Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) beserta partai pendukungnya menyusun tim pemenangan dengan meminjam analogi sepak bola.
Tim Pemenangan Nasional Anies-Imin disingkat jadi Timnas AMIN. Ketuanya disebut kapten. Lengkap pula dengan head coach alias pelatih kepala. Pos yang disebut terakhir itu dipercayakan pada Ahmad Ali, politisi Partai NasDem asal Morowali, Sulawesi Tengah.
Nama Ali diumumkan langsung oleh Anies. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut sosok Ali di Timnas AMIN bakal memainkan peran seperti para pelatih kenamaan, macam Alex Ferguson, Arsene Wenger, dan Jurgen Klopp.
Pada hari yang sama ketika namanya diumumkan, 21 November 2023, Ali kirim foto bernuansa sepak bola ke Instagram. Dalam potretnya, Ali dan keluarga terlihat sedang mengunjungi Santiago Bernabeu, markas Real Madrid–klub tersukses di dunia.
Sir Alex ialah pelatih masyhur. Real Madrid adalah klub tersohor. Namun, sebagai pencinta sepak bola dan penonton politik, saya mau bilang bahwa Ahmad Ali bukan Sir Alex Ferguson. Timnas AMIN bukan Manchester United; bukan pula Real Madrid.
View this post on Instagram
***
Separuh dari sejarah manusia dituturkan lewat dongeng. Kisah-kisah terbaiknya sering menyuguhkan cerita tentang pertarungan dan kemenangan yang kecil melawan yang besar. Si Lemah versus Si Kuat. Mustadafin nan tertindas kontra penguasa otoriter. Gerakan perubahan menantang status quo.
Kita cenderung menyukai tipe cerita ini. David versus Goliath. Liliput lawan raksasa.
Dalam sepak bola, kita terhibur dengan kemenangan para underdog. Maka jadilah sebagian dari kita berdoa untuk Maroko pada Piala Dunia 2022; atau banyak pula yang menaruh harap pada Kroasia di Piala Dunia 2018.
Adapun satu dongeng terbaik lapangan hijau era kiwari terjadi di Liga Primer Inggris musim 2015-2016.
Leicester City--klub yang bahkan sering disebut dengan kesalahan pronunciation oleh banyak orang (yang benar “Leister”)--secara mengejutkan jadi kampiun liga sepak bola nomor wahid sedunia. Kurcaci tersebut jadi mimpi buruk bagi para raksasa, macam Arsenal, Manchester City, Manchester United, dan Chelsea.
Pada titik ini, saya hendak menyebut Ahmad Ali dalam satu helaan napas dengan Claudio Ranieri. Nama terakhir merupakan ahli strategi Leicester musim 2015-2016. Namanya tidak seharum Sir Alex, atau kompatriotnya dari Italia, macam Marcello Lippi dan Fabio Capello.
Situasi itu mirip dengan kondisi Ali. Meski ada di percaturan politik nasional, nama Ali agaknya masih asing bagi sebagian khalayak. Maklum, politisi kelahiran Desa Wosu itu baru memainkan lakonnya di Parlemen Senayan dalam dua periode terakhir--terpilih dari dapil Sulteng.
Sosok Ali mulai dikenal di pentas politik nasional saat dapat posisi sebagai Wakil Ketua Partai NasDem, serta Ketua Fraksi NasDem pada periode keduanya di DPR-RI.
Namun, pada awal 2022, Ali tergusur dari posisi Ketua Fraksi NasDem. Kabarnya, Ali sempat kecewa lantaran digantikan oleh Robert Rouw--eks politisi Gerindra yang bergabung dengan NasDem jelang Pemilu 2019.
Konon, saking kecewanya, Ali pernah mengantarkan surat pengunduran dirinya dari Partai NasDem ke Surya Paloh. Akan tetapi, Ketua Umum Partai NasDem itu merobek-robek warkat tersebut.
Sebagai insan politik, Ali didewasakan oleh pertarungan. Ia tak selalu menang, dan dibesarkan pula oleh kekalahan-kekalahan politik. Orang-orang dekatnya lantas melukiskan Ali seperti mitologi burung foniks. Mati jadi abu, lalu hidup lagi dari abunya dengan spirit baru nan muda.
Hanya beberapa bulan usai tergusur dari Ketua Fraksi NasDem, Ali malah jadi tokoh sentral dalam pencapresan Anies lewat Partai Restorasi itu. Sosoknya kerap terlihat mendampingi Anies saat tur politik ke berbagai daerah.
Tak perlu heran bila Anies mencium kening Ali pada momen pendaftaran AMIN di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anda mungkin akan melakukan hal yang sama pada rekan seperjuangan setelah menempuh jalan penuh aral. Atas alasan serupa, Laurent Blanc punya kebiasaan mencium kepala plontos Fabien Barthez di Piala Dunia 1998.
Ali juga tampil berpidato di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, saat Apel Siaga Perubahan Partai NasDem pada 17 Juli 2023, yang konon dibuat untuk menguatkan internal Partai Biru Kuning itu dalam pencapresan Anies.
Setengah-berseloroh-separuh-tende (baca: pujian), seorang kawan menyebut Ali sebagai satu-satunya politisi Sulteng yang pernah kasih ceramah politik di GBK--tentu saja bukan Gelora Bumi Kaktus di Palu.
Balik ke 2012, Ali pernah merasakan kekalahan di Pilkada Morowali. Sekitar satu tahun pasca-kekalahannya, tokoh yang semasa kuliah ditempa di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu itu bergabung ke Partai NasDem.
Beberapa tahun usai Pilkada Morowali 2012, Ali sudah berada di sirkuit politik nasional. Melanglang buana. Jauh dari kampung halamannya. Kini, ia jadi salah satu elite yang mewarnai peta politik Indonesia pada hari-hari belakangan.
View this post on Instagram
Kurang pas di tempat mapan
Lintasan kiprah Ali sedikit banyak mirip Claudio Ranieri. Sebagai pelatih, Ranieri pernah menukangi klub papan atas, misal Chelsea (2000-2004) dan Juventus (2007-2009).
Namun kegagalan menimpa Ranieri bahkan ketika Chelsea telah diguyur uang jutawan Rusia, Roman Abramovich. Pun selama hampir tiga tahun di Juventus, ia gagal mengisi kabinet trofi dengan piala.
Ranieri agaknya kurang beruntung di klub besar. Seperti fenomena Leicester pada 2015-2016, hari-hari terbaik Ranieri terjadi saat menangani tim kuda hitam.
Balik ke medio 1990-an, ketika Liga Italia jadi yang paling beken sejagat, pencinta bola sempat disuguhi kehebatan Fiorentina. Itulah momen saat Gabriel Batistuta dan Rui Costa jadi buah bibir. Mungkin hanya sedikit orang yang ingat, di balik kegemilangan Fiorentina ada sosok Ranieri sebagai arsitek.
Ia bawa Fiorentina bersaing ke papan atas, menyelip di antara dominasi raksasa seperti Juventus dan AC Milan. Di bawah kendalinya, La Viola jadi jawara Coppa Italia 1995.
Bukti lain datang dari Valencia pada akhir 1990-an. Ranieri sukses mengantarkan Los Che jadi pemenang Coppa del Rey 1998. Meski akhirnya cabut pada 1999, Ranieri disebut sebagai peletak dasar keberhasilan Valencia dalam menembus final Liga Champions dua tahun berikutnya (2000 dan 2001).
Pun demikian Ali. Namanya justru bersinar saat menaruh pilihan pada kekuatan politik semenjana.
Ali masuk Partai NasDem ketika parpol tersebut akan menjalani debut pada Pemilu 2014. Padahal, ia bisa saja memilih partai yang mapan, atau sudah punya pengalaman elektoral.
Pada Pemilu 2014, percobaan pertamanya ikut Pileg DPR-RI, Ali langsung melenggang ke Senayan. Partai NasDem Sulteng berhasil mengunci lima kursi di DPRD Sulteng.
Pada Pemilu 2019, hasilnya lebih fantastis. Ali bawa Partai NasDem jadi pemenang pemilu di Sulteng dengan torehan 271 ribu suara. Ia sendiri mendulang 152 ribu suara, dan kembali berkiprah di Parlemen Senayan. Partai NasDem juga mengamankan tujuh kursi di Gedung Wakil Rakyat Sulteng, sekaligus mengantarkan istri Ali, Nilam Sari Lawira sebagai Ketua DPRD Sulteng.
Ringkas kata, Ali ikut membangun Partai NasDem sebagai satu kekuatan politik baru di Indonesia.
Balik ke Pemilu 2009, ketika Ali untuk pertama kali masuk gelanggang politik praktis, pilihannya jauh jua dari kata mapan. Ia gabung Partai Patriot, parpol kecil yang digerakkan elite-elite Pemuda Pancasila.
Meski partainya kecil, Ali berhasil jadi anggota DPRD Morowali. Menariknya, saat berstatus legislator DPRD Morowali, Ali konon menghibahkan gajinya untuk pembangunan masjid, serta mengupah para imam dan marbot.
Membalik survei, memutar prediksi
Rasa-rasanya, kecenderungan berpihak pada kekuatan politik semenjana itu pula yang membuat Ali mendorong Anies sebagai capres. Ia nyaman dalam posisi kuda hitam; Liliput yang menantang raksasa; David yang melawan Goliath.
Senada dengan pilihan Ranieri untuk melatih klub kecil macam Leicester. Ranieri mulai menukangi Leicester jelang dimulainya Liga Inggris 2015-2016.
Nada miring langsung datang di hari-hari pertamanya bertugas. Marcus Christenson, seorang penulis sepak bola untuk The Guardian, melempar nada pesimistis tentangnya.
“Bila Leicester menginginkan orang baik, mereka telah mendapatkannya. Namun jika mereka ingin seseorang yang bisa bikin mereka bertahan di Liga Primer Inggris, mereka mungkin telah mempekerjakan orang yang salah,” tulis Christenson.
Nada Christenson itu ada benarnya. Setidaknya pada konsep “orang baik” yang pernah dicoba di Wakanda. Ternyata Wakanda mempekerjakan orang yang salah sebagai pemimpin.
Si Orang Baik jadi haus kekuasaan, dan membangun dinasti politik. Orang baik tidak cukup. Pemimpin juga butuh visi-misi yang jernih. Plus, yang terpenting dan terutama, punya komitmen dalam menjaga ruang serta nilai-nilai demokrasi.
Christenson menelan ludahnya sendiri di kemudian hari. Ranieri ternyata bukan sekadar orang baik. Dia ahli strategi. Di tangannya pemain kelas dua macam Jamie Vardy, Riyad Mahrez, atau N'golo Kante berubah jadi bintang dunia.
Lis nama Timnas AMIN mungkin juga terbilang kelas dua di lapangan politik. Sebagai misal, sebelum ditunjuk sebagai Kapten Timnas AMIN, nama Muhammad Syaugi Alaydrus masih terdengar asing bagi sebagian orang.
Purnawirawan marsekal yang berpengalaman sebagai pilot F-16 itu diharapkan bisa mengambil keputusan dengan cepat dan efektif. Persis seperti Jamie Vardy, seorang bekas buruh pabrik, yang menjadi mesin gol bagi Leicester. Pada musim 2015-2016, kekuatan utama Vardy ialah kecepatan dan efektivitasnya di depan gawang.
Pun demikian nama-nama tokoh yang sempat duduk di kursi kabinet Jokowi, seperti Sudirman Said dan Thomas Lembong. Keduanya bisa diharapkan jadi jangkar sekaligus pemberi umpan dalam Timnas AMIN. Serupa peran N’golo Kante dan Riyad Mahrez di Leicester pada musim penuh kejutan itu.
Pada titik inilah peran seorang pelatih menjadi penting. Ia perlu memaksimalkan potensi yang dimiliki para pemainnya.
Orang-orang boleh saja memandang sebelah mata komposisi tim. Namun takdir kadang punya jalannya sendiri.
Saat musim 2015-2016 dimulai, skuad Leicester diprediksi hanya akan bersaing untuk keluar dari zona degradasi. Kemungkinan Leicester jadi pemenang Liga Primer Inggris di bursa taruhan hanya 5.000:1--dari 5.000 petaruh hanya seorang yang menjagokan.
Tidak dihitung sebagai calon pemenang. Dianggap kalah sebelum kompetisi dimulai. Tidakkah situasi ini terdengar familiar bagi kubu AMIN?
Pasangan AMIN disebut sebagai duet 20 persen. Istilah itu merujuk pada hasil-hasil survei yang kerap menempatkan pasangan ini di kisaran 20 persen. Tertinggal di belakang Prabowo-Gibran serta Ganjar-Mahfud.
Selama berbulan-bulan, nilai survei nyaris tak bergerak. Tidak sedikit orang yang meragukan AMIN bisa mengikuti Pilpres 2024. Belum lagi menghitung kabar ihwal upaya menjegal AMIN untuk berlaga.
Kini realita telah berbeda. Separuh prediksi telah gugur. AMIN sudah berstatus kontestan Pilpres 2024 dengan nomor urut 1. Perahu politik perubahan telah berlayar.
Berkaca pada Ranieri dan Leicester musim 2015-2016, Ali sebagai pelatih kepala Timnas AMIN punya tugas untuk mengatur strategi demi membalikkan pelbagai ramalan dan survei politik.
Bola itu bundar. Dan kotak suara adalah misteri.
Muammar Fikrie, pencinta sepak bola dan penonton politik.
Catatan redaksi: Tulisan opini merupakan pandangan pribadi penulis. Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sebagai usaha untuk memperkaya perspektif dalam melihat sebuah fenomena dan isu tertentu.
Ahmad Ali Anies Baswedan Muhaimin Iskandar Amin Pemilu 2024 Pilpres 2024 Partai NasDem Timnas AMIN Leicester City sepak bola