Lima tahun setelah lindu melanda; suara dari huntara
Penulis: Anggra Yusuf | Publikasi: 29 September 2023 - 16:46
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Lima tahun setelah lindu melanda; suara dari huntara
Kondisi salah satu unit di Huntara Layana, Kecamatan Mantikulore, Palu (Foto: Anggra Yusuf/Tutura.Id)

Memandangi wajah Kota Palu, Sigi, dan Donggala saat ini yang sudah mengalami banyak perbaikan tentu beda dengan kondisi lima tahun silam. Kala gempa, tsunami, dan likuefaksi menghancurkan banyak bangunan. Merenggut ribuan nyawa.

Para penyintas berusaha bangkit menata dan menjalani kembali kehidupan yang baru di tengah sengkarut penanganan pascabencana. Beberapa orang mampu melewatinya dengan cepat, tapi tak sedikit juga yang bertatih-tatih.

Salah satunya mereka yang hingga kini masih hidup dalam bilik-bilik hunian sementara (huntara).

Padahal kondisi kebanyakan huntara telah mengalami kerusakan, mulai dari lantai bolong, bangunan yang miring, kamar mandi yang rusak, hingga dinding dan lantai yang jebol. Kian ringkih.

Biasanya satu kompleks huntara terdiri dari beberapa unit yang terdiri dari bilik-bilik. Disediakan pula kamar mandi, toilet, dan dapur yang digunakan bersama oleh para penghuni tiap unit.

Sesuai namanya, sejak awal hunian ini bersifat sementara alias hanya diperuntukkan sembari menunggu relokasi ke kompleks hunian tetap (huntap) yang disediakan oleh pemerintah.

Namun, masalah penyediaan huntap masih jadi pekerjaan besar hingga saat ini.

Suasana di Huntara Mamboro yang jadi tempat tinggal banyak keluarga penyintas usai bencana dahsyat pada 2018 (Foto: Anggra Yusuf/Tutura.Id)

Hari itu, Rabu (27/9/2023), di bawah sengatan matahari yang mencapai 35 derajat celcius, Tutura.Id coba melongok kondisi dan aktivitas di Huntara Layana, Kecamatan Mantikulore, Palu.

Abdul Aziz terlihat sedang duduk di kios miliknya saat kami datang. Ia menyambut kami dengan hangat. Bangunan semi permanen itu kini jadi salah satu tumpuan mengais rezeki untuk menghidupi keluarganya.

Tampak pula di teras bilik huntara lainnya beberapa orang sedang beristirahat. Sekadar berbaring di tengah cuaca yang bikin kegerahan. Beberapa pohon kersen tumbuh di depan huntara. Lumayan bisa jadi peneduh dari sengatan matahari langsung.

Pria asal Makassar itu banyak menceritakan kondisi sehari-hari yang dialami keluarga penyintas di Huntara Layana, termasuk upaya mereka beroleh huntap yang diperjuangkan melalui Forum Penyintas Layana.

“Sudah dua kali pengumuman (penerima) huntap kami tidak dapat. Surat menyurat ke pemerintah dan rapat bersama DPRD provinsi sudah. Aksi demo juga. Tapi tidak ada solusi sampai sekarang,” ujar Abdul Aziz.

Sejak Maret 2019, ia bersama 80 keluarga penyintas lainnya melewati hidup di tempat ini. Kini tersisa hanya sekitar 60 keluarga saja.

Bayang-bayang penggusuran kerap menghantui pikiran mereka. Pasalnya lokasi huntara tersebut hanya lahan sewa yang sewaktu-waktu bisa diambil pemiliknya.

Kejadian yang terjadi akhir 2022 jadi bukti. Beberapa keluarga harus menyingkir karena masa sewa pakai lahan beberapa unit huntara telah habis.

Santer tersiar kabar di telinga para penyintas bahwa lahan yang masih berdiri huntara saat ini harus dikosongkan awal tahun 2024. “Karena tahun depan kemungkinan yang punya tanah mau pakai,” ungkap Aziz.

Pemilik lahan sebenarnya bersedia melepas tanahnya dengan tebusan Rp400 juta. Hanya saja angka tersebut masih tak terjangkau kantong. Maklum, penghasilan para penyintas juga serba pas-pasan.

Serangkaian usaha meminta bantuan dana juga tak membuahkan hasil, termasuk ketika bertemu Wali Kota Palu Hadiyanto Rasyid, Tenaga Ahli Gubernur Sulteng Ridha Saleh, serta beberapa anggota DPRD Sulteng.

Kini, Aziz bersama keluarga penyintas lain hanya bisa pasrah. Berharap dapat terus menjalani hidup dengan perasaan tenang di tempat yang lebih layak.

Penyintas di Huntara Petobo berharap pembangunan Huntap Petobo secepatnya rampung agar mereka bisa tinggal di tempat lebih layak (Foto: Anggra Yusuf/Tutura.Id)

Berikutnya kami menuju Kelurahan Petobo, Palu Selatan. Salah satu wilayah paling parah akibat gempa 28 September 2018 silam.

Wilayah ini menjadi salah satu lokasi terjadinya likuefaksi, semacam tanah yang teraduk, tak berselang lama setelah lindu mengguncang.

Berjarak sekitar 500 meter dari titik paling atas terdampak likuefaksi, berdiri deretan huntara bagi masyarakat. Penghuninya sekitar 500-an kepala keluarga. Kebanyakan dari mereka kerja serabutan. Penghasilan serba tak menentu.

“Untung ada juga orang kasih kerja. Makanya banyak laki-laki jadi buruh bangunan untuk kerja Huntap Petobo di atas sana. Kalau tidak begitu, tidak bisa makan,” kata Sriyun.

Sriyun mengaku sudah menghabiskan hampir lima tahun hidup di Huntara Petobo yang kondisinya kian ringkih. Sebelumnya ia tinggal di tenda darurat selama tiga bulan.

Dirinya bersama penyintas lainnya tak menyangka bisa menghabiskan waktu hingga lima tahun menghuni huntara ini.

Padahal, awalnya hanya dijanjikan dua tahun. “Namanya saja hunian sementara. Sementara lama. Karena akhirnya kami tinggal lama di sini,” kata Sriyun.

Sriyun dan beberapa orang yang mengobrol dengan kami sangat berharap pembangunan Huntap Petobo segera rampung.

Lokasinya sekira 800 meter arah timur dari lokasi huntara yang sekarang. Sesuai perencanaan, di Huntap Petobo bakal berdiri 648 unit.

“Semoga bukan kabar angin lagi. Kabar burung,” sahut Sriyun dan kawan-kawan kompak.

Pembangunan huntap berdasarkan rencana ditargetkan rampung akhir 2023 atau paling lambat awal 2024. Kenyataannya banyak yang meleset dari target karena berbagai polemik, termasuk urusan pembebasan lahan.

Padahal merujuk Peraturan Gubernur Sulteng Nomor 10/2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, seharusnya pembangunan huntap kelar dalam 2,5 tahun sejak diterbitkan pada 12 April 2019.

Ambil misal, Huntap Talise yang pembangunannya baru dimulai medio 2022. Progres pembangunan Huntap Tondo 2 lebih molor lagi. Terealisasi penghujung tahun lalu.

Pun demikian, para penyintas tetap sabar menanti sembari berharap jatah hunian tetap kali ini bukan lagi sekadar angin surga alias janji kosong. Lima tahun sudah lebih dari cukup.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Upaya merefleksikan bencana dan memulihkan trauma melalui seni
Upaya merefleksikan bencana dan memulihkan trauma melalui seni
Masyarakat di Desa Lero, Kec. Sindue, memperingati lima tahun bencana gempa dan tsunami melalui kegiatan…
TUTURA.ID - Debat publik calon wali kota Palu; pendukung paslon ramai keluhkan kuota
Debat publik calon wali kota Palu; pendukung paslon ramai keluhkan kuota
KPU Kota Palu membatasi jumlah orang yang ingin menyaksikan debat publik pertama calon wali kota…
TUTURA.ID - Perppu pemilu beri keuntungan buat politisi di Sulteng
Perppu pemilu beri keuntungan buat politisi di Sulteng
Ada penambahan 10 kursi di DPRD Sulteng. Pemilu 2024 nanti akan memperebutkan 55 kursi. Penambahan…
TUTURA.ID - Damkarmat Kota Palu kekurangan armada dan personel
Damkarmat Kota Palu kekurangan armada dan personel
Jumlah mobil dan personel Damkarmat Kota Palu saat ini kurang memadai. Butuh penambahan segera, tapi…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng