
Sejak 31 Oktober 2017, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah menetapkan Kisah Panji sebagai warisan budaya "Memory of The World" alias Ingatan Kolektif Dunia.
Kisah Panji yang berasal dari era Kerajaan Kadiri (1042–1222) awalnya ditemukan dalam naskah-naskah kuno karya para pujangga. Isinya cerita tentang Raden Panji Asmorobangun.
Sekarang Kisah Panji mencakup berbagai bentuk seni rupa, mulai dari wayang, bentuk ekspresi, dan tradisi lisan. Ceritanya juga punya banyak versi yang menyebar hingga ke Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina.
Pun demikian, Kisah Panji selalu punya kesamaan makna berupa pesan politik yang merakyat, keteguhan hati, dan kesetiaan. Menggambarkan pula tentang kesetaraan gender dan welas asih.
Warisan budaya adiluhung ini tentu saja harus terus dilestarikan, salah satunya melalui Festival Budaya Panji yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Rencananya Festival Budaya Panji 2024 berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, 22–24 Oktober. Tahun ini mengangkat tema “Cerita Panji dalam Keragaman Budaya Nusantara”.
Festival ini akan menampilkan 10 karya seni yang telah dikurasi oleh tim juri berpengalaman dan melibatkan seniman lintas disiplin sebagai mentor, seperti Herry Dim (seni rupa), Epi Martison (etnomusikologi), dan Ismail Basbeth (sineas).

Salah satu peserta Festival Budaya Panji 2024 adalah Komunitas Seni Tadulako dari Palu. Mereka akan memainkan seni pertunjukan teater berjudul “Tadulako Memeas”.
Presentasi awal Komunitas Seni Tadulako sebelum bertolak ke Jakarta adalah mementaskan “Tadulako Memeas” di Aula Taman Budaya dan Museum Provinsi Sulawesi Tengah, Jalan Kemiri, Kelurahan Kamonji, Palu Barat, Sabtu (5/10/2024).
Karya ini diangkat dari cerita Suku Lauje yang merupakan saduran dari buku berjudul “Vuyul Punsu Negunggun”.
Ceritanya tentang putra dan putri Raja Babolo yang bernama Vulang Nembua dan Madiang Galang. Mereka terpaksa meninggalkan kerajaan akibat kalah dalam perang.
Kedua putri tadi ditemani La Gilot sebagai panglima perang berlari dari kejaran musuh, lalu akhirnya masuk ke dalam hutan. Setelah keadaan aman, mereka pun membuka lahan yang dinamai dengan nama Desa Punsu.
Singkat cerita Vulang Nembua bertemu seorang perempuan dari langit yang memberinya seekor burung. Ia menamakan burung itu Wayang. Kisah “Tadulako Memeas” mengandung makna ketangguhan, kesabaran, kesyukuran, dan kesetiaan dalam perjuangan hidup.

Tak mudah bagi Komunitas Seni Tadulako bisa terpilih mengikuti Festival Budaya Panji 2024. Mereka harus mengikuti jalur seleksi terbuka dan melewati proses kurasi yang ketat.
"Sulteng ternyata dapat bicara banyak dalam persoalan panji ini," kata Hapri Ika Poigi selaku pendiri Komunitas Seni Tadulako saat ditemui Tutura.Id seusai pertunjukan.
Komunitas Seni Tadulako menjadi salah satu dari tiga perwakilan terpilih yang berasal dari luar Pulau Jawa, selain Bali dan Kalimantan Selatan.
Prosesi pengkaryaan ini terbilang cukup berat sebab melalui proses riset yang mengharuskan tim datang langsung ke tempat permukiman Suku Lauje di Kecamatan Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Selama di sana mereka banyak menggali kembali cerita rakyat untuk pentas seni ini.
Dituturkan Hapri Ika Poigi, keterikatan antara manusia dan alam sangat penting dalam kebudayaan Suku Lauje. Apalagi bila melihat kondisi saat ini di mana terjadi kemerosotan ekologis.
Mengingat Sulteng punya banyak cerita rakyat atau tradisi lisan, Hapri yang juga Ketua Dewan Kesenian Sulteng berharap pemerintah daerah lebih memperhatikan kekayaan budaya lokal masyarakat.
Festival Budaya Panji Kisah Panji Komunitas Seni Tadulako teater Tadulako Memeas budaya Suku Lauje kesenian tradisional cerita rakyat tradisi lisan Dewan Kesenian Sulteng UNESCO