Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan sedang dihadapkan pada rintangan dalam bursa calon presiden. Ganjar kena sanksi dari PDI Perjuangan. Sedangkan Anies terbebani dengan usulan calon wakil presiden.
Ganjar Pranowo jadi buah bibir politik setelah menyatakan kesiapan untuk maju sebagai calon presiden, Selasa (18/10). Perkataan Ganjar disampaikan dalam program "Berita Satu Spesial" di BTV.
“Untuk bangsa dan negara ini, apa sih yang kita tidak siap,” kata Ganjar, menjawab pertanyaan ihwal kesiapannya menjadi capres.
Sepekan setelah pernyataannya, Ganjar malah kena sanksi dari PDI Perjuangan. Tokoh yang memuncaki berbagai survei calon presiden itu dipanggil menghadap pembesar partainya pada Senin (24/10).
Ganjar kena sanksi teguran lisan dari Dewan Kehormatan PDI Perjuangan. Adapun pemanggilan itu, berdasarkan pengakuan Ganjar, merupakan yang ketiga kalinya.
Ganjar dianggap tak tertib. Komunikasi politiknya dinilai kelewatan dan mengangkangi kesepakatan internal PDI Perjuangan ihwal penentuan kandidat presiden yang jadi kewenangan ketua umum.
"Di sini ditegaskan tentang komunikasi politik. Surat ini sangat jelas, tidak bisa ditafsirkan berbeda sehingga Pak Ganjar dinilai melanggar instruksi nomor 4503/internal/DPP/X/2022,” kata Hasto Kristianto, Sekjen PDI Perjuangan, di Kantor PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (24/10).
Teguran lisan pada Ganjar bukan satu-satunya sanksi yang dijatuhkan PDI Perjuangan. Ketua DPC PDI Perjuangan Solo, FX Hady Rudyatmo juga dipanggil pada Rabu (26/10). FX Rudy kena sanksi lantaran secara terbuka menyatakan dukungan kepada Ganjar untuk maju dalam pemilihan presiden.
Sebelumnya, betapa pun mungkin dilakukan atas nama kepatutan, PDI Perjuangan telah menjatuhkan sanksi peringatan kepada Dewan Kolonel, satu kelompok elite Partai Banteng yang mendukung Puan Maharani sebagai capres dari PDI Perjuangan.
Adapun Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, sudah berulang kali mengingatkan para kader agar tetap solid dalam komandonya. Pesan paling kuat disampaikan Mega pada Juni lalu dalam momen Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan.
“Siapa yang berbuat manuver keluar! Karena tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,” ucap Mega.
Di sisi lain, proses politik yang terjadi di PDI Perjuangan menunjukkan betapa tertutupnya partai-partai politik di Indonesia dalam mengambil kebijakan strategis. Pandangan itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya.
“Kita baru berhenti pada one man one vote, tetapi proses pengambilan keputusannya sendiri, termasuk hal-hal yang sifatnya strategis ternyata masih jauh dari apa yang didefinisikan sebagai proses demokratis,” kata Yunarto sebagaimana dilansir harian Kompas (26/10).
Timbang pilih cawapres untuk Anies
Anies Baswedan boleh saja "curi start" dalam lintasan Pilpres 2024. Namanya sudah tercetuskan sebagai capres Partai NasDem. Hingga awal Oktober, Partai NasDem juga terlihat mesra merajut koalisi dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, masalah muncul belakangan, ketiga partai tarik ulur soal calon wakil presiden.
Pekan lalu (18/10), Anies angkat bicara soal tiga syarat calon wakil presiden. Mantan gubernur DKI Jakarta itu memang dapat mandat dari Partai NasDem untuk memilih pendamping. Tiga syarat cawapres dari Anies: berkontribusi dalam proses pemenangan, memperkuat koalisi, dan membantu pemerintahan yang efektif.
Kriteria Anies sepintas mungkin bisa dipenuhi. Poin yang jadi problem ialah aspek memperkuat koalisi. Masalahnya, Partai Demokrat dan PKS sudah punya jagoan masing-masing untuk mendampingi Anies. Ada potensi keretakan koalisi bila salah satu dari kedua partai tak diakomodir.
Partai Demokrat sedari awal mengusulkan ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon presiden atau wakil presiden. Sedangkan PKS menjagokan Ahmad "Aher" Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat, guna mendampingi Anies.
Menyikapi situasi tarik-menarik tersebut, Partai NasDem ambil jalan memutar. Partai Restorasi itu mulai gembar-gembor soal cawapres nonpartai. Ada dua tokoh nonpartai yang konon sedang menguat: Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Panglima TNI, Andika Perkasa.
Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali berulang kali membicarakan perkara cawapres nonpartai di media massa. “Kalau salah satu elite partai minta cawapresnya diambil dari partainya, terus kalau dua partai gimana? Akibatnya yang terjadi adalah transaksional kan,” ujar politisi asal Sulawesi Tengah itu. Partai NasDem, kata Ali, menyerahkan kepada Anies untuk memilih cawapres nonpartai.
Pernyataan lebih keras dan menggambarkan alotnya komunikasi di antara ketiga partai datang pula dari Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, “NasDem tidak mau desak-desak itu. Atur saja. Mau koalisi boleh. Enggak koalisi juga tidak apa-apa,” kata Paloh.