Perbudakan modern di balik gemerlap Piala Dunia 2022
Penulis: Muammar Fikrie | Publikasi: 4 November 2022 - 17:15
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Perbudakan modern di balik gemerlap Piala Dunia 2022
Ilustrasi Piala Dunia 2022. - (Foto: fifg/Shutterstock.com)

Setiap empat tahun, selama empat pekan, mata dunia tertuju pada Piala Dunia, kompetisi sepak bola terbesar sejagad raya. Jutaan orang akan datang ke negara penyelenggara demi mendukung 32 tim yang berlaga. Puluhan hingga ratusan juta lainnya bakal menyaksikan lewat layar kaca dari seluruh dunia.

Pada pengujung tahun ini, Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Negara emirat di Timur Tengah itu sudah buang uang USD200 miliar (sekitar Rp3.000 triliun) untuk konstruksi Piala Dunia 2022. Termasuk buat bikin stadion lengkap dengan teknologi sistem pendingin. Qatar juga bangun bandara, sistem metro, jalan, dan hotel baru demi Piala Dunia 2022. 

Semua pembangunan berlangsung kurang lebih satu dekade terakhir. Masalahnya, sederet proyek akbar itu berdiri di atas penderitaan dan kematian manusia. Guna merealisasikan segala konstruksi, Qatar pakai tenaga puluhan ribu buruh migran dari berbagai negara, terutama India, Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan.

Kondisi kerja mereka menyedihkan. Anda boleh membayangkan bekerja di bawah terik matahari dan suhu yang bisa mencapai 44 derajat celsius. Durasi kerja juga di atas normal dan bisa tembus 14 jam. Tingkat keamanan kerja pun buruk. Sudah begitu, upah sering tertunda, atau bahkan tak dibayarkan.

Apa lagi kata yang pas untuk menggambarkannya selain perbudakan?

Kisah-kisah kematian

Pada Agustus 2018, Taj Narayan Tharu terjatuh saat bekerja di satu lokasi stadion Piala Dunia 2022. Ia tewas pada usia 24 tahun. Istrinya berteriak histeris dan pingsan saat upacara pemakaman berlangsung di Itahari, Nepal.

Pada satu malam, 23 Juni 2019, para buruh migran sedang rehat di kamp, ketika tiba-tiba Rupchandra Rumba mengeluarkan suara seperti orang tercekik, jatuh pingsan, dan disergap maut. Buruh Nepal berusia 24 tahun itu terlibat dalam pembangunan Education City Stadium, salah satu venue Piala Dunia 2022. 

Time (3 November 2022) menuliskan beberapa kasus cedera hingga kematian pekerja migran di proyek Piala Dunia 2022. Salah satunya dari Surendra Tamang asal Nepal. Awalnya, pria berusia 31 itu berharap bisa dapat uang banyak dengan bekerja di Qatar. Pikirnya pula, dia bisa sekalian nonton Piala Dunia sambil pake kaos Argentina bernomor 10 milik Lionel Messi, pemain idolanya.

Sayangnya, Surendra justru pulang sebelum Piala Dunia dimulai lantaran "gangguan pencernaan." Belakangan, setelah pemeriksaan dokter di Kathmandu, diagnosa justru mengarah pada gagal ginjal yang dipicu kerja keras selama berjam-berjam di bawah sengatan udara panas.

Surendra kini kehilangan dua ginjalnya. Ia harus menjalani dialisis--terapi penganti ginjal--buat bertahan hidup. Ia pun hanya bisa melihat Messi dari layar kaca.      

Banyak pekerja migran berangkat ke Qatar dengan mimpi bisa bawa pulang banyak uang. Kebanyakan mereka juga perlu bayar agen pekerja; dan butuh pinjam uang karenanya. Mereka berharap bisa mencicil saban bulan dari upah yang diperoleh selama di Qatar.

Masalahnya, gaji juga sering telat atau bahkan tak dibayarkan. Pada Agustus silam, misal, puluhan buruh migran berdemonstrasi lantaran upah tak kunjung turun. Sebagai balasan, Qatar malah mendeportasi 60 pekerja dari negara tersebut.

Para pekerja migran dalam salah satu proyek pembangunan stadion untuk Piala Dunia 2022. (Foto: Photo Play/Shutterstock).

Penyebab kematian 

The Guardian, pada Februari 2021, menyebut lebih dari 6.500 pekerja migran tewas sejak 2010, beriring penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Laporan itu juga mengungkap sejumlah catatan ihwal penyebab kematian nan tragis, misal: Luka akibat terjatuh dari ketinggian; kehabisan oksigen lantaran gantung diri; atau penyebab kematian yang belum bisa diidentifikasi lantaran pembusukan jenazah.

Namun penyebab paling sering ialah “natural cases.” Istilah itu sering merujuk pada kematian akibat serangan jantung atau gagal nafas. Perkaranya "natural cases" bisa menghilangkan tanggung jawab perusahaan untuk membayar kompensasi atau jaminan ketenagakerjaan. Ringkasnya, kasus macam ini tak dianggap sebagai kecelakaan kerja.

Pemerintah Qatar juga suka berkelit. Mereka bilang hanya ada 37 peristiwa kematian di lokasi kerja selama pembangunan stadion. Dari angka itu, cuma tiga kasus yang disebut “berkenaan pekerjaan.” Statistik tersebut bertanda waktu 2014-2020.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut bahwa pemerintah Qatar mengabaikan angka kematian akibat “natural cases.” Padahal, serangan jantung atau gagal nafas merupakan sesuatu yang berpotensi terjadi dalam sengatan panas—bekerja berat di bawah suhu tinggi.

ILO lantas bikin perhitungan mandiri. Hasilnya ada 50 buruh migran tewas, 500 lainnya mengalami luka parah, dan sekitar 37.600 menderita cedera ringan atau sedang. Itu pun hanya statistik pada 2021 alias setahun saja.

Organisasi pembela hak asasi manusia, macam Human Rights Watch dan Amnesty International, juga sering kecam Qatar dalam beberapa tahun belakangan.

Kini mereka mendesak FIFA, otoritas sepak bola internasional, untuk memberikan kompensasi USD440 juta (Rp6,9 triliun) demi kesejahteraan para pekerja. Jumlah itu setara dengan nilai hadiah Piala Dunia 2022. 

Bagaimana respons FIFA

FIFA bukannya tak menyadari risiko sengatan suhu panas nan berbahaya di Qatar. Piala Dunia 2022 sengaja mundur hingga akhir tahun demi menghindari puncak suhu panas. Padahal turnamen akbar ini lazim berlangsung pada tengah tahun. 

Meski demikian, keputusan itu hanya mengamankan para bintang bola dari 32 negara. Nyaris tiada pertimbangan atas keselamatan pekerja migran; orang-orang biasa yang bepergian dari negaranya demi cari sesuap nasi dari jual tenaga pada proyek konstruksi.

Pada Mei 2022, Presiden FIFA, Gianni Infantino malah membeo pada perkataan pemerintah Qatar tentang jumlah kematian pekerja migran. “Ada tiga orang yang meninggal. Tiga. Tiga terlalu banyak. Tapi itu tiga,” kata dia.

Menimbang statistik kematian dan sikap keras kepala FIFA serta pemerintah Qatar, barangkali kita memang butuh menonton Piala Dunia 2022 dengan lebih kritis.

Mungkin melihat apa yang akan dilakukan timnas Denmark bisa menginspirasi. Salah satu jersey Tim Dinamit untuk Piala Dunia 2022 didesain bernuansa gelap sebagai perlambang protes atas "turnamen yang telah merenggut nyawa ribuan orang."

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
2
Kaget
0
Marah
2
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kaleidoskop 2022: Olahraga
Kaleidoskop 2022: Olahraga
Ada banyak momen olahraga terjadi sepanjang 2022. Satu yang paling menyita perhatian dan pemberitaan menyangkut…
TUTURA.ID - Jokowi akui kasus pelanggaran HAM berat; setelah pengakuan lalu apa?
Jokowi akui kasus pelanggaran HAM berat; setelah pengakuan lalu apa?
Presiden Jokowi mengakui adanya 12 pelanggaran ham berat di Indonesia. Lebih dari penyelesaian non-yudisial, pegiat…
TUTURA.ID - Persipal BU tetap semangat di tengah ketidakpastian lanjutan kompetisi
Persipal BU tetap semangat di tengah ketidakpastian lanjutan kompetisi
Bambang Nurdiansyah, pelatih Persipal BU, tetap rutin menggenjot stamina dan mematangkan taktik untuk para pemainnya.
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng