Kota seharusnya inklusif dan aksesibel untuk semua, termasuk bagi penyandang disabilitas yang seringkali terabaikan dalam pembangunan dan masyarakat. Segala prasarana umum hendaknya tidak hanya memanjakan satu pihak tertentu, sementara yang lain justru kesulitan.
Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas telah menegaskan di dalam Pasal 18, huruf (a); Penyandang Disabilitas berhak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; dan (b) Penyandang Disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.
Lalu dalam Pasal 27 Ayat 1 juga disebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi tentang pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 52/2019 tentang Penyelenggaraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas mengatur lebih rinci terkait aksesibilitas.
Pasal 21 Ayat 2 dalam UU tersebut menyatakan bahwa pelayanan aksesibilitas dilakukan dengan cara penataan lingkungan fisik dan nonfisik. Sementara Ayat 3 berbunyi, “Pelayanan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait, gubernur, dan bupati/wali kota.”
Walaupun UU dan PP telah hadir untuk menjamin partisipasi secara penuh dan efektif penyandang disabilitas dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak, kenyataannya tetap saja ada diskriminasi.
Contoh paling dekat dan gampang coba lihat ada berapa toilet yang ramah terhadap penyandang disabilitas di area-area umum kota ini? Sebut misal di Taman GOR dan Vatulemo.
Belum lagi jika kita mempertanyakan ketersediaan infrastruktur serupa di gedung atau kantor pelayanan publik dan area perbelanjaan. Seolah penyandang disabilitas tak kenal yang namanya buang air.
Padahal kriteria teknis pembangunan toilet ramah difabel sudah ada dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.
Sultan selaku Wakil Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulteng angkat bicara soal ini. Ia menuturkan bahwa fasilitas penunjang disabilitas di Kota Palu sekarang masih di bawah 50%.
Ikhtiar paling kentara mungkin guiding block alias jalur pemandu warna kuning yang sudah terpasang di beberapa trotoar jalan, semisal sebagian Jalan R. A. Kartini, Palu Selatan. Itu pun menurut hemat Sultan masih harus ditinjau kembali.
“Karena guiding block di beberapa trotoar menyatu dengan besi drainase. Juga tidak ada penunjuk lain sehingga bisa membuat pengguna penunjuk arah kebingungan,” jelasnya kepada Tutura.Id (11/1/2023)
Merujuk Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, guiding block terdiri dari dua tekstur; garis-garis dan bulat.
Tekstur garis-garis berarti penunjuk arah perjalanan yang dinilai sebagai jalur aman. Sementara tekstur bulat pemberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi di sekitar sehingga pengguna harus lebih waspada.
Jalur pemandu untuk penyandang disabilitas netra ini harus menjadi bagian dari fasilitas pelengkap jalan, laiknya lampu, halte, zebra cross, rambu lalu-lintas, maupun fire hydrant.
Penyandang disabilitas harus dilibatkan
Berdasarkan data Dinas Sosial yang termaktub dalam “Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka 2022”, jumlah warga penyandang disabilitas di Kota Palu hingga 2021 tercatat sebanyak 985 (disabilitas netra), 200 (wicara), 314 (tubuh), 271 (mental), dan 62 (ganda).
Sementara jumlah penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan sekitar 15% dari jumlah penduduk yakni 36 juta jiwa. Mereka semua punya kebutuhan yang sama dengan masyarakat pada umumnya.
Berpijak fakta tadi Bappenas RI mendorong kota-kota di seluruh Indonesia untuk segera memperbaiki inklusivitas dan jadi ramah bagi penyandang disabilitas.
Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Sulteng sebelumnya berjanji menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang lebih inklusi.
Hal ini juga sesuai amanat Peraturan Daerah Prov. Sulteng No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Oleh karena itu, dalam pertemuan penyusunan draf RPJMD di Aula BAPPEDA Prov. Sulteng (20/3/2021), turut diundang sejumlah perwakilan kelompok rentan dan organisasi masyarakat sipil.
Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu di Indonesia (GERKATIN), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI), dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) termasuk yang dilibatkan.
Perwakilan GERKATIN dalam pertemuan tersebut menyuarakan kebutuhan seperti perlunya penyediaan Jasa Bahasa Isyarat lebih luas di layanan publik, akses pendidikan yang inklusi hingga tingkat perguruan tinggi, serta akses mendapatkan pekerjaan.
Pemerintah Kota Palu saat ini juga sedang gencar memperbaiki fasilitas-fasilitas umum agar penyandang disabilitas dapat merasakan manfaat. Hadiyanto Rasyid sebagai wali kota terpilih punya 53 program, salah satunya “Palu Rumah Difabel” guna menjadikan Palu menjadi kota yang ramah bagi difabel.
“Program kita saat ini memang belum terasa. Insya Allah pada tahun 2023 apa yang kami rencanakan sudah mulai kita rasakan,” ungkap Wali Kota Palu Hadianto Rasyid.
Tentu segala niatan pemerintah daerah dan kota tadi bisa menjadi angin segar demi menjadikan kota ini ramah bagi semua warganya.
Hanya saja, lanjut Sultan, jika keterlibatan mereka dalam rencana pembangunan untuk penunjang disabilitas minim, atau dilibatkan tapi tak diindahkan, maka hasilnya nanti mubazir belaka.
“Coba lihat bangunan yang di Pasar Modern Bambaru setelah direvitalisasi itu. Teman-teman penyandang disabilitas agak kesusahan mengakses karena fasilitas penunjangnya di sana terlalu curam. Padahal alat penunjang itu ada standarnya,” ungkap Sultan.
Taman Nasional Bundaran Hasanuddin yang belum lama peresmiannya kembali setelah dilakukan proses penyegaran juga punya problem identik. Tidak inklusif. Bahkan guiding block di taman yang katanya jadi ikon baru ibu kota provinsi Sulteng itu pun tak ada.
Padahal seharusnya penyediaan RTH bukan hanya sekadar memperhatikan fungsinya secara efektif dari sisi ekologis dan planologis, tapi juga sebagai salah satu fasilitas publik yang diperuntukan sebagai tempat kebutuhan sosial, sarana pendidikan, dan budaya yang disediakan oleh pemerintah.
Maka sebagai fasilitas publik sangat wajar jika RTH punya aksesibilitas untuk semua orang, termasuk bagi warga penyandang disabilitas.
Kealpaan tersebut menjadi masukan warganet saat dimintai sumbang saran dan ide oleh akun @palu.kota di Instagram terkait proyek revitalisasi Lapangan Vatulemo. Beberapa akun kasih usul agar kelak di taman tengah kota itu hadir fasilitas yang ramah bagi kawan-kawan difabel. Ada yang meminta agar Taman Vatulemo nanti terdapat pula jalur ramp yang dilengkapi handle sebagai alternatif selain anak tangga.
“Adanya penguatan dari peraturan daerah serta dilibatkannya kami juga menjadi harapan ke depan agar kita membangun Kota Palu ini menjadi ramah terhadap penyandang disabilitas,” pungkas Sultan.
penyandang disabilitas difabel ruang terbuka hijau ruang publik infrastruktur hak asasi manusia diskriminasi Provinsi Sulteng Kota Palu Taman Nasional Bundaran Hasanuddin Lapangan Vatulemo Taman GOR Pasar Bambaru guiding block jalur pemandu