
Dampak aktivitas tambang pasir dan batu (sirtu) di wilayah Tipo hingga Watusampu, terus menerus disorot pelbagai kalangan kurun sepekan terakhir.
Selain keluhan warga sekitar, aksi penolakan aktivis lingkungan, hingga seruan elite politik, catatan kritis turut dilayangkan oleh akademisi dan mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad), Palu.
Dalam observasi lapangan pada 25 Mei 2024 yang melibatkan tiga dosen dan 63 mahasiswa di lingkar tambang galian C itu, mereka menemukan sejumlah persoalan pelik yang butuh penanganan serius.
“Saya sudah dua kali turun bertemu warga di sana. Dari 16 warga yang kami tanyai di Buluri, dominan keluhannya terkait penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat polusi debu,” ungkap Fid’ya M. Lamohamad, salah seorang mahasiswi kepada Tutura.Id, Minggu (26/5/2024).
Temuan Fid’ya tak sepenuhnya keliru. Berdasarkan data Puskesmas Anuntodea Tipo yang dilaporkan Koalisi Petisi Palu-Donggala, ada 700 orang yang tinggal di lingkar tambang yang berlokasi di perbatasan Palu-Donggala sebelah barat itu terkena ISPA selama 2023-2024.
ISPA merupakan jenis infeksi yang menyerang organ pernapasan atas dan bawah seperti hidung, tenggorokan, sinus, bronkus, dan paru-paru.
Biasanya penyakit ini dibawa oleh virus, bakteri, dan jamur. Pada kondisi tertentu, ISPA disebabkan akibat penurunan kualitas udara karena polusi debu, asap kendaraan bermotor, serta asap pabrik.

Selain gangguan kesehatan imbas paparan abu, Fid’ya juga menjumpai fenomena kesenjangan sosial ekonomi di daerah kaya sumberdaya alam itu, yakni praktik meminta-minta kepada pengendara yang melewati wilayah tersebut. Lebih miris lagi, karena di antaranya ada anak-anak dan perempuan.
Pemandangan itu, sambung Fidya, mulai terjadi pascakerusakan jembatan penghubung Buluri-Watusampu lantaran tingginya curah hujan dan derasnya arus sungai pada 7 April 2023 silam.
Kondisi lain yang tercipta akibat dampak negatif eksploitasi di Buluri, lanjut Fid’ya, ialah tertutupnya peluang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masyarakat.
“Warga di sana punya niat untuk jualan gorengan salah satunya, tapi mau bagaimana lagi abu banyak sekali. Daun-daun pisang saja sudah ganti warna jadi abu-abu. Pemerintah perlu melalukan tindakan preventif soal ini,” imbuhnya.
Renaldi, mahasiswa FISIP Untad lainnya yang turun dalam riset lapangan itu, menjelaskan jika persoalan yang terjadi belakangan ini turut dipengaruhi oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan warga sekitar.
Akibatnya, mereka mudah menjual tanah dan diiming-imingi janji oleh perusahaan.
“Dari sekitar 17 orang yang kami tanyai, rata-rata hanya tamat sekolah dasar. Saya melihat mungkin karena hal itu mereka gampang percaya sama perusahaan dan hanya melihat orientasi jangka pendek. Bukan dampak jangka panjang yang ditimbulkan seperti penyakit dan kerusakan lingkungan,” ujar Renaldi ketika dihubungi Tutura.Id, Minggu (26/5).
Meski terdampak polusi, sambung Renaldi, belasan warga yang mereka jumpai mengaku sama sekali belum pernah mendapat kompensasi di sektor kesehatan dari perusahaan.
Bila ada warga yang mengalami gangguan kesehatan, biasanya akan berobat mandiri atau dengan tanggungan BPJS Kesehatan.
Menurut informasi warga Tipo, Buluri, dan Watusampu, perusahaan sempat memberikan kompensasi berupa uang debu dengan nominal Rp200.000-400.000 per kepala keluarga. Hanya saja, kompensasi ini tak diberikan secara berkala.
Padahal sesuai pasal 74 Undang-Undang (UU) 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, disebutkan jika perusahaan/korporasi yang yang berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Jika tak diberikan, perusahaan akan menerima sanksi tertulis hingga pencabutan izin.

Kepala Laboratorium Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Untad, La Husen Zuada, menuturkan jika kegiatan lapangan ini mengangkat topik “Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batuan Berkelanjutan”.
Penelitian ini diadakan di tengah masifnya aksi protes kalangan masyarakat sipil atas ekstraksi besar-besaran material bebatuan di Palu-Donggala demi kebutuhan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Pun pertambangan nikel yang beroperasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, serta Maluku Utara.
“Kami ingin melihat secara utuh persoalan dampak tambang galian C di sana, baik positif maupun negatif. Yang kami soroti ialah kebijakan pengelolaan lingkungan yang abai terhadap standar Environmental, Social, and Governance (ESG),” kata La Husen Zuada via aplikasi pesan kepada Tutura.Id, Sabtu (25/5).
Terkait penerapan ESG, sambung Husen, pihaknya belum bisa memastikan dari sisi regulasi.
Namun, secara kasat mata pengawasan terhadap implementasi ESG sepertinya tak berefek. Penerapan standar pertambangan yang baik juga seperti tidak nampak.
“Misalnya saja, tanggung jawab lingkungan dari perusahaan untuk rutin menyiram debu itu tidak ada. Yang kelihatan justru masyarakat yang inisiatif menyiram secara manual,” tuturnya.
Padahal ESG menekankan pada bisnis berkelanjutan dengan tiga aspek utama, seperti lingkungan, sosial, serta tata kelola perusahaan.
Misalnya, penerapan ESG pada kriteria lingkungan yang meliputi penggunaan sumber daya energi yang bersih, pengelolaan limbah, usaha untuk mengurangi polusi, dan praktik konservasi sumber daya alam.
Kenyataan yang terjadi di seputar tambang galian C, mulai dari Tipo hingga Loli Oge, justru sebaliknya.
Bahkan menurut laporan warga, lanjut Husen, tingginya polusi debu hingga kerusakan infrastruktur jalan kian masif sejak pembangunan IKN.
Meski pada sisi ekonomi ada dampak positif yang dirasakan daerah dan warga sekitar, tetapi dampak negatif yang diterima tak sebanding.
“Peluang kerja memang selalu ada, meski sebenarnya ada juga yang menganggur. Hanya saja, kesehatan warga menurun dan usaha-usaha kecil tidak berjalan,” tambah Husen.
Terkait persoalan ini, Husen dkk. menyerukan agar pemerintah daerah kembali menata ulang pertambangan berkelanjutan yang sesuai dengan kaidah ESG, di mana saat ini kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan masih menjadi domain Pemerintah Provinsi (Pemprov).
“Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Untad mendorong Pemprov Sulteng agar proaktif dan solutif atas permasalahan ini, lewat kegiatan pengawasan maupun pembuatan peraturan daerah,” pungkasnya.
akademisi mahasiswa tambang galian c dampak negatif polusi kerusakan lingkungan kesehatan warga ilmu pemerintahan fisip untad buluri palu sulteng


