Bertahan hidup di atas zona merah
Penulis: Pintara Dinda Syahjada | Publikasi: 22 September 2023 - 15:32
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Bertahan hidup di atas zona merah
Warga penyintas bencana di Jalan Cumi-Cumi, Kelurahan Lere, mendirikan kembali permukiman mereka yang dulu hancur karena bencana 28 September 2018 (Foto: Pintara Dinda/Tutura.Id)

Rumah-rumah yang rusak sisa hantaman lindu dan tsunami pada tanggal 28 September 2018 masih terlihat berdiri di sepanjang Jalan Cumi-Cumi, Kelurahan Lere, Palu Barat.

Beberapa warga bahkan nekat membangun kembali rumah di atas puing reruntuhan tempat tinggal mereka di lokasi tersebut. Bahan bangunannya ada yang menggunakan papan dan tripleks.

Jika merujuk Peta Zona Ruang Rawan Bencana Palu dan Sekitarnya, wilayah yang persis bersemuka dengan Teluk Palu itu masuk dalam kategori zona merah. Faktor letak wilayah ini yang mengakibatkan semua bangunan di sepanjang Jalan Cumi-Cumi hancur kena terjang tsunami.

Oleh karena itu, tidak boleh membangun permukiman baru di lokasi tersebut. Unit hunian pada zona terlarang ini direkomendasikan untuk direlokasi.

Beberapa warga di lokasi yang kami temui menjelaskan alasan mereka enggan berpindah ke hunian tetap (huntap) yang lokasinya di Tondo, Kecamatan Mantikulore.

Pertama karena lokasi hunian baru untuk mereka yang selama ini notabene berprofesi sebagai nelayan jauh dari laut. Ini tentu saja menyulitkan mereka dalam menyambung hidup.

Alasan lain warga karena merasa tukar guling ini tidak adil. “Ukurannya itu huntap tidak sama dengan tanahnya kita di sini. Tanahnya kita di sini, kan, luas. Jadi kita tidak mau,” kata Nurvin (19/9/2023).

Perempuan berumur 41 tahun ini mengaku sudah dua tahun memilih tetap tinggal di Jalan Cumi-Cumi. Ia memilih tinggal di atas puing-puing rumahnya yang dulu. Tempat segala memori kelam dan pahit membayangi. Sebuah keputusan yang jelas tak mudah. Gurat trauma itu senantiasa hadir.

“Antara hidup dan mati. Biar cuma angin kencang sedikit langsung takut kita. Waktu belum lama ini ada gempa, kita semua tidur di luar sama anak-anak. Kita juga sudah beres-beres pakaian dan obat-obatan. Pokoknya pasrah saja kalau memang sudah ajal,” ujar Nurvin lirih.

Untuk mengakomodir keputusan Nurvin dkk., Pemerintah Kota Palu akhirnya membangun huntap satelit di Jalan Pangeran Hidayat yang dulunya bekas rusunawa. Lokasinya tak jauh dari Jalan Cumi-Cumi alias dekat bibir pantai juga. Progres pembangunannya terus berjalan dan diharapkan rampung sebelum tutup tahun ini.

Puluhan kepala keluarga yang memilih tinggal di sepanjang Jalan Cumi-Cumi harus menerima keadaan hidup di tempat yang minim pencahayaan.

“Cuma orang-orang lewat yang kasihan lihat kita. Sudah tempatnya gelap, berdebu, terus kotor juga,” pungkas Nurvin.

Progres pembangunan huntap satelit di Jalan Pangeran Hidayat, Kel. Lere (Foto: Pintara Dinda/Tutura.Id)

Aktivitas kegiatan di zona merah lainnya juga terlihat di sekitar anjungan Pantai Talise hingga Kampung Nelayan. Bahkan ketika sepanjang bibir Teluk Palu itu sudah dipasangi tanggul dari batu-batu gajah, makin ramai saja warga yang datang.

Mereka datang sekadar bersantai menikmati semilir angin sore sembari memandangi panorama pantai. Para pedagang juga ramai mendirikan kafe dan berjualan. Padahal kawasan ini pada lima tahun silam banyak ditemukan korban jiwa akibat terkena sapuan tsunami.

Ramla (51), salah satu pedagang di sekitar patung kuda, Pantai Talise, mengatakan masih berjualan di lokasi lamanya meskipun tahu lokasi tersebut masuk zona berbahaya. “Kalau tidak jualan di sini kita tidak makan,” ujarnya kepada Tutura.Id (19/9).

Para pedagang yang dahulunya berjualan di sekitar anjungan Pantai Talise ini sebenarnya telah disediakan tempat baru di Hutan Kota. Lokasinya menempati dataran lebih tinggi dari permukaan laut.

Tawaran relokasi itu ditolaknya. Pun ketika Pemkot Palu melarang adanya aktivitas berjualan di sepanjang pantai yang termasuk zona merah. Para pedagang bersikeras tidak ingin pindah demi memenuhi kebutuhan hidup.

Hidup di atas negeri patahan, plus menyimpan segudang memori pilu akibat bencana dahsyat 28 September 2018 turut dirasakan Ramla.

Ketika gempa berkekuatan 6,3 Magnitudo menghantam daerah pesisir Kabupaten Donggala (9/9), yang juga dirasakan sebagian besar warga Palu, Ramla mengaku tergopoh menutup jualannya dan langsung pulang bertemu keluarganya. Khawatir kejadian tsunami terulang.

“Kita tetap juga trauma. Jadi langsung pulang lihat anak-anak. Makanya ini (kita jualan) antara hidup dan mati juga. Tapi mau bagaimana lagi,” katanya berpasrah.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
4
Jatuh cinta
0
Lucu
1
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Polusi udara di Palu, dari masalah kesehatan hingga perubahan iklim
Polusi udara di Palu, dari masalah kesehatan hingga perubahan iklim
Kualitas udara di Palu cenderung masuk kategori “sedang” dan “tidak aman.” Polusi tak sekadar mengancam…
TUTURA.ID - Lima tahun setelah lindu melanda; suara dari huntara
Lima tahun setelah lindu melanda; suara dari huntara
Warga penyintas yang hingga hari ini terpaksa tinggal di huntara berharap segera pindah. Apa boleh…
TUTURA.ID - Mengunjungi Balaroa Memorial Wall untuk memulihkan diri
Mengunjungi Balaroa Memorial Wall untuk memulihkan diri
Hampir setahun sejak diresmikan, "Balaroa Memorial Wall" bukan sekadar tugu pengingat bencana, tapi jadi tempat…
TUTURA.ID - Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Ir. Drs. Abdullah, M.T. menekankan pentingnya mempelajari semua jenis bencana, tidak hanya soal gempa dan…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng