Ama Achmad: Berkarya dari ujung lengan timur Sulawesi
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 16 Oktober 2022 - 18:29
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Ama Achmad: Berkarya dari ujung lengan timur Sulawesi
Ama Achmad menjaga semangat literasi di Banggai Raya. (Foto: Instagram/amsew)

Notes dan pulpen. Dua benda itu tak pernah lepas dari Ama Achmad. Ketimbang dompet, bagi Ama, dua benda tersebut bisa lebih gawat kalau ketinggalan. 

Bila terinspirasi sesuatu, ia akan bergegas mencatat. Biar tak menguap dan hilang. Begitu juga ketika menemukan kata atau kalimat yang memikatnya. Sering pula ia mencatat lema yang jarang muncul dalam percakapan. Arkais.

Ama seorang perempuan penyair. Ia sudah melahirkan dua buku puisi yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama: Keterampilan Membaca Laut (2019) dan Lagu Tidur (2021). 

Tak hanya sibuk mencipta bait-bait puisi, Ama juga tumbuh sebagai pegiat literasi. Perempuan berusia 40 tahun itu merupakan pendiri Babasal Mombasa, komunitas literasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Komunitas ini eksis sejak pengujung 2015. Kini status hukumnya sudah menjadi yayasan, dan Ama menjadi ketuanya.

Sejak 2017, Babasal Mombasa juga menyelenggarakan Festival Sastra Banggai. Acara tahunan itu kini sudah jadi salah satu hajatan sastra nan penting di Sulteng. Banyak penulis dan sastrawan kenamaan mampir. Joko Pinurbo, Aan Mansyur, dan Khrisna Pabichara, untuk sekadar menyebut beberapa nama yang pernah singgah ke festival tersebut.

Festival Sastra Banggai kembali akan diselenggarakan pada 24-27 November 2022. Rencananya mereka akan mendatangkan Kalis Mardiasih, Lily Yulianti, dan beberapa penulis  lain.

Ama juga kini menjadi Ketua Perkumpulan Pekerja Seni Indonesia (Puan Seni), sebuah jejaring perempuan pekerja seni dan kebudayaan terutama di kawasan timur Indonesia.

Dari Bobo hingga Chairil

Kecakapan Ama merangkai bait-bait puisi didapat dari kebiasaan membaca sedari kecil. Tempo-tempo membaca majalah Bobo. Kali lain giliran koleksi buku milik bapaknya dilahap. Pun bila bapaknya keluar kota, yang ditunggu Ama ialah oleh-oleh berupa buku cerita. 

Puisi menambat perhatiannya saat masih berstatus siswi kelas tiga sekolah dasar. Ama terpukau saat lihat seorang kawannya membaca puisi Karawang Bekasi milik Chairil Anwar.

Lantaran terpukau, Ama bertanya soal Chairil Anwar kepada gurunya. Imajinasi polos kanak-kanaknya terheran-heran: Mengapa seorang penyair atau penulis yang sudah meninggal tetapi bukunya masih ada? Itulah yang bikin Ama jatuh hati pada puisi, sastra, kepenulisan, dan lantas mulai memancang cita-cita jadi penulis.

“Kemudian pas naik kelas empat, saya cari lagi puisi dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia, seperti Sudarto Bachtiar,” kata perempuan asal Luwuk itu. Adapun Sudarto Bachtiar ialah penyair angkatan 1960-1970-an. 

Beranjak remaja, tepatnya saat masuk fase SMA, hobi menulis hanya sesekali dilakoninya musabab tak beroleh restu dari kedua orang tua. Ibu dan bapaknya yang berprofesi sebagai pegawai negeri berharap supaya Ama bisa mengikuti jejak karier mereka.

Ama lantas ambil kuliah Teknik Elektro di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Masa-masa kuliah juga menandai jeda panjangnya dalam menulis. Ia mengaku kesulitan dapat teman dengan hobi yang sama di kampus.

Meski demikian, Ama banyak mengonsumsi bacaan kala tinggal di Makassar. Selama di perantauan, toko buku jadi satu tempat favoritnya. Maklum, tempat asalnya, Luwuk tak punya toko buku.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Michael Djayadi (@michaeldjayadi)

Kembali ke Luwuk 

Pada 2008, selepas lulus kuliah, Ama memutuskan pulang ke Luwuk. Momen itu jadi titik baliknya untuk menekuni dunia kepenulisan. Mula-mula, Ama menulis lewat Facebook dan blog. Selanjutnya, namanya mulai tercetak di kolom opini milik koran lokal Luwuk. 

Pernah ada momen, mendiang bapaknya menemukan opini Ama di satu koran lokal Luwuk. Kebetulan, artikel tersebut bernada kritis atas satu fenomena sosial di Luwuk. Bapaknya tak sepenuhnya setuju.

“Kenapa menulis begini? Tidak perlu buat tulisan-tulisan semacam ini,” begitu komentar bapaknya. Sang Bapak, betapapun punya penghargaan atas pengetahuan, berasal dari generasi lampau. Bapaknya juga pernah jadi anggota DPRD Luwuk pada masa Orde Baru. Mengingat latar itu, sikap kritis Ama tentu saja bersemuka aral dari lingkungan keluarga.

Ama bingung dan bertanya-tanya atas respons bapaknya itu. Buat apa bapaknya membelikan banyak bacaan semasa dirinya kecil? Bukankah bapaknya bakal senang, sebab Ama kini bisa menulis berkat hobi membaca yang dibangun dalam keluarga sedari dini?

Ama tak lantas mundur. Ia terus menulis hingga akhirnya bertemu dengan Twitter pada 2012. Semesta mikroblog itulah yang membuatnya makin jatuh hati pada dunia kepenulisan. Ia mulai banyak membuat puisi di Twitter, bahkan sempat jadi admin akun-akun puisi.

Keaktifan Ama dalam dunia kepenulisan, membuatnya bertemu satu informasi tentang Makassar International Writers Festival (MIWF) di tahun 2014. Ia berusaha untuk ikut festival tersebut. Dua puluh puisi dikirim kepada panitia perayaan literasi terbesar di kawasan timur Indonesia itu.

Ikhtiarnya pun berbuah manis. Ama lolos seleksi Emerging Writers di MIWF 2014, satu kategori untuk penulis baru nan potensial. Namanya jadi salah satu sorotan utama di MIWF 2014.

Momentum ikut MIWF jadi semacam pintu besar bagi Ama. Di sana, ia berjumpa banyak penulis dan sastrawan. Jejaringnya bertambah. Semangatnya menggeluti dunia literasi meluap-luap.

Saat itu, Ama juga sudah terlibat dalam proyek buku kumpulan puisi yang ditulis bersama para perempuan penyair lainnya dari Indonesia Timur. Kebetulan, buku bertajuk ISIS dan Musim-musim itu juga diluncurkan dalam kegiatan MIWF 2014. 

Sekembalinya dari MIWF 2014, pengagum Goenawan Mohamad, Avianti Armand, dan Aan Mansyur itu kian berserius hati di dunia literasi. Ia mulai merintis Babasal Mombasa pada 2015, lewat gelaran sederhana seperti Malam Puisi Luwuk.

Pelan-pelan, semangat Ama tertular kepada anak-anak muda di Luwuk. Mereka yang berusia awal dan pertengahan 20-an makin banyak terlibat dalam kegiatan Babasal Mombasa. 

Adapun Babasal ialah akronim dari Banggai, Balantak, dan Saluan. Ketiganya merupakan suku asli yang berdiam di kawasan Banggai Raya, yang terdiri dari tiga kabupaten: Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan.

Ama dan kawan-kawannya ingin bangun semangat kebersamaan di antara ketiga suku tersebut. Babasal Mombasa pun coba mendesain Akademi Sastra Banggai, satu program residensi yang melibatkan peserta dari Banggai Raya. Residensi selama tujuh bulan itu diharapkan bisa membangun semangat persaudaraan, pertukaran gagasan, hingga sikap kritis di kalangan anak muda Banggai Raya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Pameran visual ''Garis Waktu''; melihat jejak budaya Sulawesi Tengah melalui teknologi digital
Pameran visual ''Garis Waktu''; melihat jejak budaya Sulawesi Tengah melalui teknologi digital
Museum Negeri Provinsi Sulteng menghadirkan pameran memanfaatkan medium digital. Menuai respons positif dari pengunjung.
TUTURA.ID - Nusa Membaca dan semua kesenangan di dalamnya
Nusa Membaca dan semua kesenangan di dalamnya
Gramedia Palu bersama komunitas Palu Book Party coba menciptakan ruang membaca yang inklusif dan menyenangkan…
TUTURA.ID - Indrid bersama Cino dan Acis berkeliling mendongeng untuk anak Sulawesi Tengah
Indrid bersama Cino dan Acis berkeliling mendongeng untuk anak Sulawesi Tengah
Berkenalan dengan sosok pendongeng, Indrid. Bersama dua bonekanya, dia kerap diundang ke daerah untuk bercerita…
TUTURA.ID - Ruang baca inklusif untuk mengatrol minat baca
Ruang baca inklusif untuk mengatrol minat baca
Menghadirkan ruang baca yang mudah diakses warga jadi salah satu cara meningkatkan rendahnya minat baca.…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng