Selama 23-25 Juni 2023, Taman Taiganja di Kalukubula, Kabupaten Sigi tampak ramai. Ruang terbuka hijau nan anyar itu jadi lokasi terselenggaranya Potomu Ntodea alias pasar warga yang jadi bagian dari Festival Lestari 5.
Sejumlah stan mini dari berbagai usaha warga berdiri di sana. Para pengunjung pun bergantian menyinggahi pelbagai stan tersebut. Satu stan nan unik ialah milik Yayasan Aksi Konservasi Celebica, yang memajang sebuah akuarium di pondokan mininya.
Akuarium itu sepintas tampak kosong. Namun bila diperhatikan lebih detil, tampak beberapa udang kecil berenang hilir mudik. Udang-udang itu memang punya tubuh mikro. Panjang tubuhnya hanya sekitar lima milimeter, seperti panjang kuku pada kelingking orang dewasa.
Itulah Caridina Linduensis. Udang endemik asal Danau Lindu. Masyarakat lokal menyebutnya Lamale. Istilah tersebut memang dipakai oleh warga di Lembah Tadulako untuk menyebut spesies udang mini seukuran kuku atau jari orang dewasa.
Caridina Linduensis pertama kali ditemukan oleh duet naturalis dan etnolog berkebangsaan Swiss, Paul dan Fritz Sarasin, pada awal 1900-an.
“Sejak ditemukan pada 1902 sampai dengan 2022, belum pernah ada laporan berapa jumlah populasi udang ini di Danau Lindu, sehingga kami melakukan survei dan kami dapatkan data terkait populasinya sekitar 500 individu,” kata Diky Dwiyanto (26), salah seorang penggiat Yayasan Aksi Konservasi Celebica.
Diky menyebut bahwa data populasi semacam ini penting untuk mengukur tren populasi satwa di ekosistem Danau Lindu dan Taman Nasional Lore Lindu.
Adapun Yayasan Aksi Konservasi Celebica memang berfokus pada isu pelestarian hewan dan tumbuhan endemik di Kawasan Walacea--sebuah batasan biologis yang membedakan karakteristik antara hewan-hewan (terutama di Sulawesi) dengan daerah lain di Indonesia.
Lamale terancam punah
Merujuk ICUN Red List, sebuah direktori flora dan fauna terlengkap di dunia, Caridina Linduensis masuk kategori “Critically Endangered” alias terancam punah. “Status itu hanya tiga tahap sebelum dinyatakan punah,” ujar Diky.
Pengajar di Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Univesitas Tadulako Tojo Unauna itu menyebut bahwa pihaknya tak sekadar melakukan pendataan populasi. Lebih dari itu, sebut Diky, penting pula untuk memberikan pemahaman kepada warga di sekitar Danau Lindu.
Pada masa lampau, Lamale memang kerap dijadikan umpan untuk memancing. Yayasan Aksi Konservasi Celebica pun mencoba untuk mengadakan sesi-sesi edukasi bersama masyarakat lokal untuk menghindarkan Caridina Linduensis dari kepunahan.
“Setelah kami menemukan titik-titik populasi Lamale, kami juga membuat semacam papan informasi bahwa daerah ini merupakan habitat pelestariannya,” ujar Diky.
Ancaman atas Caridina Linduensis juga datang dari satwa lain yang jadi predator, misalnya ikan jenis lele, mujair, dan gabus yang juga hidup di Danau Lindu.
Proses reproduksi alias kembang biaknya juga tak bisa dibilang mudah. Lamale bisa memproduksi 18-40 telur, tetapi rerata hanya 50 persen yang bisa hidup. “Biasanya saat fase larva (bentuk muda) sudah dimakan sama ikan-ikan yang jadi predatornya,” ucap Dikky.
Yayasan Aksi Konservasi Celebica, menurut Diky, juga punya mimpi agar Lamale bisa pula menghasilkan nilai ekonomi bagi warga sekitar. Antara lain dengan menjadikan Lamale sebagai satwa hias, seperti yang mereka sajikan dengan akuariaum di Potomu Ntodea.
“Untuk mencapai ini perlu kerja sama. Selain lembaga seperti kami, pemerintah juga perlu ambil peran,” ujarnya.
Caridina Linduensis danau lindu taman nasional lore lindu udang satwa satwa endemik riset festival lestari 5