Suasana Taman GOR, Jalan Muhammad Hatta, Besusu Tengah, Palu Timur, terasa hidup sepanjang Minggu dan Senin (10-11/12/2023), bukan hanya karena pepohonan hijau, tetapi juga karena Festival Media (Fesmed) Hijau yang berlangsung di sana.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tengah, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kota Palu, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah jadi inisiator acara yang telah memasuki tahun kedua penyelenggaraannya ini.
Jika tahun lalu Fesmed berlangsung di gedung Jodjokodi Convention Center, kali ini tempat acara sengaja bergeser ke tempat yang lebih rindang oleh pepohonan. Menyesuaikan dengan tema tentang"Aksi Media untuk Perubahan Iklim dan Energi Baru Terbarukan".
Beberapa stan yang ikut memeriahkan acara berdiri di sisi kiri dan kanan panggung utama, mulai dari Dinas Kehutanan Prov. Sulteng, Relawan Orang dan Alam (ROA), Spala Cipa, TVRI Sulteng, Radio Nebula, dan Jurnalis Tameme. Sementara di bagian tengah, berisi kursi-kursi yang dipayungi tenda tempat para peserta dialog duduk menyimak.
Sembari menunggu kegiatan berlangsung, para peserta dialog bisa membawa pulang bibit pohon yang dibagikan gratis oleh Dinas Kehutanan Prov. Sulteng. Syaratnya cukup mengisi nama dalam daftar buku tamu di stan tersebut.
Kursi-kursi mulai terisi saat jarum jam menunjukkan pukul 09.00 Wita. Kebanyakan pesertanya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Penampilan Sounds Good Band dari atas panggung lumayan bikin suasana semarak.
Setelahnya hadir beberapa penari yang membawakan tari Pepatu Togurana Nggaulu. Tarian itu merepresentasikan gempa bumi yang terjadi tahun 1938 silam.
Isu lingkungan yang jadi topik penyelenggaraan Fesmed tahun ini merupakan respons dan ikhtiar para jurnalis terakit perubahan iklim yang terjadi secara global. Media jelas punya peran penting untuk meningkatkan kesadaran publik.
Bupati Sigi Mohamad Irwan yang hadir memberikan sambutan mewakili Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura mengatakan, isu keberpihakan terhadap lingkungan penting untuk terus didengungkan, termasuk oleh media.
"Kami berharap kolaborasi yang terbangun dalam festival ini tidak hanya membangun kesadaran, pengetahuan, dan keterlibatan berbagai pihak, tapi juga perubahan menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan," ujar Muhammad Sharfin selaku ketua panitia saat membuka acara.
Hal itu beririsan dengan pernyataan Abdee Mari selaku Sekretaris AMSI Sulteng. Perubahan iklim merupakan isu yang kini menjadi perhatian serius hingga tingkat dunia. "Makanya itu kami angkat menjadi tema besar dalam Fesmed kedua ini," ujarnya.
Seperti bentuk penyelenggaraan Fesmed tahun lalu, berbagai sesi dialog yang menghadirkan para pemangku kepentingan sebagai pembicara masih jadi menu andalan.
Total dalam dua hari penyelenggaraannya, dihadirkan tiga dialog. Hari pertama membahas tentang “Kilang DSLNG Energi Bersih dari Sulawesi”, “Membaca Krisis Iklim, Adaptasi, dan Mitigasinya”, serta “Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Indonesia”.
Diskusi “Membaca Krisis Iklim, Adaptasi, dan Mitigasinya” yang berlangsung usai jeda makan siang jadi sorotan saat hari pertama. Kehadiran Kartini Nainggolan, Sekretaris AJI Kota Palu, menjadi salah satu narasumber seolah menguak tabir mengapa isu-isu lingkungan jarang menjadi pemberitaan oleh media-media di Sulteng.
Menurut Tini, sapaan akrabnya, penyebabnya lantaran beberapa faktor, semisal kurangnya dukungan news room, minat pasar, dan belum adanya wartawan yang fokus pada desk liputan lingkungan.
"Saya harap teman-teman dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bisa melahirkan jurnalis desk lingkungan," pesannya kepada para peserta dialog.
Tantangan Energi Baru Terbarukan
Memasuki hari kedua, suguhan dialog dari atas panggung utama membahas terkait Pengembangan EBT di Indonesia. Narasumbernya dari Dinas ESDM Sulteng dan PLN UP3 Palu.
Kendala terbesar yang membuat transisi menuju EBT terhambat di Indonesia tak lain karena masih terantuk dana.
Penerapan energi bersih untuk kebutuhan listrik tergolong masih mahal. Contohnya pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Berdasarkan analisa PLN, biaya solar panel mencapai US$4 sen/KWH. Selain itu, diperlukan teknologi solid state battery storage agar pembangkit dapat beroperasi selama 24 jam sehari.
Sementara harga baterai masih sangat tinggi, yakni mencapai US$13 sen/KWH. Alhasil harga perangkat PLTS bersama teknologi baterai bisa mencapai US$17-18 sen/KWH. Angka ini jauh lebih mahal dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berkisar pada US$6 sen/KWH.
Terakhir, Fesmed menghadirkan ruang lokakarya jurnalis yang membahas peran pers dalam isu lingkungan, utamanya perubahan iklim.
Ketua AMSI Sulteng Mohammad Iqbal mengatakan, media memiliki tugas penting memberi pemahaman yang luas dan benar terkait transisi energi.
"Karena dengan media yang fokus kepada isu transisi energi akan mampu memobilisasi dukungan masyarakat dan percepatan upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia," tutur Iqbal.
Berdasarkan data yang dikumpulkan AMSI, secara nasional masih sedikit media di Indonesia, termasuk di Sulteng, yang berfokus dalam isu transisi energi.
Sejauh ini media hanya melihat isu transisi energi belum begitu menarik sehingga publikasinya hanya pada tingkat permukaan. Belum ada upaya menggali lebih dalam dan konstan melaporkan kepada masyarakat.
lingkungan perubahan iklim pemanasan global energi baru terbarukan jurnalis Festival Media perusahaan media pers Taman GOR Palu Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng IJTI Sulteng PFI Kota Palu AMSI Sulteng