Jalan panjang Gedung Juang berpredikat status cagar budaya
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 7 Juli 2023 - 18:43
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Jalan panjang Gedung Juang berpredikat status cagar budaya
Gedung Juang yang bersemuka dengan Taman Nasional Bundaran Hasanuddin tampak makin ringkih termakan usia (Foto: Nasrullah/Tutura.id)

Jika ada gedung yang bisa cerita panjang lebar perjalanan Kota Palu sejak masih era kerajaan lokal, penjajahan Belanda yang kemudian berganti Jepang, hingga mufakat bergabungnya Kerajaan Palu, Sigi dan Kulawi ke dalam NKRI, mungkin Gedung Juang yang paling pas.

Usia gedung berkelir putih ini sudah nyaris seabad. Ibarat manusia, gedung ini pastilah memiliki pustaka pengalaman alias kisah yang terpermanai banyaknya. Musabab ia telah jadi saksi banyak peristiwa.

Walau makin ringkih termakan usia, gedung ini seolah berusaha kokoh berdiri. Lokasinya persis bersemuka dengan Taman Nasional Bundaran Hasanuddin di mintakat Lolu Utara, tepatnya di Jalan Cempaka.

Menyadari pentingnya eksistensi gedung ini, mulai dari segi estetis, pengetahuan, dan sejarah, tahun lalu Forum Revitalisasi Gedung Juang mengusulkan agar Gedung Juang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya.

Sekretaris Daerah Kota Palu Irmayanti Pettalolo mengamini usulan FRGJ. “Kalau di sini punya cerita, kenapa tidak kemudian cerita itu kita jaga dan kita kembangkan agar siapapun yang datang tau cerita itu. Bahwa di sini suatu tempat bersejarah yang punya cerita untuk diketahui orang banyak,” kata Irmayanti.

Hanya dengan cara demikian pemeliharaan gedung ini bisa terjaga sehingga kondisinya bisa jauh lebih baik ketimbang yang kita lihat sekarang.

Lagi pula, meminjam keterangan Herman W. Sorebuli selaku Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palu, hingga saat ini belum ada cagar budaya yang ditetapkan resmi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu.

“Padahal di kota ini sebenarnya banyak tempat yang bisa ditetapkan sebagai cagar budaya. Hanya saja mungkin dari proses dan sampai pendanaan kita belum siap. Padahal cagar budaya juga bisa menjadi sumber ekonomi,” ujar Herman kepada Tutura.Id, Kamis (6/7/2023).

Saat ini, lanjut Herman, sejumlah objek atau bangunan tua di kota ini baru dalam taraf diduga sebagai cagar budaya. Pembuktiannya masih perlu penelitian hingga ke fase penetapan yang tentu butuh waktu.

Dicontohkannya bangunan seperti Banua Ntupu alias Gereja BK Korps I di Maesa, Gedung Suap Raja di sebelah Banua Ntupu, situs makam tua di Mantikulore, dan Soemoer Koeloe di Donggala Kodi sangat patut diusulkan menjadi cagar budaya.

Sementara bangunan Souraja dan Makam Dato Karama di Kampung Lere, sungguhpun pada plangnya memuat tulisan cagar budaya, tetap harus dilakukan pengkajian ulang agar bisa ditetapkan sebagai cagar budaya.

Pasalnya dua bangunan tersebut masih menggunakan produk hukum lama, yakni UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang dikeluarkan oleh (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Gorontalo.

“Itu ditetapkannya memang sudah lama, tapi SK penetepannya tidak pernah diserahkan Gorontalo ke Kota Palu,” ungkap Herman.

Controllerswoning in Paloe yang sekarang menjadi Gedung Juang antara 1930-1936 (Sumber: Tropenmuseum)

Proses menjadi cagar budaya

Berdasarkan pengertiannya, cagar budaya adalah warisan budaya benda, bisa berupa bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis, yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

Pun demikian, tidak semua yang tua lantas bisa menyandang status cagar budaya. Merujuk UU No. 11 tahun 2010, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan melalui kajian penetapan. Contohnya bangunan minimal sudah berusia 50 tahun atau lebih.

Ada lima jenis cagar budaya, yaitu Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

Sementara berdasarkan tingkatannya, cagar budaya bisa masuk peringkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Proses kajian mendalam untuk penentuan cagar budaya dilakukan oleh Tim Ahli Cagar Budaya. Para anggota tim ini berasal dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang, mulai dari akademisi, budayawan, sejarawan, dan pemerintah

Khusus di Kota Palu, Tim Ahli Cagar Budaya telah dibentuk oleh Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek RI sejak tahun lalu. Anggotanya terdiri dari Lukman S. Tahir, Safrudin, Agustan, Ikhtiar Hatta, Ismail, Titi Rahma, dan Herman W. Sorebuli.

Tugas dan fungsi tim ahli ini berdasarkan UU No. 11 tahun 2010 untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan cagar budaya.

Penghapusan dilakukan jika cagar budaya telah musnah, kehilangan wujud dan bentuk aslinya, kehilangan sebagian besar unsurnya, atau tidak lagi sesuai dengan yang disyaratkan oleh undang-undang.

Bila suatu objek ingin mendapatkan status cagar budaya, langkah pertama yang bisa dilakukan bisa dengan mengirimkan permohonan resmi kepada Dinas Kebudayaan setempat.

Permohonan tersebut nantinya diteruskan kepada Tim Ahli Cagar Budaya. Tim ini akan memberikan informasi dan petunjuk pengisian formulir pengajuan penetapan cagar budaya kepada pemohon.

Setelah itu tim akan melakukan sidang penetapan status apakah objek yang diajukan layak atau tidak untuk ditetapkan sebagai cagar budaya dalam bentuk rekomendasi teknis.

Rekomendasi teknis ini selanjutnya disampaikan kepada Kepala Dinas Kebudayaan dan kepala daerah setempat.

Penetapan cagar budaya berdasarkan Keputusan Menteri, Gubernur, atau Wali Kota/Bupati setelah memperoleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.

Laman situsweb kemdikbud.go.id menjabarkan, ketetapan dalam rupa Surat Keputusan (SK) harus dilakukan kepala daerah paling lama 30 hari setelah menerima rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya. Ada implikasi hukum jika melewati batas 30 hari belum menetapkan status sebuah cagar budaya.

Pasal 104 dalam No. 11 tahun 2010 menyebut setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya akan dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp500 juta.

Lantas mengapa Gedung Juang belum kunjung berstatus cagar budaya? Menurut Herman W. Sorebuli selaku anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palu, penyebabnya lantaran Legiun Veteran Republik Indonesia Sulteng belum kunjung menyerahkan kendali pengelolaan kepada pemerintah daerah.

“Misalnya nanti pengelolaan sudah diserahkan, maka sebelum Gedung Juang dinyatakan sebagai cagar budaya, kami harus meneliti bangunan tersebut, mulai dari strukturnya, bahan bangunannya, berapa lama gedung tersebut didirikan. Jadi statusnya masih perlu penelitian dan penetapan yang cukup panjang,” pungkasnya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kawasan pecinan dan riwayat etnik Tionghoa di Palu
Kawasan pecinan dan riwayat etnik Tionghoa di Palu
Palu memang tak punya pecinan macam Jakarta atau Surabaya. Namun tak berarti tiada "Kampung Cina."…
TUTURA.ID - Kesenian Barongsai di Palu yang menciptakan toleransi
Kesenian Barongsai di Palu yang menciptakan toleransi
Perguruan Barongsai Tiga Naga telah mengajarkan kesenian barongsai sejak 2007. Para murid berasal dari berbagai…
TUTURA.ID - Melacak jejak bangunan kolonialisme di Lembah Palu
Melacak jejak bangunan kolonialisme di Lembah Palu
Sejumlah bangunan peninggalan kolonialisme Belanda tersebar di Lembah Palu. Beberapa yang masih bertahan kondisinya sudah…
TUTURA.ID - Langkah Lentera Silolangi menuju Festival Seni Bali Jani terantuk
Langkah Lentera Silolangi menuju Festival Seni Bali Jani terantuk
Komunitas teater Lentera Silolangi berharap ikut serta di ajang Festival Seni Bali Jani untuk makin…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng