“Cocok, saya hanya bilang cocok,” ujar Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Perkataan itu disampaikan Jokowi saat ditanya wartawan ihwal peluang terbentuknya koalisi besar jelang Pemilu 2024.
Berdiri di belakang Jokowi, Prabowo Subianto langsung menyambut lontaran orang nomor satu Indonesia tersebut. "Kita juga cocok," kata Prabowo, sambil menyelipkan tawa kecil. Para ketua partai yang hadir pada saat itu ikut tersenyum.
Pemandangan itu terjadi pada Minggu (2/4/2023). Saat itu, Presiden Jokowi baru saja merampungkan pertemuan dengan lima ketua umum partai pendukung pemerintah. Pertemuan berlangsung di Kantor DPP PAN, Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan.
Adapun lima pembesar partai yang turut hadir dalam silaturahmi politik itu ialah Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), dan Mardiono (PPP).
Pertemuan tersebut bak menyambut gagasan pembentukan koalisi besar--beberapa kalangan mulai menyebutnya sebagai Koalisi Kebangsaan--jelang Pemilu 2024.
Sebelumnya, wacana koalisi ini sudah dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. “Koalisi besar di mana-mana menguntungkan Indonesia. Jadi, kita tunggu tanggal mainnya,” kata Airlangga, dalam acara buka puasa bersama di Nasdem Tower, Jakarta, 25 Maret 2023
Alhasil, sepekan terakhir, koalisi besar mulai jadi percakapan elite politik, dan memenuhi pemberitaan media massa. Aliansi politik besar ini konon bakal menyatukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Jokowi pun disebut-sebut sebagai tokoh sentral di balik koalisi besar. Posisi strategis Jokowi itu kian terendus lewat pernyataan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, saat berkunjung ke rumah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo, pada Sabtu (8/4).
“Perlu kebersamaan kita untuk memajukan negeri ini... Tentu semuanya di bawah orkestra komando Pak Jokowi," kata Zulkifli, dilansir CNN Indonesia. “Negara besar enggak mungkin diurus satu dua. Akan tetapi harus besar juga yang mengurus, yang kadang-kadang saya sebut Koalisi Kebangsaan itu."
Partai lain mengekor
Koalisi besar juga jadi magnet bagi partai lainnya. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, sudah menyatakan keinginan untuk bergabung.
"Semuanya sama-sama ingin memastikan program Pak Jokowi berkelanjutan. Oleh karenanya, ini menjadi dasar keputusan PSI mendukung atau masuk ke dalam koalisi besar pendukung Pak Jokowi,” ujar Grace Natalie, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI.
Perindo pun menunjukkan gelagat serupa. Kemungkinan itu terbuka setelah kunjungan Ketua Umum Perindo, Hary Tanoesoeibjo ke kediaman Prabowo, Rabu (5/4/2023). Usai pertemuan, Prabowo menyampaikan kepada wartawan, “Kami terbuka jika Perindo ingin bergabung dalam koalisi besar.”
Baik Perindo maupun PSI saat ini berstatus partai nonparlemen. Ada tiga partai nonparlemen lain yang juga menyatakan ketertarikan atas koalisi besar, yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Hanura, dan Partai Gelora.
Di sisi lain, dari beberapa partai pendukung pemerintah Jokowi, PDI Perjuangan dan Partai NasDem tak terlihat dalam pertemuan di Kantor PAN awal April 2023.
Sebagaimana diketahui, Partai NasDem sudah menyatakan dukungan pada Anies Baswedan sebagai calon presiden. Mereka pun sibuk bernegosiasi dengan Partai Demokrat dan PKS untuk membentuk Koalisi Perubahan.
Sedangkan PDI Perjuangan baru belakangan menyatakan kemungkinan untuk masuk dalam koalisi besar. Perkataan itu disampaikan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani.
“Enggak ada persyaratan kalau PDI Perjuangan harus RI-1. Namun, di sini saya sampaikan bahwa saat ini jumlah suara PDI Perjuangan memungkinkan untuk PDI Perjuangan untuk memajukan calon sebagai RI-1,“ kata Puan, sebagaimana dilansir Kompas TV.
Bila PDI Perjuangan masuk koalisi besar, konstalasi politik bakal berbeda. Pasalnya, PDI Perjuangan merupakan satu-satunya partai yang memenuhi syarat untuk mengusung capres tanpa butuh berkoalisi.
Suara dan dukungan politik yang besar itu tentu akan memperkuat posisi tawar PDI Perjuangan.
Siapa capresnya?
Koalisi besar bukan tanpa tantangan, terutama untuk mencapai kata sepakat dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024.
Beberapa bulan terakhir, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya--beranggotakan Partai Gerindra dan PKB--sempat mewacanakan duet Prabowo-Muhaimin Iskandar sebagai capres dan cawapres.
Adapun Koalisi Indonesia Bersatu--tempat berhimpun Partai Golkar, PAN, dan PPP--dikabarkan menginginkan kandidat dari internal. Meski demikian, nama Ganjar Pranowo berulang kali menguat sebagai kandidat presiden dari Koalisi Indonesia Bersatu.
Sebagai catatan, pada medio Maret 2023, Tempo menerbitkan laporan utama yang menunjukkan sejumlah gelagat Jokowi untuk mengajukan pasangan Prabowo-Ganjar sebagai capres dan cawapres. Meski mungkin terlalu dini, duet Prabowo-Ganjar boleh jadi dipertimbangkan secara serius oleh koalisi besar.
Ganjar memang di atas angin dalam berbagai survei capres. Meski begitu, sebagai kader PDI Perjuangan, gubernur Jawa Tengah itu malah belum mengantongi dukungan dari partainya. Perihal keputusan mengusung capres, Partai Banteng akan menyerahkan sepenuhnya kepada Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum.
Bila PDI Perjuangan bergabung ke koalisi besar, nama Ganjar juga bakal bersaing dengan Puan Maharani untuk diajukan sebagai capres atau cawapres. Prabowo pun bisa saja disandingkan dengan Puan. Namun bila PDI Perjuangan bersikeras, boleh jadi koalisi besar bakal jalan tanpa kekuatan politik banteng.
Pada titik ini, posisi Jokowi kian penting dalam menentukan jalannya koalisi, beserta pasangan capres-cawapresnya.
Yang besar belum tentu menang
Berhimpunnya kekuatan-kekuatan politik utama dalam satu koalisi nan gemuk pernah terjadi pada Pemilu 2004 dan 2014. Menariknya, dalam dua kontes demokrasi itu, koalisi raksasa justru menderita kekalahan.
Pada Pemilu 2014, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa diusulkan oleh lima partai. Saat itu, jumlah kursi DPR-RI dari partai pengusung Prabowo-Hatta di DPR-RI mencapai 51,9 persen. Angka itu bisa mencapai lebih dari 60 persen jika ditambah Partai Demokrat yang berstatus partai pendukung.
Penantangnya ialah duet Jokowi-Jusuf Kalla, yang hanya punya total suara partai pendukung sekitar 36,46 persen. Meski terlihat gurem dari segi koalisi, Jokowi-JK justru jadi pemenang.
Kasus serupa terjadi pada Pemilu 2004. Dalam pilpres putaran kedua, duet Megawati-Hasyim Muzadi sepintas lebih digdaya dengan dukungan tujuh partai politik. Sokongan politik itu datang juga Partai Golkar dan PDI Perjuangan, yang berstatus dua besar Pemilu 2004, dan gabungan suaranya mencapai 40 persen.
Meski demikian, kenyataan politik berkata lain. Duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, yang hanya punya dukungan dari enam partai papan tengah dan bawah, justru jadi pemenang.
Lantas, akankah koalisi besar terbentuk? Bagaimana kans koalisi besar pada Pemilu 2024? Akankah nasibnya sama dengan koalisi raksasa pada 2004 dan 2014?
Apa pun jawabannya, untuk saat ini, elite politik yang belum tergabung dalam wacana koalisi besar boleh saja goyang lidah politik sambil melempar candaan: “Sekadar mengingatkan, sejarah berulang… tiap sepuluh tahun sekali.”
koalisi koalisi besar politik jokowi puan maharani ganjar pranowo prabowo anies baswedan pemilu pilpres capres cawapres