Bisakah Pemilu 2024 jadi momentum positif bagi orang muda di panggung politik? Sejauh ini memang ada gelagat yang mengarah ke sana. Baliho-baliho penuh senyum segar dari politisi muda sudah mulai bertebaran.
Bukan cuman di level peserta, pemilih pun bakal didominasi oleh orang-orang muda. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memproyeksikan hampir 60 persen pemilih pada Pemilu 2024 berasal dari Generasi Y (Millenials) dan Generasi Z (Zoomers).
Meski punya potensi, anak muda kerap kali dipandang sebelah mata, lebih-lebih dalam ruang politik. Di Indonesia, usia muda identik sebagai perlambang ketidakmatangan. Miskin pengalaman. Fakir kemampuan. Belum lagi budaya senioritas yang turut memperburuk situasi. Sementara kaum tua enggan lengser, orang muda dipaksa menunggu.
Satu contoh menarik tentang pandangan itu bisa dilihat saat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajukan judicial review dan memohon agar batas minimal usia calon kepala daerah diturunkan. Namun permohonan ditolak. Aturan tetap: Calon gubernur minimal 30 tahun, sedangkan wali kota dan bupati paling muda 25 tahun.
BBC Indonesia pernah menyebut “ongkos politik yang mahal” dan “birokrasi berlapis-lapis” sebagai dua perkara yang kerap menjegal ikhtiar politik anak muda. Politik pun seolah-olah hanya untuk mereka yang punya privilese. Banyak orang muda, seperti kata BBC Indonesia, "Membawa nama besar orang tua mereka di kancah politik."
Pada akhirnya, jumlah politisi muda yang berhasil menyandang status wakil rakyat jauh dari harapan.
Di DPR-RI (2019-2024), misal, wakil rakyat berusia 21-40 tahun saat dilantik hanya 95 orang (16,52 persen). Kalah dibandingkan yang berusia lebih dari 61 tahun yang mencapai 96 orang (16,70 persen). Adapun usia 41-60 tahun mendominasi dengan jumlah 284 orang (66,78 persen).
Pada level DPRD Sulawesi Tengah angkanya lebih kecil. Hanya lima anggota dewan yang lahir pada 1980-an dan 1990-an. Persentasenya cuman 11 persen dari total 45 anggota DPRD Sulteng (2019-2024). Dari kelima orang itu, empat di antaranya masuk kategori milenial tua (lahir antara 1980-1985). Hanya seorang dari Generasi Z yang lahir pada 1996.
Saat orang muda bisa duduk sebagai wakil rakyat, sebagian dari kita juga mungkin punya sederet pertanyaan: Sudahkah mereka mewujudkan regenerasi politik nan ideal? Berapa banyak dari mereka yang bisa menangkap semangat orang muda? Atau, pertanyaan paling sering, sudah dan mau bikin apa di gedung dewan?
Regenerasi yang sejati harusnya bersandar pada ide-ide baru nan segar. Problemnya, pembaruan generasi yang selama ini terjadi acap kali ditentukan oleh dinasti politik. Nama besar keluarga masih menentukan. Situasi itu juga sejurus dengan ongkos politik nan mahal.
Bila sudah begitu regenerasi politik bisa kehilangan makna. Muka boleh baru. Usia bisa muda. Namun gagasan dan ide uzur belaka.
Untuk menghindari jebakan itu, menarik untuk melihat riset Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia. Mereka menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendorong partisipasi politik anak muda jadi lebih bermakna.
Pertama, partai politik harus lebih inklusif (mengakomodir keragaman) dan demokratis buat semua kalangan. Kedua, memastikan penguatan kapasitas pada orang muda guna mendorong dampak yang lebih besar. Ketiga, menciptakan ruang kemitraan antara kaum muda dan generasi tua untuk berbagi kuasa serta transfer ilmu.
Seberapa menjanjikan politisi muda?
Mengawali 2023, Tutura.Id menggelar "Poling Paling 2023". Salah satu kategorinya ialah “Politisi Muda Paling Menjanjikan.” Perlu diingat bahwa jajak pendapat yang berlangsung di Instagram ini bukan metode ilmiah--seperti survei politik.
Fitur Instagram Stories, tempat berlangsungnya polling, tentu punya keterbatasan. Ia hadir dalam semangat seru-seruan ala medsos. Pun dibuat sebagai satu cara untuk meningkatkan keterlibatan orang atau mengundang lebih banyak reaksi. Ringkasnya, polling macam ini lebih tepat dianggap sebagai hiburan--satu fungsi media yang acap kali terlupa.
Saat bikin polling, kami kesulitan pula menentukan empat nama—lantaran keterbatasan fitur Instagram Stories—untuk disertakan dalam polling. Debat dan diskusi sempat berlangsung di ruang redaksi.
Berikut empat nama yang terpilih serta perolehan nilai mereka dalam jajak pendapat: Kader Partai NasDem, Muhammad Farid Lawira (35 persen); Kader Partai Demokrat, Ucu Susanto (24 persen); Bakal calon DPD-RI, Akbar Supratman (21 persen); Kader Partai Demokrat dan anggota DPRD Kota Palu, Rezky Hardianti Rahmadani Pakamundi (20 persen).
Kami memilih tiga nama pertama, karena mereka baru pertama kali terjun dalam kompetisi politik; semata-mata ingin menyodorkan nama baru. Sedangkan nama Rezky Hardianti alias Kiki Pakamundi kami tempatkan pada polling sebagai wakil perempuan. Perlu diakui sulit sekali menemukan kandidat perempuan politisi berusia muda.
Keempatnya lahir pada 1980-an dan 1990-an. Kami anggap masuk dalam kategori muda, mewakili Miilenial dan Generasi Z.
Selain mereka, kami juga mencatat sejumlah nama politisi muda yang hari ini sedang berkibar di Sulteng--terutama Palu.
Untuk menyebut beberapa nama politisi lainnya: Abdurahim Nasar Al Amri (Demokrat), Andhika Mayrizal Amir (bakal calon DPD-RI), Ramadhan (NasDem), Sultan Amin Badawi (Gerindra), Moh Taufan (Demokrat), Erick Agan (PDI Perjuangan), Imam Darmawan (NasDem), Safina Ishak Inayat Ali (PDI Perjuangan), Arief Miladi (Golkar), Moh Rezal Kahar (PPP), dan Akmal Rochadi (Golkar).
Semua nama tersebut, di mata kami, punya potensi untuk bersaing dalam Pemilu 2024 pada berbagai level. Pun boleh pula disebut menjanjikan sebagai politisi muda.
Namun, yang jauh lebih penting dari semuanya, sebagaimana catatan di awal tulisan ini, ialah mendorong proses regenerasi politik nan sehat.
Sekali lagi. Regenerasi politik tak boleh sekadar bersandar pada modal dan marga. Lebih dari segalanya, regenerasi yang baik sudah seharusnya menawarkan ide, gagasan, dan program nan segar.
Lagi pula, kita bukan tak punya contoh terbaik atas keterlibatan orang muda dalam politik. Sejarah republik menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia justru dimulai dari ide, gagasan, dan imajinasi segar para politisi muda.
Sekadar pengingat, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) kala berumur 26 tahun. Mohammad Hatta memimpin Perhimpunan Indonesia (PI) pada usia 25 tahun. Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama Indonesia saat usianya baru menginjak 36 tahun.
Bisakah politisi muda di Sulteng mewarisi teladan berupa ide, gagasan, dan imajinasi segar dari nama-nama tersebut?
polling paling farid lawira ucu susanto akbar supratman kiki pakamundi politisi muda sulteng pemilu 2024 milenial generasi z Puskapa