Elegi bisnis media cetak kembali terdengar pada akhir tahun 2022. Media nasional, Republika mengumumkan penghentian cetak koran per 1 Januari 2023 mendatang. Majalah ekonomi, Forbes Indonesia juga cetak edisi terakhirnya pada akhir tahun ini. Grup media, Kompas Gramedia juga harus tutup beberapa media mereka, termasuk Nova (tabloid) dan Bobo Junior (majalah).
Di level lokal, meski bisnisnya juga tertatih-tatih, sejumlah media cetak berusaha bertahan. Bisa dilihat dari masih hidupnya pekerjaan menjual koran. Dan, inilah kisah pria berusia 38 tahun yang bersetia menjajakan surat kabar lokal.
Namanya Mansur. Sebagian besar pelintas Jalan Mohammad Yamin dari arah selatan mungkin cukup familiar dengannya. Ia berdiri tepat di depan Warung Sunda dengan setelan khasnya: Kacamata hitam, penyuara telinga (earphone), dan kedua tangan yang setia pegang koran.
Koran itu diangkatnya setinggi telinga bila terlihat cukup banyak kendaraan yang melintas. Ada kalanya tangan kirinya menjulur ke arah jalan memperlihatkan headline koran, sebagai “jualan” agar orang tertarik membeli.
Saat ditemui pada Selasa (20/12/2022), hanya tiga eksemplar koran yang tersisa: dua Metro Sulawesi, dan satu Radar Sulteng.
Kepada Tutura.Id, Mansur bercerita tentang aktivitasnya menjual koran. Dia mengungkapkan hari-harinya dimulakan sejak pukul 07.00 Wita hingga pukul 15.00 Wita.
Ada empat koran lokal yang dijualnya: Metro Sulawesi, Radar Sulteng, Mercusuar, dan Sulteng Raya. Keempat koran itu didapatkan dari tiga pengantar koran lokal. “Metro Sulawesi satu orang yang antar. Radar Sulteng satu orang. Sulteng Raya dengan Mercusuar satu orang saja yang antar,” katanya.
Mansur jualan koran sejak 2007. Sudah 15 tahun dan masih setia hingga saat ini. Meski tren media digital sedang naik-naiknya. Sebelum menjajakan koran, ia lebih banyak dapat duit dari buat plat kendaraan.
Ia beralih profesi menjajakan koran karena alasan ekonomi dan merasa cocok dengan profesi ini. “Tidak mampu kerja lagi. Usaha begini bagus, tidak terlalu capek, bagus juga rezekinya,” kata Mansur.
Dahulu sebelum berjualan di halaman Warung Sunda, Mansur jualan di halaman SPBU Prof Muh. Yamin. Namun bergeser ke depan Warung Sunda yang bejarak sekitar 15 meter dari SPBU.
Kepindahan Mansur itu dipicu renovasi SPBU. Namun di lokasinya kini, Mansur ketambahan pekerjaan baru sebagai tukang parkir. Inilah yang setidaknya bisa memberikannya tambahan uang dari menjajakan koran.
Mansur mengakui jika berjualan di SPBU lebih menguntungkannya. Sebab halaman SPBU lebih luas dan lebih banyak orang yang berlalu-lalang. Olehnya, lebih cocok untuk menjajakan koran.
Waktu bekerjanya kini juga tergantung jam operasional Warung Sunda. Dia hanya berjualan koran mulai Senin hingga Jumat. Hari Sabtu dan Minggu libur, sebab warung tutup. Sedikit banyak Mansur menggantungkan penjualan koran kepada pelanggan yang datang ke warung.
“Terus paling banyak juga yang beli koran; jarang beli makanan itu pegawai,” ucap Mansyur.
Perubahan dua tahun terakhir
Rumah Mansur yang berada di Jalan Maleo, sedikit banyak memudahkan dirinya dan irit pengeluaran. Dia hanya perlu sarapan di rumah kemudian ke tempat jualan. Balik lagi ke rumah sekitar jam 3 sore, sekaligus makan siang.
Menjual koran, kata Mansur, tidak membutuhkan modal. Dia mendapatkan keuntungan Rp1.000 per koran dari harga jual Rp5.000. Setiap harinya Mansur menerima 40 eksemplar koran. Masing-masing sepuluh eksemplar dari empat media lokal yang ada.
Sehari-harinya, terkadang, ia bawa pulang Rp20 ribu selama seharian berjualan. Paling banyak Rp40 ribu jika semua koran laku terjual. “Yang penting ada didapat,” ujar Mansur menguatkan hati.
Mansur mengakui ada perubahan yang dirasakan beberapa tahun terakhir. Dia tidak lagi hanya bisa mengandalkan penjulan koran. Untuk memaksimalkan pendapatan, Mansur juga menjual tisu dan mengambil inisiatif sebagai tukang parkir di Warung Sunda.
Namun, saat ditemui Tutura.Id, Mansur sedang tidak jualan tisu. Katanya, temannya yang membawakan tisu sedang ada urusan lain. “Kemarin ada, hari ini tidak ada,” keluh Mansur.
Meski turut menjual tisu dan menjadi tukang parkir, Mansur mengaku pendapatan terbesarnya masih dari hasil jualan koran. Setelah itu, hasil dari parkir dan paling kecil dari jualan tisu.
Mansur mengenang penjualan koran yang paling tinggi jika ada pengumuman mahasiswa baru dan pengumuman CPNS. Akan ada banyak orang yang mencari koran untuk melihat apakah namanya lulus seleksi atau tidak.
Namun setelah koran tidak lagi menjadi wadah pengumuman, penjualan koran tidak lagi melejit dan Mansur tidak lagi menikmati momen-momen bisa “panen rejeki”.
“Sekarang sudah dua tahun tidak ada pengumuman, orang sudah lihat pengumuman di HP, jadi begini saja,” keluh Mansur.
Saat ini, dia mengaku masih ada beberapa pelanggan koran yang bertahan dan masih dilayaninya. Namun jumlahnya tidak banyak. Mansur masih mengantungkan pendapatannya dari jualan koran ecer.
Seperti yang terjadi di hari itu. Di sela-sela wawawancara, Mansur kedatangan seorang laki-laki seumurannya. Orang itu mendekat dan bertanya apakah ada koran Mercusuar yang dijualnya. Namun Mansur menjawab, “Tidak ada, rusak mesinnya dorang."
Begitulah interaksi yang dilakukan Mansur sehari-harinya. Sesekali ada temannya yang lewat sekedar menyapa. Ia menganggukan kepala pertanda membalas teguran si teman. Atau, ia kadang ikut menegur kendaraan yang parkir liar di jalan.
Ketika ditanya soal kemungkinan koran lokal mengalami kesulitan dan memutuskan berhenti cetak, Mansur mengaku akan menjalani pekerjaannya yang tersisa.
“Jual tisu dengan baparkir saja. Mau diapa, yang penting kerja yang halal,” katanya. “Jangan bacuri atau banarkoba supaya tidak dicari polisi,” lanjut Mansur.