Pertempuran Balumpewa; perang gerilya lawan Belanda di rimba Vayolipe
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 20 Agustus 2023 - 06:26
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Pertempuran Balumpewa; perang gerilya lawan Belanda di rimba Vayolipe
Masyarakat Adat Kaili Inde dialek Sa'a Desa Balumpewa berfoto bersama dengan latar belakang pegunungan setempat. (Foto: dokumentasi pribadi/Try Bagia)

Di balik nama Desa Balumpewa, ada kisah heroik di belakangnya. Kisah yang berakar dari pertempuran sengit antara warga desa dengan serdadu Belanda pada Tahun 1911-1926.  

Kisah ini dibagikan menantu mantan Kepala Desa Balumpewa Try Prawira Ma'ole Bagia. Pria yang kini bekerja sebagai staf Kantor Desa Balumpewa itu kerap membagikan kisah seputar tempat tinggalnya via akun Facebook. Termasuk soal kisah heroik ini.

Tutura.Id bertemu Try di Desa Balumpewa yang terletak di Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Rabu (16/8/23) petang.

Menjelang pukul 5 sore kami sampai di wilayah berpenduduk Kaili Inde dialek Sa'a atau Topo Inde Sa'a. Udara sejuk menyambut setibanya di desa yang terkenal dengan Air Terjun Wera ini.

Tidak langsung duduk bercerita, tapi diajak berkeliling dulu. Kami naik ke atas bukit kecil yang yang dipenuhi kebun jagung milik warga. Dari atas bukit, dataran Lembah Palu dapat dilihat membentang luas.

Saat itu kami tidak sendiri, ada beberapa orang dari Polipa Literasi juga hadir. Mereka berencana membangun rumah baca di tempat ini.

Nah, soal keliling tadi bukan tanpa tujuan. Try sengaja memperlihatkan bentangan desa dan beberapa lokasi penting dari kisah heroik yang akan dikisahkannya. Misalnya, kawasan hutan Desa Balumpewa yang disebut dengan Kayumarapa

Sebutan Kayumarapa muncul lantaran kawasan hutan ini tumbuh dengan tanaman yang saling berdekatan merapat rapi. Seolah mendapat sentuhan tangan manusia. Menurut Try, pada Tahun 2014 luas Kayumarapa mencapai 2.050,53 hektare sehingga menjadi kawasan hutan negara dengan status lindung dan konservasi. 

Dia tahu betul karena tujuh tahun silam dirinya bekerja bersama masyarakat Adat Kaili Inde Sa'a melakukan pemetaan wilayah admistrasi Dewa Balumpewa. Dari kerja-kerjanya bersama warga setempat inilah dia kemudian banyak mendapatkan tutura atau cerita peristiwa masa lampau dari para totua ngata atau orang-orang tua di kampung.

 Uma Nipo alias Saliku (tengah) bersama Try Bagia. (Foto: dokumentasi pribadi/Try Bagia)

Perang Gerilya dan Ritual Kadunapa

Tidak banyak orang yang tahu pernah ada peristiwa bersejarah yang terjadi di Desa Balumpewa hingga ke wilayah Kayumarapa. Peristiwa itu adalah perang gerilya masyarakat adat Balumpewa melawan  serdadu Belanda.

Try mengisahkan ulang peristiwa yang dahulu didengarkannya itu dari mendiang totua ngata Uma Nipo alias Saliku (Anggota Lembaga Adat Balumpewa) dan mendiang Randja (mantan Kepala Desa Balumpewa).

Menurut Try, Uma Nipo banyak menyimpan tutura dari leluhur yang merupakan salah seorang pejuang perang era kolonialisme Belanda. Ada juga beberapa catatan tertulis, namun hilang karena peristiwa gempa 28 Sepetmber 2018.

Try pun membuka cerita dengan menyebutkan sekitar Tahun 1910 Belanda mulai masuk ke Desa Balumpewa. Sebelum bernama Balumpewa, wilayah ini disebut Tanapobunti yang berarti tanah berbukit.

Sebelum menempati permukiman saat ini, penduduk desa hidup di perkampungan tua bernama Voyalipe. Berjarak sekitar 1-2 hari perjalanan tanpa kendaraan alias berjalan kaki. Tempat ini teridentifikasi sebagai kampung tua suku Kaili Inde Sa'a bermukim sejak abad-17.

Peta wilayah Desa Balumpewa yang mengambarkan beberapa wilayah kampung tua dan migrasi penduduknya. Peta ini memberikan gambaran tentang perang gerilya di mas Belanda. (Foto: Arsip Desa Balumpeewa)

Saat era kolonialisme Belanda, Voyalipe merupakan salah satu wilayah tempat mengungsi penduduk saat peperangan terjadi. Ya, tidak ada kedamaian dalam kurun waktu 1911-1926 di wilayah ini karena penolakan terhadap Belanda.

Try mengisahkan Pue Mpuroko, Pue Rumau atau Lekovaya, dan Pue Savirante adalah tiga tokoh yang masih berhubungan darah (sepupu). Ketiganya dikenal berperan memimpin perlawanan masyarakat adat di Balumpewa di masa itu.

Sekitar tahun 1904-1905 Belanda berhasil masuk ke beberapa daerah di Sulawesi Tengah dan menguasai beberapa kerajaan di wilayah Sigi.

Namun, kehadiran Belanda di Balumpewa mendapat penolakan keras dan pada akhirnya menyulut perang gerilya oleh masyarakat adat setempat.

Perang di Balumpewa dimulai pada 1911. Ini merupakan puncak dari upaya tentara Belanda masuk ke wilayah hutan Vayolipe. Kala itu tentara Belanda disebut dengan surudadu. Kemungkinan berasal dari kata serdadu.  

Masyarakat adat Kaili Inde Sa'a menolak tegas wilayahnya dimasuki pasukan kompeni. Bersama mereka menyusun strategi perang gerilya menggunakan alat-alat perang sederhana dari senjata yang masih sangat tradisional. Taktik itu selalu berhasil memukul mundur para surudadu.

Ketiga tokoh adat bersaudara tadi punya peran penting dalam keberhasilan ini. Pue Savirante banyak berperan dalam pembuatan alat tradisional seperti Sai'a atau jebakan bambu mematikan. Sai’a ini dibuat di area kemiringan bukit atau jurang.  

Strategi ini pun berhasil membuat Belanda selalu gagal mendirikan benteng pertahanan yang coba dibangun di sekitar Kayumarapa. Menjadikan Balumpewa sebagai wilayah paling sulit di tembus penjajah kerena medan pegunungan yang membentang luas.

Sementara Pue Rumau membatasi pergerakan Belanda di sekitar wilayah Ngata Papu, salah satu dusun yang berada di sebelah barat Desa Balumpewa saat ini. Di area ini, dipilih penggunaan sopu atau sumpit beracun secara diam-diam.

Keberhasilan perang gerilya ini turut didukung dengan ritual adat yang disebut kadupana, yang berisi beberapa rangakaian ritual. Pertama, memantau keadaan wilayah kampung dari ketinggian atau atas gunung.

Sebelum melakukan perang melawan surudadu masyarakat adat Inde Sa'a memantau keadaan dari atas gunung. Membaca tanda-tanda bahwa kedatangan surudadu akan naik ke wilayah adat Nompetiro Ngata.

Bila ada yang ketahuan naik ke gunung, maka dilakukan ritual perburuan kepala musuh yang disebut "Mangae". Perburuan kepala yang sukses membuat Belanda ketar-ketik. Sebab tanda ritual ini berhasil ketika kepala serdadu berhasil dipenggal.

"Di ritual mangae ini, setiap tentara KNIL (tentara Belanda, red) yang naik ke gunung, harus ada kepala orang Belanda yang dipenggal, sebagai bukti ritual ini berhasil dilakukan," ungkap Try.

Salah satu ritual adat yang dilakukan oleh warga Desa Balumpewa. (Foto: dokumentasi pribadi/Try Bagia)

Setelah ritual Mangae, dilanjutkan dengan prosesi "Nodupa" alias membakar dupa dari kulit langsat kering dan juga melakukan ritual "Mompakoni Viata Totu'a", memberikan sesajian kepada leluhur orang Inde Sa'a. Ini sebagai tanda penghormatan dan meminta perlindungan.

Try menyebutkan perang gerilya itu sukses didukung pengetahuan atas bentangan alam di wilayahnya. Butuh waktu berhari-hari bagi orang yang baru menempuh hutan Vayolipe. Sedangkan bagi orang Kaili Inde Sa'a hanya cukup beberapa jam saja. 

Rentang waktu yang cukup lama ini dimanfaatkan tokoh pejuang lokal untuk melakukan ritual Kadupana. Ritual ini masih terus dilakukan hingga pada tahun 1926 saat perang gerilya melawan kolonial Belanda. Nama Pue Mpuroko, dikenal sebagai tokoh pejuang tertua yang paling berperan dalam ritual Kadupana.

Dalam catatan penginjilan Bala Keselamatan, sebuah gereja dibangun di Desa Balumpewa pada Tahun 1926. Menurut Try tahun gereja dibangun sebagai upaya damai dan berhentinya perang.

Peran para perempuan

Menurut Try, dalam masa perang gerilya itu ada peran para perempuan. Jasa mereka yang membuat nama wilayah ini berubah menjadi Balumpewa.

Kata "Balumpewa", secara etimologi berasal dari dua suku kata yg disatukan. "Balu" dan "Mpeva". Balu berarti janda. Mpeva atau Mpe'eva berarti melawan. Jika digabungkan maka bermakna "Janda Melawan".

Menurut kisah para orang tua terdahulu di Desa Balumpewa, para perempuan dengan gagah berani ikut melawan penjajahan Belanda demi mempertahankan tanah leluhur.

Mereka mahir menggunakan tombak, sopu atau sumpit beracun, dan guma. Tidak kalah berani dari pejuang laki-laki pada masa itu.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
7
Jatuh cinta
4
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Menyaksikan tarian balia dan momen trans di Kumbasa
Menyaksikan tarian balia dan momen trans di Kumbasa
Tubuh perempuan itu gemetar hebat, matanya melotot, dan suaranya jadi berat. Satu momen yang saya…
TUTURA.ID - Festival Tangga Banggo beri apresiasi kepada para seniman dan budayawan
Festival Tangga Banggo beri apresiasi kepada para seniman dan budayawan
Forum Masyarakat Siranindi selaku penyelenggara Festival Tangga Banggo memberikan penghargaan kepada 10 seniman dan budayawan…
TUTURA.ID - Selintas cerita Poboya dan emas dalam Suku Kaili
Selintas cerita Poboya dan emas dalam Suku Kaili
Kawasan Poboya dulunya disebut Binangga Mpondo. Tempat migrasi To' Kaili Tara. Akibat silau emas, kini…
TUTURA.ID - Kilas balik sejarah pembangunan gereja di Palu
Kilas balik sejarah pembangunan gereja di Palu
Saat ini jumlah Gereja Kristen Protestan dan Katolik di Kota Palu mencapai 110 bangunan. Seperti…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng