Dadendate yang makin tergerus zaman
Penulis: Nasrullah | Publikasi: 28 Oktober 2022 - 18:39
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Dadendate yang makin tergerus zaman
Usman Lajanja (kanan) bersama Ali Musso dan Simalia (Sumber: youtube.com/user/istov)

Tabea domasala doralava ngakuyana

(Permisi dan mohon maaf mudah-mudahan tiada halangan)

Nte kita ku onggotaka ku pamulamo buka suara

(Penghargaan saya mulai dengan membuka mulut dan bersuara)

Ane maria bara masala jamo kamiu mompambela parlupa ratotoaka

(Kalau ada yang salah mohon kalian yang memberitahukan letak kesalahannya)

Mbatotoaka ngana ane rai rasalaraka tantu kita poro nasala

(Kalau tidak diajarkan tentu kita semua yang salah)

***

Demikian potongan syair yang dalam tradisi dan ekspresi lisan masyarakat Kaili (dialek Rai) disebutkan sebagai dadendate.

Dade itu nyanyian, ndate itu panjang,” ungkap Usman Lajanja kepada Tutura.Id (25/10/2022). Asap rokok tak henti menyembul dari mulutnya. Kami menemui maestro yang telah berusia 65 ini di rumahnya yang berlokasi di Desa Taripa, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Jaraknya sekitar 45 kilometer dari Kota Palu.

Deretan syair dalam dadendate ditembangkan secara spontan, puitis, tanpa teks ataupun naskah. Improvisasi syair dari pelantunnya jadi kunci. Semua tergantung acara dan kegiatannya. Temanya bisa apa saja, mulai dari sejarah, romantisme muda-mudi, silsilah, perjuangan, dan lain-lain.

“Makanya yang pertama kami tanyakan kalau diundang itu mau pake dadendate untuk acara apa? Supaya kami bikin lirik sesuai dengan acaranya. Biasanya ada dua penyanyi. Satu jadi penanya dan satu lagi yang menjawab. Bisa juga lebih. Waktu kami tampil di Jakarta yang menyanyi empat orang; dua perempuan dan dua laki-laki,” cerita Usman sambil memperbaiki posisi duduknya.

Lantunan syair dadendate biasanya menyisipkan pesan-pesan bermanfaat bagi sesama, ajakan berbuat kebaikan, persatuan, menyampaikan berita/informasi, atau cerita babakan sejarah secara runut. Dari awal hingga akhir. Durasi pertunjukannya berbilang hitungan menit bahkan berlangsung semalam suntuk.

Kesulitan kesenian ini tidak hanya sampai di situ, pasalnya lirik dari nyanyian ini harus dilantunkan secara berima. Semacam freestyle rap. “Kalau liriknya diakhiri dengan A, harus A terus sampai beberapa bait. Kalau akhirannya campur-campur ada A, I, U, E, atau O, tedipake di dadendate. Itu yang susah dan bikin anak-anak bingung,” tambah Usman.

Pun demikian, bukan berarti tiada ikhtiar menularkan keahliannya ini kepada generasi muda. Sambil menatap plafon rumahnya, Usman mengenangkan peristiwa saat memberikan pengajaran dadendate kepada mahasiswa selama empat hari di Hotel Santika.

“Saya sudah lupa tahun berapa itu. Kami diundang mengajar mahasiswa sebanyak 30 orang dalam tiga kelompok selama empat hari. Saya bilang sejak awal sudah paten biar satu orang teada yang pintar. Sedangkan anak di desaku biar satu bulan belajar belum tentu bisa mahir main dadendate. Padahal mereka itu sudah berlatih setiap malam,” terang Usman yang dalam kelompok kesenian ini memainkan alat musik mbasi-mbasi, sejenis alat tiup yang terbuat dari bambu dan rotan dengan panjang 20 sentimeter.

Sebelum mencapai bentuknya yang sekarang, ada beberapa kesenian yang dianggap cikal bakal lahirnya dadendate, yaitu kimba’a, dulua, bola-bola, rampamole, dan ei-ei.

Kimbaa masih berupa doa/syair ritual orang tua dulu yang bentuknya uraian dan masih bersifat individual. Sementara dulua sudah berbentuk lagu/nyanyian semisal “Nopalongga” (nyanyian oleh ibu untuk menidurkan anaknya). Dua bentuk awal dadendate itu masih berbentuk musik vokal semata.

Penggunaan kecapi baru diperkenalkan saat kesenian ini berubah menjadi bola-bola. Fase ini juga menandai perubahan lirikal yang tak lagi berupa syair ritual, tetapi sudah profan. Pun demikian, mulai dari kamba’a, dulua, dan bola-bola masih menggunakan Bahasa Kori—induk Bahasa Kaili Rai dan Bare’e—sebagai pengantarnya.

Penggunaan Bahasa Kaili dialek Rai diperkenalkan saat kesenian ini berubah lagi menjadi rampamole yang menggunakan kecapi bersamaan dengan nyanyian berdurasi pendek. Tidak terlalu lama dalam fase ini berubah lagi menjadi ei-ei yang ciri utamanya menjadi lebih panjang. Sekitar 1952-1953, ei-ei bertransformasi menjadi dadendate yang kita dengar sekarang.

Sejauh penelisikan Muhammad Jaruki, peneliti sastra lisan dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kesenian rakyat ini sudah tumbuh subur di tengah masyarakat Desa Taripa sejak tahun 1714 atau awal abad ke-18.

Mulanya dadendate hanya berupa alat yang berbentuk perahu kecil, tanpa alunan lagu, dan berfungsi sebagai pelampiasan rindu seseorang. Dalam perkembangannya, lantunan syair dadendate kemudian digenapkan oleh iringan alat musik tradisional, seperti kecapi, gimba kodi, mbasi-mbasi, yori, dan pare’e.

Para seniman dadendate biasanya dihadirkan saat acara adat, pesta panen, syukuran, kenduri perkawinan, sunatan, dan hari-hari besar lainnya. Jumlah personelnya minimal tiga orang dan maksimalnya tidak terbatas. Jika dimainkan tiga orang, maka dua orang menjadi pelantun syair-syair, dan salah seorang di antaranya sambil bermain kecapi, sedangkan satu orang lagi meniup mbasi-mbasi.

Ibarat pepatah dari mata jatuh ke hati, demikian pula ihwal ketertarikan Usman menekuni seni dadendate. Lantaran sering menonton dadendate di kampungnya, ayah empat orang anak ini akhirnya terpikat untuk mendalami. Mulailah ia belajar secara autodidak dengan cara memperhatikan para pemain. “Sebenarnya ada guruku, tapi tidak pernah dia ajar saya. Akhirnya saya cuma menonton dan memperhatikan. Akhirnya bisa sudah saya,” katanya. 

Bersama para sesepuh lainnya yang terdiri dari Ibu Yasamomi, Ibu Indoami, Lagompuyu, Musugero, dan Latarompo, Usman membawa kesenian dari Taripa ini ke luar daerah Sulawesi kala itu. Namun kini hanya tersisa Usman Lajanja sebab kelima kawannya yang lain sudah tutup usia.

“Kami pernah ke Jakarta tahun 1999. Sekitar satu bulan di sana. Saya lupa dalam rangka apa waktu itu. Yang jelas tiap provinsi menampilkan kebudayaan masing-masing. Dadendate ini sudah mewakili Sulawesi Tengah," kenang Usman. 

Kedatangan Usman dkk. membawa dadendate sebagai wakil Sulteng dalam Festival Tradisi Lisan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Mereka berhasil menyabet juara kedua dalam festival tersebut. Dua tahun berselang rombongan ini membawa pulang gelar serupa dalam Festival Tradisi Lisan di Lampung.

Seperti derap waktu yang memangsa usia manusia, kesenian tradisional satu per satu juga berguguran. Menyisakan cerita belaka tanpa ada generasi baru yang melestarikannya.

Nahas serupa juga mengancam eksistensi dadendate yang tercatat sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada 2015 di Kemdikbud.

Generasi kekinian lebih banyak yang terkesima dengan kultur modern. Beragam kesenian tradisional mulai ditinggalkan karena dianggap kuno. Seolah tidak sesuai dengan semangat zaman.

Ikhtiar yang dilakukan Usman kemudian dengan mengajak anak-anak muda untuk mempelajari dadendate. Pasalnya usia para personel grupnya sudah tak muda lagi. Terkumpul kemudian keponakannya, Similia, bersama Maujuri, Rolan, Safira, dan Wulandari. Para generasi penerus ini sudah pernah ikut menampilkan dadendate dalam beberapa kegiatan. 

Sebagai penerima Anugerah Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Usman bertekad terus melestarikan dan mengajarkan dadendate. “Sampai akhir hayat saya akan terus mencoba melestarikan dan mengajarkan dadendate. Saya tidak ikhlas apabila dadendate hilang dari bumi ini,” tegasnya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
9
Jatuh cinta
3
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Pemanasan Komunitas Seni Tadulako sebelum tampil di Festival Budaya Panji 2024
Pemanasan Komunitas Seni Tadulako sebelum tampil di Festival Budaya Panji 2024
Komunitas Seni Tadulako akan membawakan pertunjukan berjudul "Tadulako Memeas" yang diangkat dari cerita Suku Lauje…
TUTURA.ID - Empat kebudayaan Sulteng ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Empat kebudayaan Sulteng ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Kebudayaan Sulteng yang jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia kian bertambah lisnya. Ada empat produk…
TUTURA.ID - Menyuguhkan nyanyian rakyat Lembah Sigi dengan sentuhan modern
Menyuguhkan nyanyian rakyat Lembah Sigi dengan sentuhan modern
Langkah awal PAPPRI Sigi melestarikan lagu-lagu rakyat yang mulai terlupakan. Merilisnya dalam album kompilasi Nyanyian…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng