Sejak tahun 2013, ada 26 kebudayaan asal Sulawesi Tengah (Sulteng) yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.
Penetapan itu dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Perlindungan Kebudayaan RI.
Satu dekade kemudian, bertambah lagi empat kebudayaan asal Sulteng yang akan resmi ditetapkan sebagai WBTB Indonesia. Ini akan menggenapkan jumlah kebudayaan Sulteng sebagai WBTB menjadi 30 kebudayaan.
Empat warisan budaya Sulteng yang terpilih sebagai WBTB Indonesia, yaitu seni bertutur kayori, bangunan adat lobo, seni musik karambangan, dan tradisi pengobatan tradisional momago.
Kepala Bidang Perlindungan dan Pelestarian Kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah Iksam Djorimi mengungkapkan, empat warisan budaya Sulteng dinyatakan lolos presentasi oleh tim Direktorat Kebudayaan dalam Sidang Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Tahun 2023.
Iksam menjelaskan sesuai dengan UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, ada 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang mana setiap kabupaten/kota diwajibkan membuat usulan kebudayaan.
Usulan tersebut dapat berupa tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, seni, bahasa, adat istiadat, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
"Empat warisan budaya tadi telah diseleksi dianggap memenuhi syarat berlevel nasional dari sekian ribu pencatatan. Kewajiban kita adalah menjaganya, bukan sekadar mengejar penghargaan, tapi apa usaha kita untuk mencapai sustainable," ujar Iksam saat ditemui di ruangannya, Selasa (5/7/23).
Sebagai tindak lanjut, Iksam akan terbang ke Jakarta untuk untuk menerima penyerahan Surat Keputusan (SK) dan sertifikat WBTB pada Oktober 2023.
Berikut sekapur sirih tentang empat peninggalan kebudayaan Sulteng yang akan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Kayori
Kayori adalah sebuah sastra lisan seni tutur yang digunakan sebagai alat komunikasi antar masyarakat Suku Taa, Kabupaten Tojo Una-Una.
Dahulu kala, kayori digunakan sebagai bahasa keseharian yang terkesan menyembunyikan atau menyamarkan maksud tertentu.
Seiring berkurangnya kemampuan generasi muda menggunakan bahasa Taa, kayori akhirnya hanya dipakai sebagai alat komunikasi adat.
Kayori berupa lirik-lirik bermakna yang diambil dari bahasa Taa halus. Syair-syair kayori juga sering digunakan sebagai sarana seni dalam perayaan moraa, tradisi yang dilakukan masyarakat saat panen padi.
Perayaan moraa merupakan ungkapan syukur atas berkah panen kepada Allah SWT atau Pue Alla Taala atau Tong Rao sebagai pencipta alam semesta .
Lobo
Lobo adalah salah satu bentuk bangunan tradisional Suku Kulawi yang bermukim di Kabupaten Sigi.
Bangunan ini memiliki peranan sebagai tempat berkumpulnya para panglima, pemuka adat, atau para pemimpin yang biasanya membicarakan strategi perang.
Secara konstruksi, bangunan ini terbuat dari kayu dengan ukuran luas 8 x 12 meter. Selain itu, pada bagian depan dan belakangnya terdapat tangga.
Material atapnya terbuat dari sirap kayu dan dari ijuk atau alang-alang yang dirangkai merapat.
Dari segi sistem pemasangan menggunakan sistem knock down alias bongkar pasang. Antara kayu satu dengan lainnya diikat menggunakan tali rotan.
Tiap penghubungnya menggunakan sistem cathokan yang akan saling mengunci bila dipertemukan. Beberapa tiang menggunakan sistem pasak. Oleh karena itu, bangunan ini tak menggunakan paku sebagai penyambung.
Keberadaan bangunan tradisional lobo dalam masyarakat Kulawi saat ini terancam hanya tersisa cerita.
Adanya pergeseran nilai-nilai budaya, moderinsasi, serta belum lengkapnya data tentang arsitektur tradisional lobo menjadi masalah.
Perlu segera dilakukan usaha pelestarian kebudayaan daerah melalui inventarisasi, dokumentasi, serta pengkajian terhadap bangunan tradisonal ini.
Karambangan
Karambangan berasal dari kata mongkare dalam Bahasa Pamona yang berarti memetik atau mengutik.
Dalam hal ini karambangan berarti permainan gitar tunggal dengan irama tradisional dalam bentuk petikan.
Para pemuda Poso biasanya melahirkan permainan gitar tunggal dengan lebih menonjolkan irama etnis Pamona yang disebut mompenggongi. Sekarang lebih lebih dikenal dengan istilah karambangan.
Sekitar tahun 1950-an, karambangan ini mulai diperkenalkan di Poso, tepatnya di Desa Mapane oleh seniman Ambo Rappe.
Sementara permainan gitar tunggal kemayoran diperkenalkan oleh Mantra G. Lamba, serta permainan bunga oleh kaum pendatang yang berasal dari Sangihe.
Pada sekitar tahun 1970-an, musik karambangan sempat dikomersialkan secara lokal. Baru sekitar tahun 1980-an musik ini menyebar ke seluruh desa yang ada di Kabupaten Poso.
Karakteristik musik karambangan, terutama di wilayah Poso, ditandai dengan penggunaan sukat 2/4 dan 4/4, serta tangga nada diatonis mayor (terminologi musik barat).
Penyanyi dalam karambangan membawakan lagu dalam gaya pop dengan tekstur homofonis, melodi pada satu suara (biasanya sopran).
Sementara suara-suara lain hanya sebagai suara subordinat dimana arah melodi sangat dipengaruhi suara pokok.
Harmonisasi antara penyanyi laki-laki dan perempuan bergerak sejajar dalam nada ters (interval nada dari nada satu atau do ke nada ketiga atau mi). Syair dalam musik karambangan berupa kayori dan ledoni.
Momago
Momago merupakan bentuk ritual pengobatan tradisional yang hingga kini masih bertahan di Kabupaten Morowali.
Ritual ini dilakukan Tau Ta’a Wana (orang yang tinggal di hutan). Tujuannya untuk mengeluarkan makhluk gaib jahat dari tubuh orang sakit yang oleh masyarakat adat menyebutkanya to mongoyo.
Momago biasanya dilakukan pada malam hari. Sekitar pukul 19.00 atau sesudah makan malam. Pasalnya, malam hari diyakini lebih mudah mengundang mahkluk gaib untuk hadir dalam ritual pengobatan tersebut.
Selain alasan tadi, siang hari digunakan untuk menyiapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan dalam ritual.
Ritual ini menggunakan iringan alat musik dari gendang (ganda) dan gong (nggongi) yang diyakini dapat memanggil makhluk gaib agar datang dalam ritual momago.
Sedangkan bahan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ritual ini berupa kemangi wunga, pinang (fua), sirih (tampuno), kapur, air tape beras (baru fea).
Keenam bahan tersebut diletakkan dalam sebuah baki atau lango (alat untuk menapis beras) dan dilengkapi dengan kulit jagung untuk pembungkus rokok atau. tembakau
Bahan-bahan ini digunakan untuk memberikan kekuatan pada walia (dukun). Selain itu disediakan juga cangkir untuk minuman fea dan kain atau baju sebagai tanda terima kasih.
Adapun kain berukuran kecil (slimbu/polonsu) yang digunakan walia untuk mengeluarkan penyakit disebut myali rangsong.
Pelaksanaan momago tidak hanya dilakukan ketika ada panggilan dari warga untuk mengobati kerabatnya yang sakit.
Ketika zaman memasuki era modern, ritual momago tetap ditampilkan dalam acara-acara seremoni pemerintahan, semisal penyambutan orang-orang penting dan festival seni budaya.
kebudayaan Sulteng kayori lobo karambangan momago warisan budaya tak benda Kemdikbud kesenian tradisional rumah adat pemajuan kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi Sulteng perlindungan dan pelestarian kebudayaan