Dampak nyata perubahan iklim alias climate change kian mencemaskan. Pelbagai peristiwa bencana yang menimpa seluruh dunia, mulai dari gelombang panas ekstrem, kekeringan yang berimbas gagalnya panen, banjir, hingga kebakaran hutan hanya segelintir efek. Dana Moneter Internasional mencatat 390 bencana alam yang terkait perubahan iklim melanda dunia sepanjang 2021.
Generasi muda tentu saja jadi salah satu yang paling terdampak jika mitigasi tidak serius dilakukan sejak sekarang. Pasalnya mereka akan jadi korban dari apa yang dilakukan generasi pendahulunya.
Maka tak mengherankan jika Greta Thunberg, gadis remaja asal Swedia, lantang mengajak seluruh generasinya untuk melakukan aksi nyata; mengubah gaya hidup ramah lingkungan dan aktif mengkritik pemerintah agar lebih serius menangani isu pemanasan global.
Kesadaran generasi muda terhadap masa depan mereka yang terancam akibat kondisi tadi juga makin besar. Hasil survei global yang dilakukan UNICEF dan Gallup tahun lalu mengungkap bahwa anak-anak muda resah melihat komitmen pemegang otoritas dalam mengerem perubahan iklim. Greta dalam pidatonya di KTT Perubahan Iklim Glasgow alias COP26 keras menyebutnya sebagai “blah, blah, blah”. Buaian janji manis semata tanpa aksi serius.
Rahmi, 18 tahun, asal Desa Laben, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala, termasuk yang resah melihat kondisi mencemaskan akibat perubahan iklim. Ia dan teman-temannya turut menanggung derita akibat daerah permukiman mereka yang berada di kawasan pesisir sering menjadi korban banjir rob.
Dampaknya sering terjadi longsor dan perekonomian terganggu. Tak jarang anak-anak di sana harus merelakan air laut masuk hingga ke rumah. Bikin kulit jadi gatal-gatal. Air bersih yang selama ini mereka konsumsi dari sumur pompa berubah keruh. Banjir yang surut lalu meninggalkan tumpukan sampah.
“Banjir rob naik dua bulan sekali, kak. Jadi kalau sudah banjir rob sulit mo pigi melaut. Kadang kalau air laut naik itu sulit nelayan cari ikan. Banyak ikan yang mati. Makanya berdampak juga untuk kebutuhan perekonomian. Yang biasanya turun melaut dua kali sehari, sekarang hanya bisa pigi satu kali gara-gara banjir rob. Sedangkan hasil dua kali turun melaut belum tentu bisa dijual untuk beli kebutuhan sehari hari,” ungkap Rahmi saat diwawancarai Tutura.Id via telepon, Senin (17/10/2022).
Saban mau ke sekolah, Rahmi dan kawan-kawannya terpaksa harus naik perahu lantaran banjir menggenangi akses jalan darat. Bahkan beberapa ruangan pada salah satu gedung sekolah dasar di desa tersebut kini tak bisa lagi digunakan akibat sering kena terjang luapan air laut.
Rahmi menuturkan bahwa sebelum terjadi bencana gempa hebat pada 28 September 2018, desanya sudah jadi langganan banjir rob. Kala itu ketinggian air yang masuk ke rumah-rumah warga rerata hanya setinggi mata kaki. Usai gempa, daerah terdampak makin meluas. Ketinggian air juga bertambah jadi selutut orang dewasa atau sekitar 60 sentimeter.
Kini Rahmi jadi salah satu warga yang harus rela meninggalkan rumah masa kecilnya. Mereka dipindahkan ke hunian tetap demi bisa menjalani hidup sehari-hari tanpa berjibaku dengan rob.
Menurut Save The Children Indonesia, kondisi yang menimpa anak-anak di Labean hanya contoh kecil dari imbas perubahan iklim di Sulawesi Tengah. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada 34 titik sebaran abrasi pantai di Sulawesi Tengah atau yang terbanyak ketiga di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Selatan (57 titik) dan Sulawesi Tenggara (74 titik).
Tak ingin hanya berpangku tangan melihat kondisi tersebut, Rahmi bersama para penyintas banjir rob lainnya di Labean kemudian berinisiatif mendirikan Forum Anak Labean. Aksi nyata yang mereka lakukan, antara lain bersih-bersih pantai, menanam bakau, dan bikin diskusi-diskusi untuk memantik kesadaran tentang isu perubahan iklim. Kelompok ini juga aktif mengimbau masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan.
Rahmi tak menyangka jika kesadarannya menimbulkan banyak dukungan dan perhatian. Salah satunya dari Yayasan Save the Children Indonesia yang memfasilitasinya untuk bertemu dengan perwakilan G7 (Group of Seven). Acara dijadwalkan berlangsung di Jakarta pada 26-30 Oktober 2022.
G7 adalah organisasi internasional yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, Italia, Prancis, dan Jepang.
Selain Rahmi, turut hadir Rizqi, remaja 18 tahun asal Sigi, sebagai perwakilan dari Sulawesi Tengah. Bersama wakil-wakil dari daerah lain mereka akan mengampanyekan isu-isu perubahan iklim yang berdampak ke anak-anak di hadapan anggota G7.
Riziq akan berbagi kisah tentang kesehariannya di Sigi yang sering jadi korban banjir. Akibatnya banyak lahan pertanian warga yang rusak sehingga sumber mata pencaharian warga hilang.
“Saya tidak menyadari kalau yang saya lakukan ternyata mengurangi risiko krisis iklim. Awalnya saya hanya risih melihat sampah yang tiap banjir rob naik, naik juga sampah. Saya berharap bukan hanya saya yang peduli banjir dan krisis iklim yang kita hadapi sekarang. Anak-anak muda juga harus sadar bahwa krisis iklim itu bisa berdampak buruk untuk masa depan,” pungkas Rahmi.
perubahan iklim krisis iklim mitigasi krisis iklim mitigasi iklim save the children