Lika-liku perjuangan mengejar beasiswa
Penulis: Pintara Dinda Syahjada | Publikasi: 8 Mei 2023 - 17:15
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Lika-liku perjuangan mengejar beasiswa
Ada beragam program beasiswa ditawarkan. Pengincarnya juga tak kalah banyak. Harus pantang menyerah (Foto: Shutterstock)

Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Tiongkok. Demikian bunyi ungkapan yang sering dilontarkan untuk mengatrol motivasi belajar seseorang.

Jika biaya jadi faktor penghalang untuk mewujudkannya, ada kesempatan lain yang bisa menjadi alternatif. Misalnya saja melalui program beasiswa.

Maklum ongkos pendidikan menempuh perguruan tinggi sekarang ikut melambung. Kehadiran beasiswa bisa menambal kekurangan tersebut. Mahasiswa jadinya bisa lebih fokus dalam belajar tanpa risau soal biaya.

Perjalanan beasiswa di tanah air terbagi dalam enam era, mulai dari masa prakemerdekaan (1900-1945), Orde lama (1945-1965), 1965-1982, 1982-1996, 1996-2013, dan 2013-sekarang.

Saat ini ada beragam beasiswa yang ditawarkan, mulai dari pihak swasta, pemerintah, hingga negara-negara maju. Durasi pendidikan, skema bantuan pembiayaan, hingga bentuknya juga tak kalah beragam.

Pun demikian, para peminat atau pemburu beasiswa tak kurang banyaknya. Alhasil pengincar harus berlomba jadi yang terdepan dalam memenuhi segala tes dan persyaratan agar nantinya lolos terpilih sebagai penerima.

Mereka yang punya motivasi besar tentu tak gampang patah arang ketika mencoba. Gagal pada kesempatan pertama bukanlah alamat kesempatan tertutup selamanya.

Sebab masih ada pintu-pintu beasiswa lain yang bisa dimasuki. Bisa juga tetap mencoba pintu yang sama pada kesempatan berikutnya. Intinya terus mencoba.

Semangat pantang menyerah dan lika-liku perjuangan mengejar beasiswa pendidikan itu yang coba dibagikan oleh Satrio Amrullah, Aulia Rahman, dan Vania Qanita Damayanti berikut ini.

Pintu masuk utama Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Foto: Tyas Indayanti/Shutterstock)

Satrio Amrulah lolos pada kesempatan ketiga

Satrio Amrulah (30) sekarang menempuh jenjang pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil jurusan Manajemen Bencana.

Alumni jurusan Fisika di Fakultas MIPA Universitas Tadulako ini merupakan salah satu penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Sulawesi Tengah.

Upayanya memburu beasiswa dari pemerintah ini sudah berlangsung sejak 2018. Pada kesempatan pertama, ia gagal dalam tahap seleksi wawancara.

Kali kedua mencoba, lagi-lagi Satrio tidak beruntung. Ia mentok saat fase seleksi administrasi.

Usaha pantang menyerah akhirnya menuai sukses dalam percobaan ketiga. Dirinya dinyatakan lulus mendapatkan beasiswa LPDP.

“Awalnya saya pikir mudah. Begitu dijalani ternyata enggak, sih. Semacam ada faktor keberuntungan dan faktor kesiapan,” katanya saat dihubungi Tutura.Id via telepon (4/5/2023).

Satrio mengaku hanya mendaftar untuk LPDP karena menurutnya beasiswa dalam negeri tidak banyak. Beda dengan tawaran darmasiswa kuliah di luar negeri yang lebih banyak.

LPDP adalah satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan yang terintegrasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.

Kehadiran beasiswa ini untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya melalui pemberian beasiswa, pendanaan riset, dan pengelolaan dana (investasi).

Setiap tahun kuota penerima beasiswa LPDP terus bertambah mengikuti jumlah anggaran yang dikelolanya.

Untuk tahun ini, pemerintah melalui Kemenkeu menambah kuota penerima beasiswa LPDP menjadi 7.000 orang dari sebelumnya hanya 3.256 orang.

Ada tiga jenis beasiswa yang disediakan LPDP, mulai dari kategori umum, targeted, dan daerah afirmasi yang khusus diberikan kepada putra-putri Papua dan daerah-daerah yang masih tertinggal, keluarga prasejahtera, serta penyandang disabilitas.

Satrio memperoleh beasiswa LPDP melalui jalur daerah afirmasi. Pasalnya Kabupaten Donggala yang jadi tempat asalnya termasuk daerah tertinggal.

Mendaftar via jalur daerah afirmasi, lanjut Satrio, punya kemungkinan diterima lebih besar karena passing grade Test of English as a Foreign Language (TOEFL) lebih rendah ketimbang kategori umum. Pun nilai acuan untuk Tes Bakat Skolatik (TBS).

TBS merupakan tes untuk memprediksi kemampuan seseorang jika diberikan kesempatan melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi.

Satrio mengaku bahwa kompetitor terbesar selama mengikuti tes mendapatkan beasiswa bukanlah dari sesama peserta lain, tapi diri sendiri.

Aulia Rahman, duduk sebelah kiri, saat berpose dengan teman-teman kampusnya (Foto: Istimewa)

Aulia Rahman menjajal banyak beasiswa luar negeri

Jika Satrio hanya mengincar program bantuan biaya belajar yang disediakan Pemerintah Indonesia, kisah yang dituturkan Aulia Rahman (29) sedikit berbeda. Ia juga menjajal banyak program beasiswa yang ditawarkan oleh negara-negara asing.

“Fulbright yang disediakan pemerintah Amerika Serikat, Chevening Scholarship dari Pemerintah Inggris, LPDP, dan Australia Awards Scholarship. Ada juga yang di New Zealand. Pokoknya banyak lah waktu itu. Kalau ndak salah ada lebih dari 10 beasiswa yang ditawarkan dari benua manapun,” ungkapnya saat dihubungi Tutura.Id (5/5).

Ayi, demikian sapaan akrabnya, akhirnya berhasil lulus mendapatkan beasiswa Erasmus+ (sebelumnya Erasmus Mundus). Program bantuan dana pendidikan ini berasal dari Uni Eropa.

Pelajar dari berbagai penjuru dunia berkesempatan mengenyam pendidikan dan pengalaman kerja di berbagai negara di Eropa.

Lantaran mengincar program beasiswa dari luar negeri, langkah pertama yang dilakukan Ayi adalah memperdalam skill berbahasa Inggris. Kampung Inggris Pare di Kediri, Jawa Timur, dipilihnya jadi tempat belajar selama sebulan penuh. Ia pernah juga mengikuti kursus International English Language Testing System (IELTS) di Jakarta selama seminggu.

Merasa kemampuannya berbahasa Inggris sudah cukup mumpuni, pada 2018 ia mulai intens mendaftar berbagai program beasiswa. Dua tahun berselang melalui berbagai ikhtiar pantang menyerah, Ayi akhirnya mengambil kesempatan beasiswa yang ditawarkan Erasmus.

Kala itu sebenarnya ada tiga program beasiswa yang menyatakan dirinya lolos hingga tahap interviu, yaitu Fulbright, Chevening, dan Erasmus.

Pilihannya kemudian jatuh kepada yang dituliskan terakhir. Alasannya karena pihak Erasmus yang pertama melakukan sesi wawancara dan menyatakan dirinya lulus. Ia pun merasa tak perlu lagi harus mengikuti sesi tes untuk dua program beasiswa lainnya.

Dibandingkan program-program beasiswa lain, Ayi menilai Erasmus termasuk yang paling mudah dalam hal proses seleksi.

Sesi wawancara berlangsung secara daring dan hanya sekitar 15 menit. Pengumuman kelulusan peserta juga tak lama. Hanya butuh menunggu kurang lebih dua pekan setelah interviu.

Laiknya program darmasiswa LPDP, kuota penerima beasiswa Erasmus+ juga bertambah tiap tahun.

“Apalagi di Palu kan memang cukup seksi ya, maksudnya Sulawesi Tengah itu termasuk prioritas. Australia juga memasukkan Sulawesi Tengah sebagai prioritas. Jadi kesempatan untuk teman-teman di Sulteng harusnya jauh lebih besar,” tutur Ayi.

Penambahan lain yang tentu saja tak kalah pentingnya adalah uang saku. Virza Maradhika selaku Erasmus Mundus Association (EMA) Country Representative for Indonesia pernah membocorkan besarannya.

Katanya, mulai tahun 2022 jatah uang bulanan penerima beasiswa jenis Erasmus Mundus Joint Master Degree Program (EMJMDP) naik menjadi 1.400 EUR (sekitar Rp22,7 juta). Tahun sebelumnya mereka mengantongi 1.000 EUR.

Ayi juga mencicipi jenis EMJMDP. Beasiswa jenjang master ini diselenggarakan secara bersama-sama oleh konsorsium internasional yang terbentuk berkat kerjasama berbagai institusi pendidikan tinggi di Uni Eropa.

Biasanya durasi studi skema ini berlangsung sekitar 12-24 bulan. Menariknya lagi, mahasiswa penerima jenis beasiswa ini akan menempuh proses perkuliahan di berbagai universitas yang berlokasi di Eropa.

Ayi, misalnya, berkuliah di empat universitas, yaitu di University of Turin, Sorbonne University, University of Paris, dan University de Technologie de Compeigne selama dua tahun masa studi.

Oleh karena itu, Ayi menyarankan jangan takut untuk menjajal beasiswa luar negeri. Harus berani mencoba. “Kalau punya komitmen dan tekad yang kuat pasti bisa lulus,” serunya.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Disaster Education Academy Indonesia (@diseacademy.id)

Vania Qanita Damayanti mengungguli 300 peserta

Cerita berbeda lagi meluncur dari Vania Qanita Damayanti (22). Sineas yang mengukir prestasi usai menggarap film pendek Telur ini mendapatkan beasiswa dari Dise Young Leaders Japan 2023.

Mahasiswi Program Studi Film dan Televisi di Fakultas Pendidikan Seni dan Desain, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, ini bahkan mendapatkan beasiswa dengan skema fully funded. Vina berhasil mengungguli 300 peserta lain demi mendapatkan pembiayaan penuh.

Artinya segala ongkos untuk mengikuti program ini selama 25-29 Juli 2023 sepenuhnya akan dibiayai pemberi beasiswa, mulai dari tiket pulang pergi, akomodasi, transportasi, konsumsi, sertifikat nasional dan internasional, tas siaga bencana dan buku, hingga tiket ke tempat wisata dan saat melakukan “university tour”.

“Nanti akan berkunjung ke beberapa universitas di Jepang. Salah satunya Universitas Tokyo. Ini memberikan jembatan opportunity untuk peserta yang terpilih,” ujarnya kepada Tutura.Id saat dihubungi via pesan langsung Instagram (5/5).

Untuk bisa mendapatkannya tentu tak segampang membalik telapak tangan. Vania harus mengikuti tiga fase seleksi, yaitu yaitu seleksi esai, seleksi kuis pengetahuan dan kebencanaan, dan terakhir seleksi foto.

Pendaftar bisa memilih hanya mengikuti dua dari tiga proses seleksi tersebut. Vania akhirnya memilih ikut cabang seleksi esai dan foto. Bagian paling sulit ketika harus menulis esai sebanyak 1000 kata.

Ia bahkan mengaku sempat menangis dan jadi kurang tidur saat mengerjakan esai karena punya harapan besar mau lolos.

Lantaran sudah berfokus pada isu kebencanaan usai Palu kena hantam gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 2018, beratnya mengerjakan esai rampung sekitar dua pekan.

“Tahun 2021 juga sempat bikin film dokumenter yang mewawancarai berbagai narasumber, seperti arkeolog dan peneliti. Jadi ada informasi yang saya dapatkan dan saya pelajari. Itu semua saya tuangkan dalam esai,” tambah Vania yang kali pertama mendapatkan beasiswa ke luar negeri.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Dua huntap di Palu dibangun di lokasi rawan bencana
Dua huntap di Palu dibangun di lokasi rawan bencana
Dua huntap di Palu dibangun di lokasi rawan bencana. Banjir hingga puting beliung pernah menerpa…
TUTURA.ID - Menimbang kenaikan UKT di Untad dengan UMK Sulteng
Menimbang kenaikan UKT di Untad dengan UMK Sulteng
Kenaikan UKT di Universitas Tadulako mengakibatkan banyak mahasiswa baru yang mengundurkan diri. Padahal mereka telah…
TUTURA.ID - Front Banggai Bergerak temukan indikasi kecurangan jelang Pemilu 2024
Front Banggai Bergerak temukan indikasi kecurangan jelang Pemilu 2024
Beragam upaya dilakukan untuk menjaga demokrasi di Indonesia agar tidak melanggengkan politik dinasti. Salah satunya…
TUTURA.ID - Dilema pembayaran gaji guru PPPK di Sulawesi Tengah
Dilema pembayaran gaji guru PPPK di Sulawesi Tengah
Kesalahan sumber dana pembayaran gaji ribuan guru SMA dan SMK di Sulteng yang baru terangkat…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng