“Torang sebenarnya tidak nyaman dengan kondisi sekolah yang seperti ini,” keluh Najwa Syafira (11), siswa SDN Pengawu. “Mo suka belajar lama tidak bisa, kegiatan lain kayak olahraga atau pramuka te ada tempatnya,” sambung beberapa siswa lainnya.
Najwa bersama enam siswa SDN Pengawu lainya sedang menunggu jemputan saat Tutura.Id menyambangi sekolah mereka yang berlokasi di Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Rabu (5/4/2023).
Keluhan Najwa dan teman-temannya beralasan. Hampir empat tahun, mereka harus belajar dengan kondisi sekolah yang seadanya. Sebagai catatan, SDN Pengawu merupakan salah satu dari 2.736 bangunan sekolah yang rusak akibat bencana gempa di Palu dan sekitarnya, pada 28 September 2018.
Sekolah itu hanya punya satu bangunan permanen dengan empat ruang kelas, plus satu bangunan semi permanen dengan dua ruangan. Enam ruang kelas itulah yang dipakai untuk mengakomodir kegiatan belajar 480 siswa.
Sebelumnya, Tutura.Id juga mengobrol dengan Jane Caroline, yang anaknya pernah bersekolah di SDN Pengawu. “Kondisi belajar mengajar di sana, jauh dari kata layak. Padahal itu sekolah berada di kota,” ujar Jane, Rabu (15/3/2023)
Padahal, kata Jane, sebelum dibongkar dan dibangun kembali, sekolah itu punya kualitas dengan dukungan dari tenaga pengajar yang kompeten.
“Dengan kondisi seperti sekarang, meskipun guru-gurunya bagus, tapi kalau tidak didukung ruang belajar yang memadai akan sulit menghasilkan peserta didik yang berkualitas,” kata dia.
Jane juga telah berinisiatif mengadukan kondisi SDN Pengawu ke Pemerintah Kota Palu. “Sudah beberapa kali melapor ke situs lapor walikota, tapi cuma dijawab menunggu MoU,” keluhnya.
Kondisi sekolah itu memang jauh dari kata layak. Saat bertandang ke sana, Tutura.Id menemukan bahwa seharusnya ada tiga bangunan baru yang bisa dipakai untuk kegiatan belajar mengajar. Namun hanya dua bangunan yang berdiri. Itupun kondisinya mangkrak dan penuh semak belukar.
Satu bangunan lainnya bahkan masih berupa fondasi, dengan sekumpulan besi tulangan yang berdiri kaku. Gunungan pasir, dan tumpukan kayu juga masih terlihat di lingkungan sekolah. Semuanya jadi penanda sebuah proyek yang mangkrak.
Ketua Komite SDN Pengawu, Burhanudin menyebut bahwa situasi ini sudah berlangsung sejak 2020. “Selama tiga tahun terakhir, hanya begitu terus kondisinya," ujar Burhanudin, lewat sambungan telepon (7/4/2023).
Padahal proyek ini menyedot anggaran sebesar Rp4,58 miliar dengan durasi proyek 275 hari. Sumber pendanaannya datang dari Kreditanstalt fur Wiederaufbau atau KfW (Bank Pembangunan Jerman) lewat “Program for Earthquake and Tsunami Reconstruction Assistance (PETRA)” via Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Adapun pelaksana teknisnya ialah PT Yodya Karya, dan PT Istaka karya; masing-masing sebagai konsultan dan kontraktor proyek.
Berdampak pada proses belajar mengajar
Tenaga pendidik di SDN Pengawu juga ikut lempar keluh. Kepala SDN Pengawu, Nirwana Novitasari menyebut bahwa situasi ini telah mengganggu jam belajar siswa, dan memengaruhi kualitas pembelajaran.
“Di sini ada 18 rombongan belajar, sementara ruang kelas yang tersedia hanya enam ruangan. Otomatis jam belajar peserta didik menjadi tidak maksimal,” kata Nirwana, saat kami mengobrol pada Rabu (5/4/2023).
Lantaran keterbatasan ruang kelas, berdasarkan keputusan bersama Komite Sekolah dan orang tua siswa, durasi belajar terpaksa berubah.
Sebelumnya, siswa kelas 1-2 punya durasi belajar tiga jam, dan tingkat 3-6 punya lama waktu tatap muka di sekolah selama enam jam. Kini tak peduli kelasnya, semua jadi dua jam.
Siswa bergilir masuk. Pukul 7-9 pagi jadi jatah untuk siswa kelas 1-2. Selanjutnya, pukul 10-12 siang dipakai untuk kelas 3-4. Sebagai penutup, antara pukul 1-3 siang giliran kelas 5-6. "Karena sekarang sedang puasa Ramadan, jamnya kami batasi sampai jam 12 siang,” ujar Nirwana.
Dengan waktu dua jam, kata Nirwana, proses belajar mengajar jadi serba terburu-buru. “Otomatis tiap satu mata pelajaran harus disesuaikan, begitupula dengan beban kerja kami guru-guru yang bertambah, karena biasanya harus pulang sore hari,” katanya.
Padahal alokasi waktu belajar sudah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 56/M/2022. Sebagai contoh, siswa kelas 1 sekolah dasar perlu 1080 jam pelajaran selama setahun (36 minggu). Adapun satu jam pelajaran berdurasi 35 menit.
Merujuk penghitungan itu, seorang siswa kelas 1 setidaknya butuh 630 jam belajar dalam setahun. Kenyataannya, di SDN Pengawu, dalam setahun (36 minggu), siswa kelas 1 hanya mendapat pelajaran di kelas selama 360 jam. Dengan asumsi sepekan berarti lima hari kerja (Senin-Jumat), dan saban hari hanya tersedia waktu dua jam untuk proses belajar mengajar.
Kini, para tenaga pengajar, orang tua, dan siswa SDN Pengawu hanya bisa menunggu kelanjutan proyek pembangunan sekolah mereka. Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid pun sudah pernah berkunjung ke SDN Pengawu pada pengujung 2022. Namun hingga kini proyek masih bergeming. Tak bergerak.
Kabar terakhir muncul lewat akun Facebook Hardi, yang diyakini sebagai milik kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu.
Pada 16 Maret 2023, Hardi berbagi kiriman Facebook yang menceritakan proses penandatanganan Redesign Dokumen Lelang Kelanjutan Pembangunan bersama UNDP. Konon, dokumen tersebut akan mengatur proyek pembangunan tiga sekolah di Kota Palu yang kini masih terbengkalai, yakni: SMP 14, SDN Pengawu, dan SDN 21.
SDN Pengawu wali kota palu pendidikan kota palu gempa bumi bencana proyek proyek pembangunan siswa sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu