Cikal bakal peringatan Hari Pengurangan Bencana Alam Internasional bermula pada 1989.
Majelis Umum PBB kala itu ingin mempromosikan budaya global kesadaran risiko dan pengurangan bencana. Sebab kesiapsiagaan pada akhirnya bisa membantu kita dalam mereduksi dampak bencana yang terjadi.
Lalu pada 2009, United Nations for Disaster Risk Reduction resmi menetapkan 13 Oktober sebagai Hari Pengurangan Bencana Alam Internasional.
Senapas dengan tujuan hari peringatan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2013 rutin mengadakan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (BPR).
Semua provinsi di Indonesia menghelat acara peringatannya. Tahun ini mengusung tema “Bersama Kita Tangguh”.
Bulan PRB bukan hanya sebagai pengingat agar kita senantiasa waspada, tapi sekaligus untuk meningkatkan kapasitas warga menghadapi bencana. Pun meningkatkan pola kerja efektif di tataran pemerintah dalam mitigasi bencana.
Ikhtiar dalam mendorong efektivitas kerja-kerja tersebut di Kota Palu terlihat dari penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana.
Penyusunan dokumen melibatkan berbagai organisasi perangkat daerah selain Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Mendorong terbentuknya Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) di banyak tempat juga merupakan wujud lain.
Kerja-kerja semacam itu sudah mulai dilakukan meski masih banyak kekurangan menyertai di lapangan. Contohnya pembangunan hunian tetap bagi penyintas bencana di area Tondo yang berdiri di atas wilayah dengan risiko banjir.
Peringatan Bulan PBR di Kota Palu tahun ini melibatkan 21 organisasi perangkat daerah dan Komunitas, antara lain BMKG, Damkar Kota Palu, Basarnas, Komunitas Historia Sulteng, Gerkatin, Nemu Buku, dan beberapa yang lain.
Kegiatan berlangsung 25-27 Oktober 2022 di Palu Grand Mall, Jalan Diponegoro, Palu Barat. Islamic Relief, organisasi Islam internasional yang memiliki perhatian pada permasalahan kemanusiaan, menjadi inisiatornya.
Beberapa instansi dan komunitas yang terlibat disediakan stan dan diberi ruang untuk ikut terlibat dalam keseluruhan agenda.
Dalam sesi diskusi hari pertama, Nurlela Lamasitudju ditemani para narasumber yang terdiri dari Iwan Lapasere sebagai ketua Forum Penanggulangan Risiko Bencana (PRB) Kota Palu, Abdullah sebagai dosen yang mengajar kebencanaan di Universitas Tadulako, dan Rizal Abdul Rauf selaku asisten 1 Kota Palu.
Nurlela yang juga Sekjend SKP HAM menyebut besarnya ongkos yang harus dikeluarkan imbas bencana. Lebih kurang Kota Palu mengalami kerugian mencapai Rp35 triliun. Sementara lebih dari dua ribu hektare tanah berpotensi tinggi kena likuefaksi.
Dalam pemaparannya, Rizal Abdul Rauf mengingatkan bahwa bencana alam yang terjadi di Kota Palu turut mengundang bencana yang lain, yakni bencana sosial dan bencana kepentingan. Penjarahan yang terjadi di banyak tempat merupakan contoh nyata bencana sosial.
Rizal juga juga menjelaskan tentang bencana kepentingan yang menghambat penyelesaian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal kedua dokumen tersebut sudah disusun sejak 2019. “Hingga sekarang tak kunjung selesai lantaran ada terus masukan-masukan baru,” tambah Rizal.
Menurut Rizal, RDTR dan RTRW yang merupakan bantuan teknis dibiayai oleh kementerian. Alhasil kontrak serta konsultannya ada di level kementerian. Jadi, dalam skala kota, pemerintah setempat sekadar menerima hasil.
Proses itu menurut Rizal sarat kepentingan. “Bahwa kebencanaan kita masih lebih kecil dari urusan investasi, mereka bisa dengan sangat cepat meng-cut proses masuk ke kementerian,” lanjut Rizal.
Tantangan dalam penyusunan kebijakan terkait mitigasi juga tak kalah pelik jika melongok kaplingan lahan di kota berjuluk “Mutiara di Khatulistiwa” ini.
Luas lahan Kota Palu yang terbentang sekitar 36 ribu hektare dikuasai oleh konsesi PT Citra Palu Minerals sebanyak 12 ribu hektare alias sekitar 33%. Peruntukan Ruang Terbuka Hijau sekitar 30%. Sementara Zona Lahan Bencana mengambil porsi sekitar 10%.
Rizal juga menjelaskan bahwa proses rehab rekon adalah kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah Kota Palu hanya mempersiapkan data dan mempersiapkan masyarakatnya terhadap kerja-kerja pemerintah pusat.
Terkait kebencanaan, menurut hemat Abdullah, warga dan pemerintah seharusnya menyiapkan mitigasi sejak jauh hari.
Beberapa aspek yang mesti dikaji secara terpisah dan terfokus adalah tindakan pengurangan risiko bencana. “Ada yang namanya pencegahan, mitigasi fisik, mitigasi nonfisik, dan kesiapsiagaan,” demikian Abdullah menguraikan.
Iwan sebagai ketua Forum PRB Kota Palu turut menjelaskan bahwa upaya penyadaran masyarakat cukup berat. Perlu ada kolaborasi semua pihak.
Kendala di lapangan yang kerap dihadapi adalah masyarakat belum memahami alur kerja pemerintah. Sebagai contoh, apa saja yang jadi tanggung jawab pemerintah kota yang mengurusi kebencanaan. Atau, kepada siapa masyarakat harus mengadu bila tidak kebagian huntap.
Perihal mitigasi yang dilakukan warga Kota Palu, Rizal menyebutnya sudah cukup tangguh menghadapi bencana. Ada tiga poin yang mendasari penilaian tersebut. Pertama terkait kapasitas warga, lalu regulasi, dan terakhir infrastruktur.
Menurut Rizal infrastruktur di Kota Palu yang dibangun pascabencana sudah cukup tangguh karena dikawal oleh pemerintah kota melalui tim ahli bangun gedung.
“Jadi sekarang gedung-gedung di Kota Palu ini, terutama yang bersifat umum dan bangunan yang tidak sederhana, itu melalui tim ahli bangunan gedung,” kata Rizal.
Rizal juga memaparkan ketentuan-ketentuan bila ingin membangun di area pantai. Pertama, lahan yang dibangun hanya 70 persen dari total lahan agar mempermudah proses evakuasi. Ketentuan kedua, tidak boleh hanya terdiri satu lantai dan penggunaan lantai dasar bukan untuk kegiatan, semisal parkir.
Selain diskusi terkait mitigasi tentang kebencanaan, peringatan Hari Pengurangan Bencana Alam Internasional juga berisi pameran foto kebencanaan, pemutaran film, dan simulasi kebencanaan.
bencana mitigasi tsunami likuefaksi BNPB Hari Pengurangan Bencana Alam Internasional