitatif dengan pembagian hasil keuntungan yang tidak proporsional, terlilit hutang, dikriminalisasi, sementara perusahaan tidak melaksanakan kewajiban hukumnya untuk menyediakan plasma.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
1
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - LBH Sulteng: Urus perkara cerai sampai kasus tambang
LBH Sulteng: Urus perkara cerai sampai kasus tambang
LBH Sulteng saban tahun mengurusi sekitar 150 perkara. Mulai dari perkara besar macam konflik agraria…
TUTURA.ID - Islam di Sulawesi Tengah; sejarah syiar ulama pertama pembawa Islam (bagian 2)
Islam di Sulawesi Tengah; sejarah syiar ulama pertama pembawa Islam (bagian 2)
Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah  datang pada periode yang berbeda. Tulisan ini berfokus pada kawasan…
TUTURA.ID - Hari Anti Tambang 2024; refleksi pengabaian penguasa terhadap kerusakan lingkungan
Hari Anti Tambang 2024; refleksi pengabaian penguasa terhadap kerusakan lingkungan
Peringatan Hari Anti Tambang tahun ini dipusatkan di Palu, Sulteng. Temanya "Lawan Kolonialisme Industri Ekstraktif,…
TUTURA.ID - Distributor motor Honda di Palu menjawab prasangka soal rangka eSAF
Distributor motor Honda di Palu menjawab prasangka soal rangka eSAF
Syak wasangka terkait rangka eSAF motor skuter matik Honda masih mengemuka, termasuk di Palu. Konsumen…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng