Bila tiada aral melintang, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hampir pasti diikuti oleh tiga pasang kandidat.
Ada pasangan Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mohamad Mahfud Mahmodin, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Ketiga pasang kandidat ini sama-sama menyinggung soal green economy dan blue economy dalam visi misinya. Salah dua kata kunci ini masuk dalam misi lingkungan.
Anies-Cak Imin, misalnya, akan menetapkan indeks ekonomi hijau sebagai indikator yang relevan untuk mengukur pembangunan berkelanjutan.
Upaya ini jadi bagian dari delapan program untuk mencapai ekonomi hijau, salah satu submisi untuk merealisasikan visi “Indonesia Adil Makmur untuk Semua”.
Sementara Ganjar-Mahfud, ingin melakukan transisi energi, menciptakan desa mandiri energi, mengelola limbah menjadi berkah, serta ekonomi sirkuler untuk merealisasikan program ekonomi hijau.
Terkait ekonomi biru, Ganjar-Mahfud ingin melakukan tata kelola laut inklusif dan berkelanjutan, akselerasi 11 poros maritim, tangkap ikan berbasis kuota dan zonasi, perikanan budidaya berkelanjutan, maritim unggul, industri maritim jaya, wisata maritim mendunia, dan mengatasi pencemaran laut.
Program ekonomi hijau dan ekonomi biru ala Ganjar-Mahfud ini merupakan salah satu langkah “Menuju Indonesia Unggul: Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari”.
Sedangkan Prabowo-Gibran menyiapkan 15 upaya, mulai dari pencegahan perusakan lingkungan hingga pengembangan sumber energi hijau demi realisasi ekonomi hijau.
Ada pula 15 langkah terkait ekonomi biru, mulai dari peningkatan nilai tambah potensi sumber daya pesisir hingga pembangunan infrastruktur tepat guna.
Dua program ini masuk dalam Asta Cita 2 atau salah satu dari delapan misi utama Prabowo-Gibran untuk mencapai visi “Bersama Indonesia Maju: Menuju Indonesia Emas 2045”.
Istilah semacam green economy (ekonomi hijau) dan blue economy (ekonomi biru), sekilas tampak asing bagi publik. Ia seolah-olah berkilau saat dilontarkan pejabat negara.
Lantas, apa sebenarnya ekonomi hijau dan ekonomi biru ini? Seperti apa bentuk nyatanya?
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), ekonomi hijau ialah ekonomi berbasis rendah karbon, efisiensi sumber daya, dan inklusif secara sosial.
Penerapannya melibatkan investasi swasta maupun publik untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang minim emisi karbon alias polusi, meningkatkan efisiensi energi, serta mencegah hancurnya ekosistem hingga keanekaragaman hayati.
Senada dengan UNEP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI menyebut pertumbuhan ekonomi hijau merupakan suatu gerakan terkoordinir yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan penurunan tingkat kemiskinan.
Juga adanya keterlibatan sosial yang didorong oleh pengembangan dan pemanfaatan sumber daya global secara berkelanjutan.
Dengan kata lain, ekonomi hijau adalah aktivitas yang tidak merugikan atau merusak lingkungan lewat kegiatan perekonomian.
Adapun bentuk-bentuk ekonomi hijau, antara lain pengurangan emisi gas buang (karbondioksida), penanggulangan efek rumah kaca, peningkatan investasi publik atau privat di sektor hijau, penurunan penggunaan energi atau sumber daya unit produksi, program penghijauan, peningkatan GDP (Gross Domestic Product) dari sektor hijau, serta penurunan konsumsi yang banyak menghasilkan limbah.
Contoh nyata dari pengurangan emisi gas buang ialah melalui hadirnya beragam kendaraan listrik (mobil dan motor) di Indonesia, moda transportasi massal di sejumlah daerah, dan pelarangan kendaraan tak lulus uji emisi.
Selain itu, ada pula pemanfaatan enam sumber EBT untuk menopang kebutuhan energi di Tanah Air, seperti sumber energi panas bumi, air, bayu alias angin, tenaga surya, gelombang laut, dan biomassa.
Enam sumber energi di atas minim penggunaan bahan bakar dari energi fosil yang notabene menjadi penyumbang utama polutan atau emisi gas buang (karbondioksida).
Kecuali sumber energi gelombang laut dan biomassa, empat sumber energi lainnya telah dimanfaatkan dalam bentuk pembangkit listrik.
Tiga macam pembangkit listrik itu, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Ketiga jenis pembangkit listrik tadi sudah hadir di Pulau Sulawesi.
Contohnya PLTB Sidenreng Rappang dengan 30 turbin angin dan PLTB Jeneponto dengan 20 turbin angin. Ada juga PLTS Hibrida Selayar berkapasitas 1,3 Megawatt peak (Mwp), serta PLTA Poso yang lebih dulu dibangun awal 2000-an.
Berikutnya menyelami konsep ekonomi biru alias blue economy. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia jadi dua entitas yang selama lima tahun terakhir mendorong negara-negara mengadopsi konsep ekonomi biru.
Bank Dunia mendefinisikan ekonomi biru sebagai konsep pembangunan ekonomi yang memanfaatkan sumber daya di lautan.
Sementara PBB mengartikan ekonomi biru sebagai pembangunan yang terdiri atas berbagai sektor ekonomi dan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya laut secara kontinyu.
Selaras dengan PBB dan Bank Dunia, Bappenas RI menyebut jika ekonomi biru ialah peningkatan potensi sumberdaya maritim di Indonesia.
“Kerangka Pembangunan Ekonomi Biru diarahkan untuk mengoptimalkan modalitas yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman sumber daya kelautan, dan posisi Indonesia yang strategis secara politik dan ekonomi di kawasan,” urai Kepala Bappenas RI, Suharso Monoarfa (25/11/2021), mengutip situsweb Kementerian Bapennas RI.
Suharso mengungkit potensi ekonomi biru bernilai tambah tinggi di sektor pariwisata, pengembangan EBT berbasis perairan laut, ekonomi sirkular, dan industri pengolahan berbasis sumber daya kelautan.
Sederhananya, ekonomi biru merupakan peningkatan nilai ekonomi berbasis wilayah pesisir dan laut.
Meski istilahnya terdengar baru, tetapi Pemerintah Indonesia mengeklaim telah merealisasikan sejumlah konsep ekonomi biru di sejumlah daerah.
Sebut saja Kawasan Biodiversitas Wabula di Buton (Sulawesi Tenggara), Bangsring Under Water di Banyuwangi (Jawa Timur), Kebun Raya Mangrove di Surabaya (Jawa Timur), Taman Nasional Perairan/TNP Laut Sawu (Nusa Tenggara Timur).
Merujuk pelbagai makna soal ekonomi hijau dan ekonomi biru di atas, dua konsep ini meski sejurus untuk keberlanjutan lingkungan, tetap punya perbedaan terkait objek atau fokus pelaksanaannya.
Ekonomi hijau berbasis lingkungan pada objek daratan dan udara, sedangkan ekonomi biru berfokus pada wilayah perairan laut, termasuk kawasan pesisir (batas laut dan darat).
ekonomi pembangunan lingkungan krisis iklim ekonomi hijau ekonomi biru negara maritim negara agraris Pilpres 2024 calon presiden calon wakil presiden capres-cawapres politik visi misi pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals