Plang nama bertuliskan Magabudhi, akronim Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia, melekat pada sebuah bangunan yang menempati satu gang. Lebarnya tak lebih dari dua meter.
Letaknya tak jauh dari perempatan Jalan Gajah Mada, pertemuan antara Jalan Teuku Umar dan Jalan Danau Lindu. Tengoklah ke kiri ada sebuah gang yang mungkin hanya berjarak sekira 20 meter dari perempatan.
Bangunannya berwarna kuning gading muda. Diapit oleh ruko yang masih aktif menjual barang dagangan. Ruko di sisi kanan menjual pakaian. Sementara ruko di sisi kirinya dibatasi gang dan selokan.
Kompleks itu jadi lebih bersih berkat program Palu Adipura. Sebelumnya di mulut gang berdiri studio “Rafika Foto” yang kini sudah tidak ada.
Jika ingin mencari letak rumah ibadah ini mengandalkan fitur Google Street, niscaya berakhir nihil. Tempatnya menyempil. Warga sekitar lebih sering menyebut bangunan tersebut kelenteng alih-alih vihara.
Penyebutan kelenteng berinduk dari Kwan Im Teng alias Dewi Kwan Im. Muasalnya karena kelenteng pertama yang dibangun oleh Letnan Kwee Hoen di Glodok, Jakarta Barat, pada 1650, memakai nama sang Dewi Welas Asih itu. Lama-kelamaan penggunaan kelenteng makin familiar.
Hingga sekarang kelenteng tersebut masih kokoh berdiri setelah beberapa kali pemugaran. Namanya menjadi Vihara Dharma Bakti alias Kelenteng Petak Sembilan. Tempat ini selalu ramai saban perayaan Imlek.
Banyak orang bahkan menganggap kelenteng sama dengan vihara. Padahal fungsi utama kelenteng sebagai rumah ibadah Tridharma yang di dalamnya ada ajaran Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme.
Sedangkan vihara selain rumah ibadah umat Buddha, dulu juga menjadi tempat belajar, berkumpul, dan tinggal para biksu atau bhikkhu.
Begitu juga dengan kelenteng tua di Palu yang sedang saya datangi. Namanya dulu Kelenteng Kwan Im Miau. Kini telah berubah menjadi Vihara Karuna Dipa.
Saat kaki melangkah masuk ke dalam bangunan terlihat pada sisi kiri dindingnya terpampang daftar donasi. Lengkap nominal dan jenis sumbangannya.
Lebar ruang ini sekitar 5-6 meter. Lebih jauh ke dalam, ukuran panjang ruangannya sekitar 12-15 meter. Dari pintu masuk pandangan bablas melihat pintu dapur.
Bila kita berjalan ke arah dapur, sebelum sampai dapur kita dapat melihat ruang lagi di sisi kanan. Isinya ada kantin mini beserta kursi dan meja prasmanan. Ruangan ini juga jadi penghubung ke area utama yang jadi tempat sembahyang.
Dalam ruang sembahyang itu, furnitur-furnitur khas pecinaan tertata rapi. Arca-arcanya juga sudah ditempatkan sedemikian rupa. Beberapa sisa dupa masih tertancap pada pasir di wadah bakar dupa. Pemandangan khas sebuah klenteng.
Di dalam ruangan tampak dua orang yang sedang sibuk. Mereka adalah Amir sang penjaga klenteng dan Edi seorang pemuda warga sekitar. Amir sibuk mondar-mandir sambil menelpon. Sementara Edi tekun memasang taplak meja plus plastik bening sebagai penutup.
Edi juga yang empunya Rafika Foto. Studio itu milik bapaknya yang berdiri sejak tahun 1985. Ia sudah sering bantu-bantu di kelenteng. Saat asyik berbincang dengan Edi, tak lama kemudian Amir keluar membawa kopi dan air mineral.
Edi bilang, “Kalau ada perayaan besar, saya sudah tahu jadi langsung datang baku bantu biar tidak diminta.” Edi beragama Islam. Temannya kadang bilang ia sesat lantaran sering nimbrung di situ. Edi tidak mau ambil pusing, sebab baginya tolok ukur keimanan seseorang bukan dari sisi tadi.
Kaos berwarna merah yang sedang Edi kenakan bertuliskan gong xi fa cai. Tetesan keringat telah membasahi kaosnya lantaran sedari tadi sibuk memasang taplak meja dan atribut khas perayaan Imlek di langit-langit kelenteng.
Cerita tentang kelenteng juga datang dari Amir yang sudah jadi penjaga kelenteng selama tiga dekade. Amir bercerita bahwa sempat ada rencana merayakan Imlek dengan barongsai.
Rencana tadi urung terwujud melihat kondisi halaman kelenteng yang tak seberapa lega. Belum lagi Jalan Gajah Mada terlalu padat oleh lalu-lalang kendaraan.
Selain itu, Amir juga bilang, “Ada rencana renovasi di depan kelenteng. Tukangnya ada sendiri, dia Islam tapi jago bikin tempat-tempat ibadah.”
Awal mula
Penuturan soal sejarah kelenteng ini kami dapatkan pula dari Lucky Koriston (71), pengurus Yayasan Karuna Dipa yang pernah menjadi ketua Vihara Karuna Dipa.
Atuik, demikian sapaan akrabnya, menceritakan bagaimana bangunan keagamaan itu berdiri sejak awal.
Meski menyandang nama resmi sebagai vihara, bangunan ini awalnya adalah tempat ibadah rumahan dan dikenal sebagai kelenteng sejak berdiri.
“Mulanya tempat ibadah rumahan. Namanya cetya. Mungkin karena warga sekitar menganggapnya sakral, akhirnya mereka ikut sembahyang juga di situ,” kata Atuik.
Pada tahun 1942, Ny. Phan. A. Lin selaku pemilik rumah, lantas menyerahkan tempat sembahyang itu kepada khalayak umum.
Sekitar dasawarsa 1960-an, pernah ada momen Kota Palu sering mengalami kebakaran. Atuik termasuk pernah jadi korban.
Peristiwa nahas tadi bikin banyak warga peranakan Tionghoa sering mengadakan doa tolak bala sebagai ritual tahunan di dalam kelenteng. Orang-orang mulai datang melakukan hal yang sama agar kebakaran tidak menimpa mereka.
Dulu sebelum kelenteng berdiri, ritual sembahyang dan memanjatkan doa-doa agar terhindar dari kesialan berlangsung di rumah milik salah satu warga Tionghoa bernama Cha Mpe Lan.
“Jadi ada usulan untuk bikin (sembahyang) di kelenteng saja. Biar sekalian besar-besaran. Akhirnya sepanjang tahunnya kegiatannya di kelenteng situ sudah. Makin banyak juga orang datang,” kenang Atuik.
Seiring berjalannya waktu, sang pendiri juga semakin tua, sesepuh yang lain melakukan beberapa pembaharuan dari yang hanya ada satu arca menjadi beberapa arca.
“Bukan untuk disembah, tapi untuk diperingati sosoknya,” tegas Atuik menyoal keberadaan arca.
Dari aktivitas yang mulai ramai, maka dibuatlah kalender tahunan di klenteng. Pada tahun 1980 terbit peraturan dari Kantor Agama yang mewajibkan adanya pengurus berstatus warga Negara Indonesia (WNI)
“Maka kami ini diangkat jadi pengurus dan para sesepuh mendampingi kita,” jelas Atuik.
Pada zaman orde baru, ada fase kelenteng Konghucu akan ditutup kecuali masuk dalam agama yang diakui negara. Alhasil tempat peribadatan tersebut melebur ke dalam Buddha Theravada.
Dengan begitu ada ruangan khusus Patung Buddha Siddharta Gautama (simbolis Buddha Theravada yang dari India) di kelenteng. Fase ini jadi momen akulturasi dan membawa pengaruh pada tradisi sembahyang di kelenteng.
Hal yang sama juga terjadi di kelenteng ini. Pada Tahun 1981, izin rumah ibadah dikeluarkan Bupati Donggala dengan nama Vihara Karuna Dipa karena dinaungi oleh Yayasan Karuna Dipa yang terbentuk setahun lebih awal.
“Maka kelenteng itu menjadi Vihara Karuna Dipa. Karena waktu itu para sesepuh masih hidup, kelenteng tetap ada juga sembahyang untuk merawat budaya dan menghormati para leluhur,” kata Atuik.
Penjelasan Atuik merujuk pada akulturasi antara aliran kepercayaan leluhur dan aliran Buddha Theravada.
Dia kemudian menjelaskan pandangannya tentang perjalanan melestarikan tradisi leluhur oleh generasi penerus yang makin luntur. Pasalnya saat ini para generasi muda kebanyakan sudah kurang mempercayai tradisi leluhur.
Menurut data Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, hingga Desember 2021, penduduk Sulawesi Tengah berjumlah 3,05 juta jiwa. Sebagian besar memeluk agama Islam (2,41 juta jiwa), kemudian Kristen (496.910 ribu jiwa), Hindu (110.087 orang), dan Katolik (27.520 jiwa).
Terdapat pula 4.220 jiwa penduduk Sulteng yang memeluk agama Buddha, 27 orang beragama Konghucu, dan sebanyak 3.260 jiwa menganut aliran kepercayaan.
Penganut ajaran Buddha dan Konghucu yang melakukan ibadah rutin di kelenteng. Selain itu, pihak Magabudhi juga mengadakan peringatan tahunan untuk mengenang bencana 28 September 2018. Peringatannya berupa tabur bunga di Pantai Talise.
Atuik menerka jamaah tetap kelenteng saat ini berkisar 200 orang. Sukar menentukan jumlah pasti sebab pelaksanaannya bukan seperti ibadah umat Islam dan Kristen yang secara serentak. Orang-orang kebanyakan datang sembahyang sendirian.
Sembahyang yang rutin berlangsung di kelenteng namanya Uposatha, penyebutan untuk hari ketika umat Buddha dianjurkan berbuat kebajikan dengan mengamalkan ajaran Sang Buddha.
“Uposatha ini bulan gelap dan bulan terang,” terang Atuik menjelaskan waktu pelaksanaannya. “Jadi ibadah di kelenteng paling sering itu sebulan dua kali.”
kelenteng imlek vihara tionghoa tiongkok Yayasan Karuna Dipa Buddha Konghucu Taoisme Tridharma Cina Phan A. Lin barongsai