Munculnya patok dan plang Badan Bank Tanah (BBT) di beberapa lahan milik masyarakat yang menghuni lima desa di Kabupaten Poso menimbulkan gejolak sejak awal Mei 2023.
Pasalnya dalam plang tersebut tertulis “Tanah Negara Dalam Penguasaan Bank Tanah: Dilarang Melakukan Kegiatan Pemanfaatan Tanpa Izin Bank Tanah”.
Hal tersebut sontak bikin ratusan warga yang notabene merupakan petani dan peternak tak lagi bebas mengelola lahan.
Padahal selama ini mereka hidup turun temurun dari hasil pengelolaan lahan sebagai petani dan peternak.
Sebelum kehadiran BBT, sekitar 3.213,05 hektare dari total 7.740 hektare bekas hak guna usaha (HGU) PT Hasfarm telah dikuasai oleh masyarakat setempat. Mereka memanfaatkannya untuk menanam cabai, kubis, tomat, pisang, sawi, bawang merah, kopi, kakao, dan durian.
Ada pula situs wisata macam Desa Watutau, Air Terjun Kahino, Bukit Teletubies, Hutan Pinus, dan situs megalit Watunongko yang berlokasi di perbatasan eks HGU itu.
Warga menilai bahwa kehadiran BBT di wilayah Lembah Napu itu sama saja dengan upaya melakukan perampasan ruang hidup mereka. Hal yang sama juga disampaikan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Watutau dan Winowanga—dua desa dari lima desa yang lahannya dijadikan aset oleh BBT.
“Sebelumnya memang ada sosialisasi pihak Bank Tanah yang dihadiri camat, danramil, pemdes, dan perwakilan masyarakat karena ini memang program pemerintah. Tapi, ada masyarakat yang protes karena ternyata setelah dipasang pal dan plang Bank Tanah, ada tulisan larangan beraktivitas di area. Berbeda dengan materi sosialisasinya. Karena itu, mereka juga minta agar sosialisasi Bank Tanah dilakukan secara luas dan terbuka,” ujar Kusnan Sahroni, Kepala Desa Watutau kepada Tutura.Id, Rabu (7/6/2023).
Reaksi protes itu muncul dari Forum Petani Lamba Bersatu (FPLB) Desa Watutau Kecamatan Lore Peore. Mereka meminta agar, BBT melakukan sosialisasi kepada seluruh warga Desa Watutau.
Warga juga meminta BBT untuk menghentikan segala bentuk aktivitas di atas lahan perkebunan milik warga dan tanah adat di Desa Watutau.
Selain itu, alasan dari penolakan kehadiran BBT karena lahan tersebut berfungsi sebagai kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Pun berstatus area penggunaan lain (APL) dan dijadikan lokasi cadangan untuk persiapan ibu kota Kabupaten Tampo Lore—salah satu yang masuk dalam rencana daerah otonomi baru (DOB).
Meski begitu, lanjut Kusnan, sejatinya tidak ada narasi atau pernyataan dari pihak Bank Tanah secara frontal agar masyarakat tidak boleh mengelola lahan.
“Makanya kami dari Pemdes Watutau sudah memohon kepada pihak Bank Tanah untuk melakukan sosialisasi seperti permintaan warga. Tapi sampai sekarang belum ada respon,” ungkapnya.
Tak hanya di Watutau, dugaan penyerobotan lahan oleh BBT juga terjadi di Desa Winowanga, Kecamatan Lore Timur.
“Kalau di Winowanga memang tidak ada plang Badan Bank Tanah seperti di Watutau, tapi ada patoknya yang dipasang di dua lokasi berbeda,” kata Kepala Desa Winowanga Lallo Rante Limbong kepada Tutura.Id (7/6).
Lallo melanjutkan bahwa patok BBT berada di area peternakan seluas 315 hektare dan area pertanian padi sawah seluas 326 hektare.
“Lokasi seluas 315 hektare itu dikelola secara komunal karena dikuasai oleh pemdes. Sedangkan yang 326 hektare, lebih dari 160-an hektare berupa kebun dan sawah, dikelola oleh sekitar 100 orang. Mereka punya SKT, SPT, dan SPTT atas lahan yang dikelola,” terang Lallo.
Menurut Lallo, saat ini posisi masyarakat terbelah pasca kehadiran BBT di Winowanga. Di satu sisi ada warga resah, di sisi lainnya mereka terbilang pasrah bila memang statusnya lahan tersebut menjadi terbatas dikelola oleh warga.
“Merespon kegelisahan warga, kami Pemdes Winowanga sudah bermohon kepada Bank Tanah agar merealisasikan reforma agraria,” pungkasnya.
Reforma agraria merupakan sebuah terobosan di sektor agraria. Masyarakat mendapat distribusi dan pendampingan pengelolaan atas lahan. Reforma agraria dimaksudkan agar aset dan kepemilikan lahan negara demi kemakmuran rakyat.
Perkara sengketa lahan antara warga dan BBT juga menuai reaksi dari belasan organisasi nonpemerintah (ornop), salah satunya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)—ornop yang paling vokal bicara masalah konflik agraria.
KPA bersama 12 organisasi pegiat sosial menilai Badan Bank Tanah telah merampas ruang hidup masyarakat di lima desa di Kabupaten Poso.
Pembuktiannya melalui klaimkepemilikan aset secara sepihak di atas lahan terlantar seluas 4.079 hektare, lahan warga yang memiliki alas hak seluas 224,29 hektare, dan pemerintah seluas 12,26 hektare.
“Badan Bank Tanah abai melihat relasi sosial-budaya yang telah lama hidup di dataran tinggi Lore. Alih-alih menyelesaikan klaim penguasaan tanah adat orang Lore di lahan eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL), pihak Badan Bank Tanah justru mencaplok lahan petani-penggarap yang menimbulkan konflik struktural baru,” ujar Doni Moidady, Koordinator KPA Sulteng, dalam sebuah diskusi di Palu, akhir Mei 2023.
Sekadar pengingat, pada 19 Februari 2011, PT SIL berhasil menguasai eks HGU PT Hasfarm lewat pelelangan senilai Rp7,8 miliar.
Hanya berselang setahun, tepatnya Maret 2012, lewat deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Tampo Pekurehua dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mereka berhasil mengambil alih tanah ulayat dan mengelolanya hingga sekarang.
Koordinator KPA Sulteng Doni Moidady kepada Tutura.Id (10/6) menawarkan dua solusi untuk meredam potensi konflik struktural baru di sektor agraria.
Pertama, bupati Poso memiliki kewenangan untuk memohon ke Kementerian ATR/BPN agar HGU eks PT SIL yang sudah kedaluwarsa, diusulkan untuk tidak diperpanjang izin pinjam pakainya dan tidak dikuasai oleh Badan Bank Tanah, tetapi dimanfaatkan oleh petani yang menguasai lahan eks HGU tersebut.
“Petani yang kami maksud adalah para petani yang telah lama menguasai lahan tersebut berdasarkan klaim warisan turun-temurun dan tanah ulayat. Bukan kepemilikan pribadi/privat yang menguasai tanah luas hingga puluhan hektare. Contoh kongkrit seperti yang sudah dilakukan Bupati Sigi Mohamad Irwan yang tidak memperpanjang izin eks HGU PT Hasfarm di Desa Pombewe dan Desa Oloboju,” terangnya.
Karena izinnya tak diperpanjang, Bupati Irwan telah merencanakan sedikitnya 10 item program yang akan direalisasikan untuk mendayagunakan kembali eks HGU PT Hasfarm. Pemanfaatan atas lahan itu juga mendapat persetujuan dari Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto.
Kedua, FPLB Watutau yang telah terbentuk melakukan kerja-kerja gerakan sosial di akar rumput untuk memetakan subjek dan objek lahan yang dikuasai dan dimanfaatkan.
Ini menjadi syarat utama jika lahan eks HGU PT SIL disetujui oleh Kementerian ATR/BPN yang memberikan penguasaanya kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso.
“Hal ini penting agar dinamika penguasaan lahan yang terjadi di lapangan dapat diketahui. Seringkali di lahan eks HGU marak terjadi tumpang tindih penguasaan lahan akibat jual-beli lahan yang terjadi. Lokasi-lokasi prioritas yang telah di petakan oleh FPLB Watutau menjadi alat negosiasi bersama Badan Bank Tanah dan Pemkab Poso. Prioritasnya adalah petani yang menguasai dan memanfaatkan lahan tersebut diberi hak penguasaan oleh Negara,” pungkasnya.
Kronologi hadirnya Badan Bank Tanah di Kabupaten Poso
Badan Bank Tanah (BBT) merupakan badan hukum bentukan pemerintah pusat yang secara khusus diberi kewenangan untuk mengelola tanah negara.
Secara kelembagaan, BBT bersumber Peraturan Pemerintah (PP) 64/2021 dan Peraturan Presiden (Perpres) 113/2021 yang mengatur tentang skemanya. Kedua peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) 11/2020 Tentang Cipta Kerja.
Skema kerja Bank Tanah antara lain merencanakan ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta reforma agraria, dan keadilan pertanahan.
Bank Tanah juga dapat melakukan pengadaan tanah dengan mekanisme tahapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah secara langsung.
“Bank Tanah melakukan pengelolaan, pengembangan, pengamanan, dan pengendalian tanah. Pemanfaatan tanah oleh Bank Tanah dilakukan melalui kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain dan tetap memerhatikan asas kemanfaatan serta asas prioritas,” kata Doni Janarto Widiantomo, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) ATR/BPN Sulteng, pada 25 Mei 2022.
Di daerah berjuluk Kota Harmoni itu, aset BBT berada di lima desa, antara lain Alitupu (Kecamatan Lore Utara), Winowanga, Maholo, Kalemago (Kecamatan Lore Timur), dan Watutau (Kecamatan Lore Peore). Ini satu-satunya aset BBT di Pulau Sulawesi dan lokasi ketiga di kawasan Indonesia bagian timur.
Hadirnya BBT di lima desa yang berdekatan dengan kawasan TNLL itu ditengarai sudah berlangsung sejak penghujung tahun 2022 silam.
Konon lokasi dengan hak pengelolaan (HPL) bernomor:00005-00020/Poso ini didominasi oleh savana atau padang rumput.