Sepanjang 2022, telah terjadi 231 bencana di Sulawesi Tengah. Dari angka tersebut sebanyak 224 di antaranya bisa masuk kategori bencana hidrometeorologi, alias petaka yang diakibatkan situasi hidrologi, seperti curah hujan, dan temperatur--misal banjir, tanah longsor, dan abrasi.
Bencana hidrometeorologi juga acap kali disederhanakan sebagai imbas dari “cuaca ekstrem.” Meski penyederhanaan itu tak sepenuhnya keliru, ada perkara yang lebih besar daripada sekadar cuaca ekstrem yakni: Perubahan iklim.
Sudah banyak riset yang menyimpulkan bahwa cuaca ekstrem merupakan imbas perubahan iklim. Ringkasnya, perubahan iklim memengaruhi siklus hidrologi, mengakibatkan cuaca ekstrem, lantas bikin bencana macam banjir, longsor, atau abrasi lebih sering terjadi.
Pada titik ini, langkah mitigasi jadi penting guna meminimalisir bencana serta dampaknya. Aspek mitigasi ini juga tak hanya berpusar pada peristiwa bencana, tapi juga memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan perubahan iklim, misalnya dengan menjaga wilayah konservasi, seperti hutan.
Menjaga kawasan hutan dengan tutupan pohonnya, berarti pula memastikan emisi alias polusi bisa diserap.
Emisi atau polusi merupakan satu akar masalah perubahan iklim. Emisi yang menumpuk telah membentuk “selimut polusi” di udara dan membuat bumi menjadi tambah panas (pemanasan global) dari waktu ke waktu. Pada akhirnya situasi itu berujung pada perubahan iklim--ilustrasi berformat video bisa dilihat di sini
Perkara tersebut jadi salah topik utama dalam talkshow bertemakan “Mitigasi Bencana Berbasis Konservasi Ekosistem dan Tata Ruang,” yang berlangsung secara hibrid (daring dan luring) dari Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat, Jumat (20/1/2023).
Acara yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) itu antara lain menghadirkan Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Afit Lamakarate, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi.
Kolaborasi multipihak jadi kunci utama
Pada kesempatan tersebut, Afit Lamakarate menjelaskan bahwa Kabupaten Sigi--yang berdiri pada 21 Juli 2008--sedari awal dicanangkan sebagai kabupaten konservasi.
“Jauh sebelum Kabupaten Sigi terbentuk, masyarakat sudah paham dengan kondisi lingkungannya. Bahkan ditetapkan memiliki kawasan konservasi hutan lindung,” kata Kadis Afit.
Posisinya sebagai kabupaten konservasi itulah yang membuat Sigi terlibat sebagai anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).
LTKL merupakan forum bersama dari sejumlah daerah tingkat II di Indonesia yang punya komitmen atas pembangunan berkelanjutan (baca: lingkungan hidup serta mitigasi perubahan iklim). Bersama delapan kabupaten lain di Indonesia, Sigi pun bergelar "kabupaten lestari."
Dalam praktiknya di lapangan, Kabupaten Sigi punya visi bertajuk Sigi Hijau. Di bawah kepemimpinan Bupati Mohammad Irwan Lapatta, visi tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sigi Nomor 4 Tahun 2019 tentang Sigi Hijau.
Perda ini mengatur implementasi berupa penetapan dan pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH), hingga soal restorasi ekosistem.
Bahkan, yang mungkin bisa disebut sebagai kebijakan progresif, Perda Sigi Hijau mencantumkan “mitigasi dan adaptasi perubahan iklim” serta “penanganan wilayah konflik agraria” sebagai bagian dari ruang lingkup utama implementasinya.
Dalam talkshow, Jumat (20/1/2023), Kadis Afit menjelaskan salah satu langkah implementasi yang saat ini sedang berjalan ialah pembentukan forum multipihak sebagai wadah kolaborasi antara pemangku kepentingan di Sigi.
Tak hanya berpusar di lembaga pemerintahan, wadah kolaborasi itu juga menampung organisasi nonpemerintah seperti Yayasan Kompas Peduli Hutan alias KOMIU.
Aktivitas Yayasan KOMIU antara lain melakukan inventarisasi jenis-jenis pepohonan di Sigi. Salah satunya dilakukan dengan menggandeng komunitas pemuda di Hutan Ranjuri, Desa Beka, Kecamatan Marawola.
Di wilayah tersebut mereka coba memastikan keragaman varietas pohon. Pasalnya, kian beragam jenis pohon makin baik pula bagi mitigasi perubahan iklim. Keragaman jenis pohon akan memastikan lebih banyak emisi atau polusi yang bisa terserap oleh kawasan hutan.
Proses penanaman kembali juga dilakukan dengan menggandeng Jejak.in, satu perusahaan rintisan (startup) yang mengembangkan sistem pengelolaan pohon.
Jejak.in mengemas proses penanaman kembali itu dengan model “adopsi pohon” yang lantas ditawarkan kepada khalayak lewat marketplace. Siapa pun bisa ikut menyumbang pohon.
Gita Syahrani, Kepala Sekretariat LTKL, menyebut bahwa kerja kolaborasi nan luas sangat dibutuhkan demi mencapai mitigasi yang tak sekadar terbatas pada peristiwa bencana, tapi juga merangkum aspek perubahan iklim.
“Kita butuh prinsip gotong royong yang bukan hanya di atas kertas, tapi juga melihat tujuan bersama, pembagian peran yang adil, dan fungsi perangkai gotong royong,” kata Gita, dalam acara talkshow tersebut.
Kadis Afit menambahkan bahwa Pemkab Sigi juga melakukan sejumlah kerja mitigasi lainnya. Misalnya, berusaha melakukan penataan ruang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Ada pula upaya untuk melakukan reformasi lahan kritis dengan penanaman bambu baik dalam kawasan hutan ataupun lewat skema perhutanan sosial. Pemkab Sigi juga mendorong kesiapsiagaan tanggap bencana dengan membentuk serta membina kelompok masyarakat peduli bencana.
lingkungan iklim perubahan iklim Mohammad Irwan Irwan Lapatta Bupati Sigi lingkar temu kabupaten lestari LTKL mitigasi perubahan iklim kabupaten lestari