Kiprah perempuan politisi sebagai pimpinan parlemen di Sulteng
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 8 Maret 2023 - 09:53
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Kiprah perempuan politisi sebagai pimpinan parlemen di Sulteng
Empat perempuan politisi jabat ketua DPRD di Sulteng: Srikandi Batalipu (DPRD Buol), Nilam Sari Lawira (DPRD Sulteng), Megawati Ambo Asa (DPRD Morowali Utara), Sesi Kristina Dharmawati Mapeda (DPRD Poso) | Foto: facebook Srikandi, dprd.sultengprov.go.id, instagram @megawatiamboasa, instagram @sm_sesimapeda

Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” kata Nyai Ontosoroh dalam roman berjudul Bumi Manusia (1975) karya Pramoedya Ananta Toer.

Pram—sebutan akrab penulis novel legendaris asal Indonesia itu—kerap menjadikan perempuan sebagai karakter dalam karya monumentalnya. Bahkan, tidak jarang kisah perjuangan perempuan turut mewarnai sejumlah karya romansanya.

Bila ditelisik pada masa itu, kaum perempuan kadangkala diposisikan sebagai "warga kelas dua" dalam tatanan sosial masyarakat.

Memang ada yang sedikit beruntung, apabila perempuan itu merupakan istri atau bagian dari keluarga ningrat (bangsawan) dan golongan pejabat. Istilah bekennya “punya privilege” alias hak istimewa.

Meski kaum perempuan ditundukkan oleh konstruksi patriarki, namun sejatinya pernah muncul sejumlah perempuan yang mendobrak dominasi laki-laki.

Sebut saja Christina Martha Tiahahu, perempuan pejuang asal Maluku atau Raden Ajeng Kartini, penggerak emansipasi perempuan pada awal abad ke-18.

Tak hanya itu, hak agar mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki juga pernah dilakukan oleh kaum perempuan yang tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia.

Peristiwa tersebut terjadi sekitar delapan tahun menjelang kemerdekaan Republik Indonesia dari pemerintah kolonial.

Gerakan perempuan ini mendesak agar pemerintah Hindia Belanda menghapus hak pasif berpolitik bagi perempuan.

Permintaan itu dikabulkan dengan menempatkan empat orang perempuan sebagai anggota Gemeente Raad atau dewan kota, semacam dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) sekarang.

Tokoh-tokoh perempuan itu, antara lain Emma Poediredja, Siti Sukaptinah, Sri Oemiati, dan Sri Sundari Sudirman. Semua berasal dari organisasi perempuan dan pemuda bentukan orang-orang Indonesia.

Setelah kemerdekaan, sejumlah tokoh perempuan kembali bermunculan, bahkan menjabat posisi strategis dipemerintahan.

Pembatasan, termasuk penghapusan gerakan perempuan, kemudian terjadi kala rezim pemerintah Orde Baru (Orba) berkuasa.

Rezim Orba berdalih bahwa gerakan perempuan perlu penyeragaman dari beragam aspek.

Hal itu lalu diperjelas lewat hadirnya organisasi Dharma Wanita, sebuah institusi paguyuban bagi istri-istri pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 1999.

Dharma Wanita punya lima pedoman dengan posisi perempuan sebagai pendamping suami, penerus keturunan bangsa, pendidik atau pembimbing anak, pencari nafkah tambahan, dan warga negara atau anggota masyarakat.

Praktik itu tentu bikin beban berlapis bagi kaum perempuan. Pada satu sisi berperan sebagai pencipta keluarga sejahtera, sedangkan di sisi lain menuntut keikutsertaan perempuan dalam pembangunan bangsa.

Meski rezim Orba telah jatuh oleh aksi rakyat secara masif selama tiga tahun (1995-1998) di bawah bendera reformasi, namun tak serta merta kesempatan luas bagi kaum perempuan, termasuk hak untuk berpolitik, ikut terbuka lebar.

Secercah harapan muncul bagi kaum perempuan dalam bidang politik tatkala Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.

Partai berlambang banteng hitam bermoncong putih ini turut menghantar Megawati sebagai wakil presiden. Lalu menjadi presiden perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Dalam rangka memperingati International Women's Day (Hari Perempuan Internasional), bagaimana dengan kesempatan bagi perempuan di Sulteng untuk berkiprah didunia politik?

Dalam pemantauan Tutura.Id, setidaknya sejak pemilihan umum (Pemilu) secara langsung dimulai, sejumlah perempuan politisi pernah unjuk gigi menjadi eksekutif maupun legislatif.

Sebut saja Vera Elena Laruni, wakil bupati Donggala periode 2013-2018, yang kini bergabung di Partai Perindo; atau Paulina (alm), politisi Partai Gerindra yang pernah menjabat wakil bupati Sigi periode 2016-2021.

Kemudian ada Reny Lamadjido, mantan kepala dinas kesehatan yang menjabat sebagai wakil wali kota Palu. Lalu ada Verna Inkiriwang, politisi Partai Demokrat, yang menjadi bupati Poso hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada tahun 2020.

Sementara dalam lembaga legislatif (DPRD), hingga tahun 2023, terdapat 76 perempuan politisi lintas partai dari 420 calon anggota DPRD terpilih hasil Pemilu legislatif tahun 2019.

Meski bidang politik masih didominasi oleh politisi dari kalangan laki-laki, namun lima orang diantara 76 perempuan politisi itu mendapat kepercayaan menjadi ketua DPRD.

Tutura.Id berkesempatan mewawancarai empat orang pimpinan parlemen di daerah, antara lain Nilam Sari Lawira (DPRD Sulteng), Srikandi Batalipu (DPRD Buol), Sesi Kristina Dharmawati Mapeda (DPRD Poso), dan Megawati Ambo Asa (DPRD Morowali Utara).

Sedangkan Mahdiani Bukamo (DPRD Banggai Laut), hingga artikel ini terbit tak kunjung memberikan komentar.

Nilam Sari Lawira (tengah) saat rapat bersama DPRD Prov. Sulteng (Sumber: Humas DPRD Prov. Sulteng)

Kepercayaan publik kepada perempuan politisi masih tinggi

Nilam Sari Lawira, ketua DPRD Sulteng pertama yang berasal dari kalangan perempuan, menyebut bahwa kesempatan bagi kalangan perempuan untuk berkiprah di ranah politik sebagai legislator sangat terbuka lebar lewat UU 7/2017 tentang Pemilu.

Menurut Nilam, meski ada alokasi 30 persen bagi perempuan untuk berpolitik, tetapi faktanya jumlah keterwakilan perempuan di parlemen belum setara dibanding laki-laki politisi.

“Tantangannya, partai politik (parpol) sulit mencalonkan perempuan politisi yang mumpuni. Untuk menjawab tantangan itu, maka perempuan wajib mempersiapkan diri, meningkatkan kapasitas maupun kapabilitas.” ujar ketua DPW NasDem Sulteng ini dalam keterangan tertulisnya (6/3/2023).

Pandangan Nilam ihwal kesetaraan berpolitik agaknya beralasan. Dari 45 orang anggota DPRD Sulteng, perempuan politisi hanya berjumlah 13 orang, kurang dari setengah komposisi anggota.

Tetapi, angka ini bertambah bila melihat hasil Pemilu 2014 yang menghantarkan 7 orang perempuan politisi di parlemen yang beralamat di jalan Sam Ratulangi, Palu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Srikandi Batalipu, ketua DPRD Buol. Ia menyebut komposisi parlemen yang dipimpinnya belumlah sebanding dengan politisi dari kalangan laki-laki.

“Perempuan politisi di DPRD Buol itu jumlahnya 4 orang dari 25 anggota. Meski begitu, sebenarnya antusiasme perempuan untuk berpolitik tetap tinggi lewat pemilihan kepala desa. Terbukti, ada sejumlah perempuan yang terpilih sebagai kepala desa,” katanya kepada Tutura.Id (3/3/2023).

Komposisi anggota di gedung parlemen yang berlokasi di Jalan Batalipu Leok II, Buol, memang terjadi penurunan dibanding hasil Pemilu 2014.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buol tahun 2015, perempuan politisi yang berhasil menduduki kursi DPRD Buol hanya berjumlah 7 orang.

Antusiasme kaum perempuan untuk berpolitik juga terjadi di kabupaten Poso dan Morowali Utara.

Hal ini diungkapkan oleh Sesi Kristina Dharmawati Mapeda dan Megawati Ambo Asa. Dua politisi ini, termasuk Srikandi Batalipu, lahir dari rahim partai yang sama, yakni Partai Golongan Karya (Golkar).

Sesi Mapeda menyebut ruang gerak perempuan politisi di Kabupaten Poso sedikit berbeda dengan daerah lain.

Perempuan politisi di Poso justru mendapat kepercayaan masyarakat pada dua institusi berbeda, yakni eksekutif maupun legislatif.

“Hasil Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, rakyat mempercayakan tampuk ketua DPRD dan Bupati Poso kepada kaum perempuan. Bukti bahwa perempuan itu berdaya dan tangguh,” ujar wakil ketua DPD Golkar Poso lewat sambungan telepon kepada Tutura.Id (7/3/2023).

Uniknya selama dua periode berturut-turut (2014-2024), parlemen yang berkedudukan di Jalan Pulau Buru, Poso, dijabat oleh dua perempuan politisi.

Pada periode 2014-2019, jabatan ketua DPRD Poso dipegang oleh Elen Ester Pelealu, yang kini menjadi anggota DPRD Sulteng.

Megawati Ambo Asa, ketua DPRD Morowali Utara, tak ingin kalah dengan daerah lain. Ia bilang kalau komposisi perempuan dalam parleman yang dipimpinnya boleh dibilang sudah mencapai 30 persen.

“Dari 25 kursi anggota DPRD di Morowali Utara, 7 kursi itu diduduki oleh perempuan. Ini setara 28 persen. Ini gambaran kalau masyarakat di Morowali Utara punya kepercayaan tinggi kepada kami (baca: perempuan politisi),” kata Megawati kala dihubungi Tutura.Id (6/3/2023).

Bila merujuk data BPS Kabupaten Morowali Utara tahun 2023, setidaknya ada tiga parpol di Morowali Utara yang memiliki komposisi seimbang dari laki-laki maupun perempuan.

Salah satunya Partai Golkar. Dari tujuh anggota DPRD partai berlambang pohon beringin itu, tiga orang di antaranya merupakan perempuan.

Jika melihat durasi jabatan selama empat tahun yang dipegang oleh keempat perempuan politisi ini, tersirat bahwa kaum perempuan mampu menyelesaikan dinamika yang acapkali terjadi di ruang parlemen, fraksi hingga internal parpol.

Srikandi Batalipu, Ketua DPRD Buol (Sumber: instagram.com/srikandibatalipu)

Kebijakan properempuan dan anak

Keberadaan perempuan politisi di DPRD sejatinya membawa angin segar bagi perlindungan perempuan dan anak, dua kelompok masyarakat yang acapkali jadi sasaran kekerasan maupaun pelecehan seksual.

DPRD punya tugas mengalokasikan anggaran dan menetapkan peraturan daerah (perda) bersama kepala daerah.

Fungsi itu diharapkan bisa menghasilkan berbagai peraturan untuk mencegah perilaku eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Apalagi bila jabatan ketua DPRD dipegang oleh perempuan.

Nilam menambahkan bahwa Sulteng punya dua kebijakan yang pro perempuan dan anak.

Pertama, Peraturan Daerah (perda) Nomor 3 tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Lalu Perda Nomor 14 tahun 2019 tentang Ketahanan Keluarga.

Dalam dinamika di parlemen ketika pembahasan anggaran, ia selalu mendorong agar ada porsi anggaran yang sesuai, termasuk urusan pemberdayaan perempuan dan anak, pendidikan, kesehatan, dan sosial.

“Apalagi masalah kekerasan perempuan dan anak, harus diselesaikan lewat program terpadu multi stakeholder di Sulteng. Semua harus berkolaborasi untuk pencegahan dan penanganannya,” jelas Nilam.

Kebijakan properempuan dan anak bahkan lebih awal terbit di Kabupaten Poso lewat Perda 6 tahun 2008 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan.

Menurut Sesi Mapeda, upaya perlindungan perempuan dan anak tidak sekadar dilihat dari kebijakan melainkan aksi nyata.

“Meski terjadi sejumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Poso, tetapi kami bersama pemerintah selalu berupaya menggunakan kewenangan yang kami miliki agar kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa diminimalisir,” kata Sesi.

Realisasi program properempuan dan anak telah berulang kali terjadi di Poso. Pada tahun 2021 misalnya, dua organisasi nonpemerintah (Ornop), yakni Save the Children dan Yayasan Panorama Alam Lestari menggandeng pemerintah daerah setempat demi mewujudkan Poso menjadi kabupaten layak anak.

Pun dengan perempuan, Sesi sempat lempar pernyataan akan membersamai pemerintah untuk anggaran yang responsif gender.

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Buol. Selain Sulteng dan Kabupaten Poso yang punya kebijakan perlindungan perempuan dan anak, Kabupaten Buol juga hadir lewat Perda Nomor 7 tahun 2018.

Iin Batalipu menyebut kasus kekerasan dan pelecehan yang kerap menimpa generasi muda di Buol mendapat perhatian serius darinya.

Dirinya bahkan mendesak Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) agar melakukan pendekatan persuasif guna memutus rantai kekerasan maupun pelecehan.

Selain itu, Iin—sapaan akrab ketua DPRD Buol itu—menyebut laki-laki maupun perempuan yang jadi wakil rakyat di Buol punya kepedulian yang sama bila membahas perlindungan perempuan dan anak.

“Tetapi tingkat kepekaan perempuan politisi terkait urusan perempuan dan anak lebih tinggi dibanding wakil rakyat dari kalangan laki-laki. Mungkin karena jiwa keibuan itu selalu melekat bahkan dalam membuat keputusan,” pungkas Iin.  

Tidak seperti daerah lain, Megawati menyebut di Morowali Utara sama sekali belum ada regulasi yang spesifik terkait perlindungan perempuan. Hanya ada regulasi bagi kelompok anak.

Perda 2/2021 itu bicara tentang kabupaten layak anak. Dua tahun terakhir karena adanya refocusing anggaran, sehingga beberapa perda inisiatif, seperti perlindungan perempuan belum dimasukkan. Tetapi, telah ada dialog terkait perda tentang perlindungan perempuan dan lainnya yang akan kami akomodir pada tahun berikutnya,“ jelas Megawati.

Ia menambahkan bahwa meski kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terbilang kecil di Morowali Utara, tetapi lewat wewenang yang dimilikinya, ia tetap akan mendorong kebijakan maupun penganggaran proporsional bagi perempuan dan anak.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Pilah-pilih nama Gedung Kesenian Kota Palu
Pilah-pilih nama Gedung Kesenian Kota Palu
Gedung Kesenian Palu sedang dalam proses pembangunan. Bagaimana jika namanya merujuk pada satu sosok, laiknya…
TUTURA.ID - Denda Rp5 juta bagi pelaku usaha yang tidak menyediakan lahan parkir
Denda Rp5 juta bagi pelaku usaha yang tidak menyediakan lahan parkir
Perda Kota Palu No. 6/2023 menyisipkan pasal yang mewajibkan setiap pelaku usaha menyediakan lahan parkir.…
TUTURA.ID - Harapan-harapan penyandang disabilitas Kota Palu untuk Pemilu 2024
Harapan-harapan penyandang disabilitas Kota Palu untuk Pemilu 2024
Sejumlah harapan  penyandang disabilitas di Kota Palu untuk pelaksanaan Pemilu 2024. Setali tiga uang dengan…
TUTURA.ID - Biskuit blondo yang berasal dari tai minyak bermanfaat untuk mencegah stunting
Biskuit blondo yang berasal dari tai minyak bermanfaat untuk mencegah stunting
Tai minyak bukan sembarang ampas. Kini, ampas dari pembuatan minyak kelapa murni dimanfatkan sebagai biskuit…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng