Khawatir melihat minat terhadap seni musik rakyat yang kian meredup, Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Kabupaten Sigi berinisiatif membuat kompilasi lagu-lagu rakyat bertajuk "Nyanyian Lembah Sigi".
Album kompilasi yang dirilis sejak Juni 2023 lalu ini berisikan lima lagu yang tumbuh bersama rakyat di Lembah Sigi sejak dahulu kala. Masing-masing band melakukan aransemen ulang ke dalam tiap lagu dengan penggunaan instrumen modern agar semakin mendekatkannya dengan kaum muda.
Peluncurannya sudah dilakukan saat Sigi menjadi tuan rumah Festival Lestari V yang berlangsung tahun lalu. Senin (8/7/2024) malam, PAPPRI Sigi dengan sokongan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII giliran menggelar “Nyanyian Lembah Sigi Expo: Suara Inspirasi Generasi Indonesia (S.I.G.I)" di 168 House, Jalan Setia Budi, Besusu Tengah, Palu.
"Malam ini menjadi showcase pertama kompilasi lagu-lagu ini. Penampilan ini juga jadi momen pemajuan kebudayaan," kata Ketua DPC PAPPRI Sigi Yudi Nugraha kepada Tutura.Id usai acara.
Dalam konteks musik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan secara eksplisit menyebut bahwa musik tradisional wajib dilindungi kelestariannya. Pun membentuk karakter bangsa, ketahanan budaya, kesejahteraan, dan diplomasi budaya.
Selain musik sebagai suguhan utama, “Nyanyian Lembah Sigi Expo” juga menghadirkan Hapri Ika Poigi dan Smiet Lalove, dua tokoh yang mendedikasikan diri melakukan kerja-kerja kesenian daerah. Kedua tokoh ini menjelaskan sedikit riwayat masing-masing lagu yang dibawakan ulang. Pun memberikan respons terhadap para penampil.
Hapri selaku Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Tengah mengatakan, upaya yang dilakukan PAPPRI Sigi dan band-band yang terlibat dalam album kompilasi ini patut mendapatkan apresiasi. Smiet berharap Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII mencari tahu siapa pencipta asli lagu-lagu rakyat yang dibawakan kembali dalam album kompilasi Nyanyian Lembah Sigi. “Supaya kredit pencipta lagunya bukan cuma ditulis NN alias no name,” ujar Smith.
Acara yang dijadwalkan berlangsung 19.30 Wita, molor hingga satu setengah jam kemudian. Masing-masing band dapat jatah tampil membawakan dua lagu. Selain lagu yang terdapat dalam album kompilasi Nyanyian Lembah Sigi, mereka juga bisa membawakan lagu karya sendiri.
Aransemen tradisional dan modern tergabung menjadi alunan musik yang cukup menarik. Selain itu, nilai sejarah dan budaya di dalamnya juga sangat kental.
Dynastee membuka penampilan malam itu dengan tembang berjudul "Tendo-Tendo". Lagu ini adalah sebuah panggilan sayang antara sepasang kekasih, yakni Yama dan Dati, serta sebagai syair cinta dan rindu kepada pasangan hidup.
Pun juga sebagai pujian atas pesona muda-mudi Sigi yang giat bekerja, ramah, dan gagah. Hal yang begitupun tercermin dalam kekayaan alam, adat, dan seni di Sigi yang layak untuk selalu dirindukan.
Berpadu dengan bunyi-bunyian kakula, penampilan pembuka oleh Dynastee cukup mampu memantik suasana.
Penampilan selanjutnya diisi oleh Coffee Project yang membawakan "Tonjo-Tonjo Hai Bemba" dan Keti Keti Dodio" yang digabung alias mash-up.
"Tonjo-Tonjo Hai Bemba" biasanya jadi pengiring permainan anak, sedangkan "Keti Ketika Dodio" adalah syair yang kerap dilantunkan orang tua sebagai bentuk kasih sayang mereka sambil menggelitik anak-anaknya.
Sembilan personel Coffee Project terbilang berhasil memadukan secara apik instrumen modern dengan tradisional yang terdiri dari kakula, gimba, dan lalove. Terselip nuansa genre fusion jazz dalam aransemen mereka.
Bersajak menjadi pengisi berikutnya. Mengusung genre alternative progressive, kelompok ini membawakan nyanyian bertajuk "Tindua". Serupa dadendate, tak ada lirik tetap dalam lagu ini. Liriknya bersifat spontanitas, bergantung situasi namun tetap sesuai dengan notasi yang ada. Biasanya dinyanyikan kala pesta pernikahan, masa panen, dan perayaan lainnya.
Giliran Aci's Project yang mengisi panggung pertunjukan. Lagu berjudul "Ina Ina Riumba Colo" jadi sajian mereka. Notasinya diserap dari "Bersuka Ria" ciptaan sang Proklamator, Soekarno, yang populer pada dekade 60-an. Tembang ini lekat dengan nuansa gembira serta jenaka, ditambah dengan lantunan secara berima. Dibawakan dengan nuansa reggae, lagu ini berhasil mengajak para penonton ikut bernyanyi bersama.
Kodara menjadi penampil pamungkas. Tampil dengan kostum berwarna hijau cerah, kuartet yang mengusung hip metal ini membawakan lagu "Janda Muda Bebase". Lagu ini berkisah tentang kerinduan terhadap orang terkasih yang tak kunjung terlihat lagi.
Selama dua jam, menyaksikan lima band yang tampil dengan warna musik dan pendekatan aransemen berbeda dalam merespons folk songs di Lembah Sigi terasa sebuah sajian spesial. Ikhtiar yang sudah sepatutnya dilanjutkan. Agar kekayaan khazanah lagu-lagu tradisional dan lagu rakyat di Sigi bisa tetap lestari.
"Masih ada lagi. Rencananya tahun ini dan bukan hanya nyanyian rakyat, tapi juga bunyi-bunyian alat tradisional, seperti lalove dan raego. Karena banyak jenisnya dua itu. Nantinya kami rekam. Sekarang sedang kami kumpulkan bahan-bahannya. Menyesuaikan situasi dan kondisi," pungkas Yudi.
PAPPRI Sigi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII musik album kompilasi Nyanyian Lembah Sigi lagu rakyat kesenian tradisional Festival Sigi Lestari pemajuan kebudayaan