Kesenian acap dimaknai sebagai bagian dari kebudayaan manusia. Dengan berbagai bentuk dan fungsi, tradisional maupun kontemporer, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya penting menjadi bekal menjalani kehidupan bersama orang-orang di sekitar.
Termasuk jadi medium untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap bencana. Pun sebagai hiburan dalam menjalani kehidupan setelah bencana yang menimpa 2018 silam.
Hal demikian tergambar lewat hajatan bertajuk “Art Healing #2” yang berlangsung di Desa Lero, Kecamatan Sindue, Donggala, Sabtu (30/9/2023) malam.
Ide utamanya adalah mengekspresikan diri melalui seni sebagai upaya membantu memulihkan trauma. Mitigasi pascabencana.
Kegiatan ini secara kolektif dikerjakan oleh beberapa komunitas pemuda dan seni di Kecamatan Sindue dan sekitarnya. Ada Kelompok Sadar Wisata Desa Lero, Libu Seni Baraka SMA 1 Sindue, Komunitas Sanda Rara Toaya, Lingkar Seni Dalaka Ntovea Dalaka, dan Sanggar Seni Bulu Molanto Labuan.
Selain itu, terdapat juga komunitas pemuda dan seni dari wilayah Palu, seperti Karang Taruna Kelurahan dan Komunitas Karavata Kelurahan Pantoloan Boya.
"Kami memaknai Art Healing #2 sebagai proses penyembuhan. Kami pun mengusung dialog dan pementasan seni yang bertemakan kebencanaan," ujar Mohammad Ridwan selaku koordinator kegiatan usai acara berlangsung.
Dibuka dengan film
Riwayat lokasi pementasan juga bukan tanpa alasan. Bolo Bungga, dalam bahasa Indonesia yang berarti lubang kepiting, dulunya adalah sebuah kampung di pesisir Desa Lero yang hilang akibat lindu dan tsunami melanda lima tahun lalu.
Kini, daerah tersebut hanya dihuni oleh dua keluarga. Daerah ini sekarang menjadi kawasan wisata kuliner yang kadung populer yakni Rono Tapa, panganan laut khas Suku Kaili.
“Saat kami eksplorasi, dulunya ini permukiman warga yang sangat padat. Setelah gempa dan tsunami lima tahun lalu, daratan terkikis dan habis kampung ini," lanjut Ridwan.
Acaranya yang sekiranya dimulai pukul 19.00 WITA molor sekitar satu jam lebih karena beberapa alasan teknis.
Nonton bersama film dokumenter pendek “Timbul Tenggelam”, hasil produksi komunitas Sikola Pomore bekerja sama dengan Sinekoci, membuka jalannya acara. Filmnya berkisah tentang nasib penyintas banjir rob usai bencana tsunami 2018 di Desa Tompe.
Beberapa warga yang awalnya memilih berdiri di kejauhan perlahan bergerak maju mendekati layar dan menyaksikannya secara seksama.
Apalagi, tiap adegannya sarat akan pengetahuan dan punya kesamaan kultur dengan masyarakat Desa Lero. Film dokumenter pendek tersebut memang juga memperlihatkan tradisi masyarakat Suku Kaili dalam mewariskan cerita lampau melalui tutura.
Poin edukasi juga jadi hal yang patut diapresisasi pada acara ini. Lagipula, setelah pemutaran film tadi tak membuat masyarakat langsung beranjak dari titik mereka duduk lesehan.
Pentingnya sejarah dan literasi kebencanaan
Acara ini menghadirkan dialog bertajuk "Tesa nu katoyo Bolo Bungga" yang melibatkan budayawan Kecamatan Sindue dalam mendiskusikan hikayat bencana di Tanah Kaili dan mitigasi bencana berbasiskan budaya dan kearifan lokal.
Hal itu juga menjadi bukti bahwa banyak cerita lokal mengenai kebencanaan yang masih perlu untuk diceritakan kembali. Dialog yang mengangkat hikayat ini, ujar Ridwan, penting untuk dilakukan.
Menurut Ridwan kesadaran akan pentingnya sejarah dan literasi kebencanaan seharusnya menjadi amunisi pengetahuan. Jadi pembelajaran bahwa daerah kita acap dilanda bencana sehingga menuntut kita memiliki bekal menghadapinya suatu saat nanti.
Pertunjukan ini juga menyuguhkan beragam tampilan tari, puisi, musik, maupun gabungan ketiganya. Ada yang hadir dalam balutan nuansa tradisional maupun modern.
Acara kali ini ditutup dengan musikalisasi teatrikal. Pertunjukan ini mencoba merekam reaksi manusia terhadap bencana alam, sebagai bagian dari kehidupan kita dengan alam. Kepanikan, kehancuran, dan setelah itu selalu diikuti dengan mawas diri dan kewaspadaan.
Aksi teatrikal diiringi oleh penyair dari gabungan lembaga seni yang menginisisasi hajatan ini. Lakon dimulakan dengan kehidupan sebelum bencana terjadi. Digambarkan suasana yang harmonis. Masyarakat menjalankan kegiatan sehari-hari secara damai.
Tiba-tiba gempa datang, tak lama diikuti tsunami. Para penghuni penduduk panik dan berusaha menyelamatkan diri. Gempa dan tsunami mereda, menyisakan hening, bingung, duka dan korban.
Teatrikal ini terlihat mencoba mengambil dari yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan saat itu sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat yang mengalami bencana 2018 silam. Sarat dengan permintaan untuk terus dilindungi dari segala marabahaya kepada sang pencipta.
Penampilan itu usai. Tepuk tangan terdengar. Hangat dan bahagia. Meski dibuat secara sederhana, apresiasi tampak dari animo masyarakat sepanjang jalannya acara ini yang tak beranjak dari titiknya duduk lesehan.
Konsep kolektif yang diusung sejak awal mempersiapkan kegiatan ini diharapkan menjadi nilai dan kekuatan bersama, meski berasal dari wilayah dan komunitas yang berbeda-beda.
"Yang kami gaungkan adalah kerja gotong-royong sebagai kekuatan bersama masyarakat, khususnya kaitannya dalam kebencanaan," pungkas Ridwan yang juga bagian dari Sanggar Seni Bulu Molanto Labuan ini.