Festival Media (Fesmed) 2023 di Palu memang telah usai. Lantaran mengusung tema besar tentang perubahan iklim dan energi baru terbarukan, penyelenggaraan Fesmed kedua ini ketambahan nama Hijau di belakangnya. Jadilah namanya Fesmed Hijau.
Di balik kemeriahan maupun apresiasi dari pelbagai pihak, acara yang diselenggarakan oleh Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Sulteng, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng itu memantik pula catatan kritis dari kalangan organisasi pegiat lingkungan di Sulteng.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, misalnya, menyoroti kehadiran beberapa korporasi tambang raksasa yang jadi penyokong acara.
Kepala Departemen Kampanye dan Advokasi WALHI Sulteng Aulia Hakim menilai, keterlibatan PT Donggi Senoro LNG (DSLNG), PT Citra Palu Minerals (CPM), dan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sebagai sponsor berseberangan dengan konsep hijau yang diusung.
“Kita menilai itu agak janggal karena yang jadi ikon kegiatannya ialah para perusahaan perusak lingkungan. Aneh juga bicara energi bersih, tapi dari kilang DSLNG. Padahal gas bukan Energi Baru Terbarukan (EBT),” kata Aulia kala ditemui Tutura.Id di kantor WALHI Sulteng, Selasa (12/12/2023).
Perlu diketahui, ada beragam item kegiatan di dalam Fesmed edisi kedua itu. Salah dua yang disorot WALHI ialah sesi dialog dengan topik “Energi Bersih dari Kilang LNG” dan “Potensi EBT di Sulteng”. Dua tajuk ini diulas terpisah, pada hari pertama dan kedua.
Adapun energi bersih maupun EBT punya definisi yang saling beririsan sebab adanya unsur energi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Dua poin ini merujuk sumber daya alam berupa air, angin, matahari, gelombang laut, dan biomassa.
Sebelumnya, perwakilan PT DSLNG mengeklaim pihaknya dalam pengoperasian menghasilkan gas buang dengan kadar 40-50 persen lebih rendah dibanding pemakaian energi fosil seperti bahan bakar minyak maupun batubara.
Manajer Komunikasi PT DSLNG Adhika Paramandana bahkan menyebut turut melestarikan lingkungan, salah satunya dengan mempertahkan area hijau di sekitar kilang.
Namun, Aulia mengatakan kesimpulan utusan Donggi Senoro itu tak sesuai fakta lapangan. Menurutnya, bila bicara soal energi bersih dan upaya menjaga lingkungan, semestinya diikuti praktik bersih secara holistik, tak sekadar pada energi saja.
Sedikitnya ada tiga fakta yang tak diungkapkan oleh pihak Donggi Senoro, yakni gas buang macam belerang yang tak baik untuk pernafasan, konflik agraria dengan warga, dan perubahan kondisi populasi burung maleo, satwa endemik yang dianggap sebagai amanat leluhur orang Batui.
Menurut Aulia, setiap hari masyarakat di sana, khususnya warga Kecamatan Batui, menghirup oksigen bercampur belerang dioksida yang beraroma busuk nan menyengat akibat eksplorasi.
Kemudian, hingga kini ada beberapa warga Desa Uso yang masih berkonflik dengan Donggi Senoro atas penguasaan tanah, padahal status tanah sudah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM). Belum lagi perluasan jalan lingkar dari 12 kilometer menjadi 24 kilometer.
Tak berhenti sampai di situ, sejak kehadiran industri migas tersebut di Luwuk, populasi burung maleo turut terimbas. Satwa endemik Pulau Sulawesi ini hidup di dalam kandang alih-alih dilepasliarkan oleh perusahaan.
Selama hidup di dalam kandang, burung dengan nama ilmiah Macrocephalon maleo ini hanya mendapat asupan makanan berupa konsentrat dari biji kemiri. Perubahan juga terjadi pada bagian kaki burung yang melengkung lantaran terbiasa menapak karena merasa panas bumi.
“Ini ibarat memprivatisasi sekaligus mengangkangi kepercayaan lokal orang Batui yang telah hidup turun temurun,” ujar Aulia.
Masyarakat paham isu krisis iklim
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng menilai dukungan korporasi tambang mineral macam PT CPM dan PT IMIP justru bersimpang dengan isu lingkungan yang diangkat.
“Perusahaan milik Grup Bakrie berencana melakukan proyek blasting (peledakan) di area konsesi. Ini jelas akan merusak ekosistem, terutama kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura),” terang Koordinator Jatam Sulteng Muhammad Taufik kepada Tutura.Id, Selasa (12/12).
Dalam industri pertambangan, proyek peledakan sebenarnya lazim belaka. Langkah ini dilakukan untuk memudahkan para pekerja mengambil bahan galian dalam volume lebih besar.
Pun demikian, Taufik menduga partisipasi kongsi dagang pertambangan dalam kegiatan yang digagas oleh para wartawan ini karena ingin mempromosikan upaya mereka mengatasi krisis iklim. Meskipun fakta berbicara sebaliknya.
Adanya pewartaan terkait minimnya literasi masyarakat soal krisis iklim juga menuai sorotan Taufik. Menurutnya, masyarakat paham tentang krisis iklim, bahkan di daerah perdesaan sekalipun punya praktik mencegah krisis iklim.
“Warga terutama di daerah yang punya kawasan hutan dan pegunungan, mengambil getah damar dengan hanya mengambil pohon damar saja, berbeda dengan perusahaan yang levelnya sudah eksploitasi. Jadi, minimnya literasi krisis iklim itu tidak benar adanya,” tutur Taufik.
Bukti lainnya, beberapa desa di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, telah berpraktik menuju transisi energi demi mencegah krisis iklim akibat pemakaian energi fosil lewat cara swadaya. Mereka bikin Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) untuk penerangan yang tak tersentuh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menurut Taufik, transisi menuju EBT sebenarnya terhalang akibat kebijakan negara dan masifnya industri yang memakai energi batu bara di Sulteng. Sebut saja Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di kawasan IMIP.
“Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, bakal ada 59% potensi EBT yang dikembangkan. Tetapi, negara mengecualikan pembangunan PLTU di area perusahaan. Menurut kami, EBT ala pemerintah dan perusahaan masih jauh dari harapan. Itu belum termasuk emisi yang terpapar kepada pekerja dan lingkungan sekitar,” jelasnya.
Sekadar informasi, dalam RUPTL 2021-2030, Sulteng baru punya tiga sumber utama pembangkit listrik, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan PLTU.
Masih ada lagi potensi 36 PLTM, 13 PLTA, tiga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dan satu Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
Hanya saja, Taufik menyarankan potensi ini sebaiknya diberikan keleluasaan untuk dikelola secara mandiri oleh masyarakat, tak lagi diprivatisasi oleh salah satu konglomerat atau kongsi dagang manapun.
Sedangkan Aulia berharap agar perusahaan tak lagi merusak wilayah adat sebagaimana praktik pembuangan pasir reklamasi Danau Poso di area Kompondongi, salah satu tanah adat berbasis di Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso.
festival media energi lingkungan perubahan iklim korporasi perusahaan tambang walhi jatam sulteng jurnalis