Bertemu Bayasa; penyembuh bergender netral dari Tanah Kaili
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 20 November 2022 - 13:29
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Bertemu Bayasa; penyembuh bergender netral dari Tanah Kaili
Aco (60), bayasa di Desa Sintuwu, Palolo, Sigi. Ia merupakan satu-satunya bayasa di wilayah Palolo dan Sigi Biromaru. (Foto: Rizki Urip)

Kamis 12 November 2022, saya menuju Desa Sintuwu, Kecamatan Palolo, Sigi. Itu berarti bergerak hampir 50 kilometer ke tenggara dari pusat Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Saya bermotor dengan Indra Jaya (41). Dia seorang pemuda pemerhati budaya asal Desa Bora, Kecamatan Sigi Biromaru, Sigi. 

Sebulan sebelumnya, saya dan Indra banyak tukar cerita tentang lenda dan bayasa. Kali ini, dia memenuhi janji untuk mempertemukan saya dengan seseorang yang menyandang status Bayasa.

Kami sudah siapkan sambulu gana, semacam persembahan kecil untuk memulai percakapan. Isinya pinang, gambir, buah sirih, kapur, tembakau, plus tambahan sebungkus rokok serta korek api.

Begitu tiba di Desa Sintuwu, kami dapat petunjuk dari warga soal titik rumah yang hendak kami kunjungi. Di tengah jalan, kami berpapasan dengan seorang paruh baya yang pakai kain yang menutup di kepalanya–melindunginya dari terik mentari. Sambil tersenyum, ia mempersilahkan kami masuk ke rumahnya.

Obrolan mulai mengalir saat kami mengeluarkan sambulu gana. Dengan lekas, orang tua itu menuju dapur membuatkan kami teh. Ia juga sempat pasang kain sebagai bawahan.

Aco berusia 60 tahun. Ia menyandang status Bayasa di Desa Sintuwu. Bayasa berarti pria yang berpakaian dan berperilaku seperti wanita; banci; waria; atau transpuan. Dalam kebudayaan Kaili, Bayasa memegang peranan sebagai penghubung antara manusia dan alam gaib.

Ia punya peran penting saat upacara adat, serta jadi penasihat spiritual bagi kerajaan di masa lampau. Bayasa sedikit berbeda dengan lenda, yang lebih merujuk pada identitas seksual. Dalam Kamus Kaili Ledo, lenda diartikan sebagai banci. 

Bayasa sudah pasti lenda, sementara lenda belum tentu bayasa. Tidak jauh beda dengan yang ada di (Sulawesi) Selatan. Orang calabai belum tentu bissu, tapi bissu sudah tentu calabai, ujar Drs. Iksam Djorimi. M.Hum., selaku pemerhati budaya saat ditemui Tutura.Id (17/10/2022).

Kedua konsep bayasa atau lenda serupa konsep calabai dan bissu dalam kebudayaan suku Bugis.

Tradisi dan budaya suku Bugis mengakui adanya lima gender, yaitu perempuan (makunrai), laki-laki (uroane), perempuan berpenampilan laki-laki (calalai), laki-laki berpenampilan perempuan (calabai), dan bissu yang dianggap bukan laki-laki maupun perempuan. Makhluk spiritual yang tidak berada di tengah-tengah antara laki-laki dan perempuan, melainkan mewujudkan kekuatan keduanya sekaligus.

Dalam narasi kuno masyarakat Bugis, bissu turun ke Bumi tidak terpecah menjadi pria atau wanita—seperti kebanyakan orang—tetapi tetap menjadi kesatuan suci keduanya. Tugasnya penting dalam membawa kehidupan ke bumi. Menciptakan bahasa, budaya, adat, dan semua hal yang dibutuhkan demi perkembangan kehidupan.

Menurut Sharyn Davis, antropolog dari Monash University di Melbourne, Australia, identitas lima gender dalam Suku Bugis sudah terendus jauh sebelumnya masuknya agama samawi ke Sulawesi Selatan. Mereka menempati kasta tinggi dalam strata sosial dan ditempatkan di istana kerajaan karena jadi bagian paling penting dalam ritual adat.

Dalam terminologi modern seminim-minimnya, bayasa bisa masuk kategori non-binary. Konsep gender netral yang tidak mengklasifikasikan pada dua gender besar; atau memisahkan antara jenis kelamin dan orientasi seksual.

Barangkali jauh sebelum konsep non-binary populer di dunia modern, orang Kaili sudah mengenalnya dalam budaya serta adat istiadat. 

***

Aco mengenang lagi peristiwa yang bikin dirinya menyandang status bayasa. Sebelum masuk Islam, Aco punya nama pendek Set. Nama dan status barunya disandang ketika ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.

Mula-mula, Aco kecil tiba-tiba sakit selama kurang lebih tujuh bulan. Anehnya, selama sakit, Aco hanya makan telur ayam kampung dan tuak pahit. Ia pun masih terheran-heran dengan pengalaman tersebut.

“Kenyang terus saya rasa,” katanya, “Minum saguer pahit itu juga aneh. Karena masih kecil, temungkin suka saguer pahit.” 

Lantaran sakitnya, kerabat serta para tetua kampung bermusyawarah dan membicarakan nasib Aco. Musyawarah menyimpulkan bahwa harus dibuatkan semacam upacara adat dan memberikan status bayasa pada Aco. Ia pun ditanyakan kesiapannya, Aco yang sudah berbulan-bulan kesakitan mengiyakan saja.

Apa yang dialami Aco, juga dijelaskan oleh Iksam. Menjadi bayasa bukanlah perkara ditunjuk atau mengajukan diri. “Sebelum jadi bayasa, biasanya lenda mengalami sakit. Sakit tersebut bukan sakit sembarang sakit. Ada gejala tertentu yang kemudian atas usulan tetua adat akan dilakukan ritual adat. Adat yang dibuat terbilang besar. Namanya Nepapakana. Biasanya tiap-tiap wilayah beda penyebutan. Ada juga yang bilang Nempapakono,” Iksam menjelaskan. 

Senada dengan Iksam, Indra Jaya turut menguatkan. Selain bersifat sakral, upacara pelantikan seorang bayasa meminta pembuktian apakah betul seorang lenda punya kapasitas jadi seorang bayasa. Indra bilang, "Salah satu ujiannya, calon Bayasa akan diminta berjalan di atas mata parang yang disusun seperti tangga". 

Aco lantas menyandang status barunya lewat upacara yang dipimpin oleh bayasa dari Desa Bora. Saat itu hadir pula tiga bayasa lainnya. Proses pengangkatan itu mengharuskan Aco menombak seekor kerbau sebagai simbol pengorbanan--hasil patungan keluarga.

Lewat upacara itu, Aco menyandang status sebagai bayasa kelima di wilayah yang kini jadi teritori Kecamatan Palolo dan Sigi Biromaru. Ia juga memutuskan berhenti dari sekolah setelah sakitnya sembuh.

Sejak itu, ia mulai dikenal sebagai penyembuh bagi warga Desa Sintuwu. Orang sakit ringan lazimnya akan diberikan gane-gane (mantra). Namun, sebelum kasih gane-gane, Aco juga akan minta pasiennya untuk ke Puskesmas dulu. Bila tak juga sembuh boleh balik padanya.

Kalau ada penyakit parah, Aco mempertimbangkan untuk melakukan upacara kecil dan pakai statusnya sebagai bayasa. 

Contoh lain, pelayanan Aco masih dibutuhkan saat warga membuka kebun baru. “Kalau ada yang buka kebun, terus keteguran, saya yang bawakan empat warna beras,” ujarnya di antara kepulan asap rokok.

Kata Aco, bayasa sudah ada sejak berdirinya baruga. Adapun baruga yang dimaksud Aco tak sekadar arti harafiah sebagai rumah adat, melainkan satu konsep yang lebih besar yakni simbol sistem adat.

Menurutnya, sistem adat jauh lebih tua dari pemerintahan. Ia pun mengklaim sebelum ada kerajaan, bayasa juga sudah eksis sebagai simbol budaya.

Kadang juga Aco jadi pemandu untuk upacara balia. Dia sebut nama lain di Desa Sintuwu yakni Mama Mubi, yang kerap jadi partnernya untuk upacara balia alias tina balia (ibu balia).

Personel yang lain akan memainkan alat musik yang disebut bule. “Sudah banyak yang babantu, tapi babikin adat (memandu), saya dengan mama mubi,” ujarnya.

Indra memberikan konteks bahwa tina balia biasanya masuk kategori tobalaki, secara harafiah bermakna perempuan yang berpenampilan atau berperilaku seperti lelaki.

“Tina balia kalau dirasuki arwah leluhur macam laki-laki, tapi kesehariannya tidak begitu. Dia menikah dan punya anak. Beda dengan bayasa, dia lenda terus jadi bayasa dan tidak menikah,” kata Indra.

Namun upacara balia sudah lama tak digelar di Desa Sintuwu. Upacara penyembuhan itu terakhir dijalankan sekitar sembilan tahun silam. 

Aco menjelaskan perannya sebagai Bayasa sambil memperlihatkan atribut adatnya

 

Sebagai contoh, peran bayasa termaktub juga dalam buku “Upacara Tradisional dalam kaitannya dengan peristiwa alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Tengah terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Disebutkan ada sebuah upacara bernama Polele Bayasa. Upacara tersebut sebagai pengantar akan segera dimulainya upacara sakral sekaligus bermohon supaya upacara adat mendapatkan keberkatan. Bayasa sebagai seorang balia dianggap memiliki makna atau daya kekuatan untuk berhubungan dengan para dewa. Dalam suasana khusyuk, bayasa membacakan doa-doa:

Karampua rilangi, Karampua ritana

Tuhan (Penguasa) di langit dan penguasa di bumi

Kamaimo kita mempetiro hi

Marilah semua melihat ke sini

Anu adampae rapoviaka

Ke sini yaitu penyelenggaraan upacara adat padi (adampae)

tumpunutana dako rilida

Mari semua kalian

Mangelo anu nipoviaka ei

Menyaksikan sesuatu yang dibuat di sini

Marapi kami poviaka rapakajadi

Permohonan kami agar usaha kami berhasil

Ala mesirata mboi kita nggapurina

Agar kita bertemu kembali di kemudian hari

Kuperapi poviaka ei ve

Kami meminta agar usaha kami

Injamo rapakava, injamo rapatango

Jangan menjadi hampa, jangan lagi diserang hama

Injamo rapakapuyu

Jangan mati (layu)

Ei puramo naimi mpengaya

Ini semua jenis makanan (yang tersaji).

Dalam doa-doa tersebut bayasa turut serta menjelaskan persembahan yang disediakan para petani.

Contoh lainnya yang tercantum dalam buku tersebut, bayasa juga punya peran dalam upacara meminta hujan. Seperti di Desa Kawatuna yang dikenal dengan istilah Pora’a Binangga. Bayasa yang lengkap dengan pakaian adat menyimpan dupa atau kemenyan yang dibakar dengan maksud agar dapat mengundang para arwah ke tujuh tadulako. Bayasa mengatur penempatan sesajen tersebut sembari membaca gane-gane alias mantra.

Adapun dalam proses pengambilan keputusan di dewan adat, Aco juga ikut dilibatkan meskipun secara formal tak masuk dalam struktur. Ia masih sering dimintai pertimbangan terutama jika menyangkut upacara adat.

Warga Desa Sintuwu memang taruh hormat padanya. “Orang Tua” jadi sebutannya yang lain di desa tersebut.

Kepada kami, Aco juga menunjukkan sejumlah atributnya yang khas. Mulai dari pisau kecil, keris, dan baju adat kulit kayu. Atribut tersebut biasa dipakainya saat bikin upacara adat. 

Jika seorang bayasa meninggal, maka atribut tersebut dipegang oleh keluarganya. Jeda yang cukup lama hingga pengangkatan bayasa baru bisa jadi persoalan. Pasalnya, pusaka jadi rentan hilang atau diperjualbelikan oleh sanak famili. Cerita macam ini saya dengar dari Aco dan Indra.

Kini Aco jadi satu-satunya bayasa di Palolo dan Sigi Biromaru. Si Orang Tua tengah menanti momen baik untuk mengangkat seorang bayasa baru di Desa Bora.

Mungkin pula dia sedang mengintip masa depan simbol budaya ini, sambil berharap bisa menitip warisan dan pengetahuannya pada orang yang bisa dipercaya. 

Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra

Liputan ini didukung oleh beasiswa peliputan “Yang Muda, Yang Mewartakan” yang diadakan oleh Rutgers Indonesia dan Project Multatuli.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
12
Jatuh cinta
7
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Penyegelan PETI di Sidondo; Kali ketiga Bupati Sigi tutup aktivitas tambang emas ilegal
Penyegelan PETI di Sidondo; Kali ketiga Bupati Sigi tutup aktivitas tambang emas ilegal
Antara 2021-2023, Bupati Sigi, Mohamad Irwan tercatat sudah tiga kali menutup secara permanen aktivitas pertambangan…
TUTURA.ID - Tari Mora’akeke ante Barakah di panggung World Dance Day
Tari Mora’akeke ante Barakah di panggung World Dance Day
Sanggar Seni Kaktus menampilkan tari Mora’akeke ante Barakah yang berakar dari ritual meminta hujan dalam…
TUTURA.ID - Tiga potensi unggulan Kabupaten Sigi sebagai penyangga IKN
Tiga potensi unggulan Kabupaten Sigi sebagai penyangga IKN
Kabupaten Sigi dengan beragam komoditas yang dimilikinya jadi salah satu andalan Pemprov Sulteng sebagai penyangga…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng