Festival Kampung Lere perkenalkan sejarah dan kebudayaan
Penulis: Dimas Moko | Publikasi: 22 Oktober 2022 - 19:01
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Festival Kampung Lere perkenalkan sejarah dan kebudayaan
Suasana Festival Kampung Lere saat siang hari yang berlangsung di Jalan Tembang (Foto: Dimas Moko)

Kampung Lere punya tempat penting dalam sejarah Kota Palu. Wilayah ini diyakini sebagai titik pertama Syekh Abdullah Raqie alias Dato Karama menyebarkan agama Islam di Lembah Palu pada abad ke-17.

Pemerintahan Kerajaan Palu yang berpusat di Besusu juga akhirnya dipindahkan ke wilayah yang sebelumnya bernama Panggovia ini. Peristiwanya terjadi saat masa pemerintahan Yodjokodi, Raja atau Magau Palu ke-8. Yodjokodi menganggap Besusu sudah tidak aman lagi sebagai pusat pemerintahan lantaran masuknya tentara Kerajaan Belanda.

Kedudukan Kampung Lere sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu ditandai dengan pembangunan Banua Oge alias Souraja pada 1892. Hingga kini bangunan yang kala itu juga difungsikan sebagai rumah para anggota keluarga kerajaan masih berdiri kokoh. Letaknya di Jalan Pangeran Hidayat.

Tempat yang ditetapkan sebagai cagar budaya itu sempat beralih fungsi menjadi kantor Pemerintah Jepang selama periode 1942-1945. Tak lama setelah era kemerdekaan, tepatnya pada 1958, rumah besar ini sempat pula dijadikan markas dan asrama Tentara Nasional Indonesia.

Musabab pernah jadi pusat pemerintahan kerajaan, dulu banyak upacara-upacara adat yang berlangsung di kelurahan ini. Oleh karena itu, wilayah ini dulunya dikenal dengan sebutan Panggovia yang berarti melaksanakan atau membuat.

Berdasarkan keterangan situsweb BKKBN, kampung ini sempat pula bernama Panggona sebelum era pendudukan Belanda.

Perubahan nama menjadi Lere disebabkan banyaknya tumbuhan Ipomoea pes-caprae alias katang-katang di sepanjang pesisir pantai. Lidah orang lokal menyebut tanaman merambat di atas pasir yang bunganya berwarna ungu ini dengan nama lalere.

Status kampung berubah menjadi kelurahan merujuk keputusan Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 1072/ Kep/1981.

Usai peristiwa bencana besar yang terjadi 28 September 2018, nama Lere jadi salah satu yang paling atas muncul ke permukaan. Pasalnya sebagian wilayah ini jadi salah satu yang paling parah terkena hantaman gelombang tsunami.

Rumah-rumah warga yang berjejeran di sepanjang Jalan Cumi-Cumi, mulai dari arah Jembatan Palu IV hingga ke Pantai Taman Ria, luluh lantak tergulung ombak raksasa. Tersebabkan posisinya yang bersemuka dengan Teluk Palu. Menyisakan sisa-sisa bangunan masjid terapung Arqam Baburahman sebagai saksi bisu.

Empat tahun setelah peristiwa memilukan yang merenggut banyak hal dalam kehidupan sosial, warga Kelurahan Lere berupaya bangkit melanjutkan hidup.

Para penyintas coba mengikis trauma sembari mengapungkan daya tarik daerah tempat tinggal mereka dengan mengadakan Festival Kampung Lere (FKL). Perhelatan yang baru pertama kali diadakan ini berlangsung di sepanjang Jalan Tembang (20-22/10/2022). Slogannya “Lere Posanu” alias “Lere Bersatu”.

Selain bersatu melupakan trauma bencana, FKL yang diinisasi oleh para anggota karang taruna setempat bertujuan mempromosikan warisan sejarah dan kekayaan seni budaya. Pun ingin mengikis stigma bahwa Lere merupakan wilayah yang kurang aman untuk dikunjungi.

“Dulunya orang banyak yang takut datang atau lewat ke sini lantaran ada anggapan orang Lere sangar. Istilahnya senggol bacok. Begitu menurut orang-orang. Kami ingin menghilangkan anggapan itu dengan adanya festival ini. Makanya kami tekankan kepada para warga untuk menjaga betul keamanan dan kenyamanan pengunjung,” kata Ridha Ramdhani selaku ketua panitia kepada Tutura.Id, Sabtu (22/10/2022).

Acara ini menyuguhkan agenda yang menonjolkan nilai budaya dan sejarah, seperti pertunjukan tari tradisional, pameran foto dan arsip bertajuk "Panggovia tempo dulu, Kampung Lere masa kini", serta jelajah wisata sejarah religi dan kebencanaan.

FKL juga memberi ruang kepada UMKM lokal, khususnya yang digerakkan oleh warga Kelurahan Lere, dengan menyediakan 60 stan penjualan berisi aneka jajanan tradisional Kaili dan pasar murah yang bisa dinikmati setiap pengunjung.

Ridha mengaku senang melihat antusiasme pengunjung yang selalu ramai datang, terutama ketika malam hari. Oleh karena itu, mereka berupaya menjadikan FKL rutin terselenggara saban tahun.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
1
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Tiga komunitas seni Kota Palu yang tetap eksis produksi teater
Tiga komunitas seni Kota Palu yang tetap eksis produksi teater
Hilangnya Gedung Golni akibat gempa dan tsunami 2018 silam, disusul dengan pandemi Covid-19, namun 3…
TUTURA.ID - Lovely Debora: Putri Danau Poso 2022, dan asa promosi pariwisata
Lovely Debora: Putri Danau Poso 2022, dan asa promosi pariwisata
Lovely Debora Tolembo bak hidup dalam mimpi masa kecilnya. Ia bisa ikut kontes kecantikan dan…
TUTURA.ID - Lima tahun setelah lindu melanda; suara dari huntara
Lima tahun setelah lindu melanda; suara dari huntara
Warga penyintas yang hingga hari ini terpaksa tinggal di huntara berharap segera pindah. Apa boleh…
TUTURA.ID - TPA Kawatuna diprediksi tak sanggup tampung sampah warga Palu
TPA Kawatuna diprediksi tak sanggup tampung sampah warga Palu
Kota Palu bermimpi raih Adipura. Di sisi lain, setumpuk perkara sampah menumpuk, termasuk TPA Kawatuna…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng