Gerak cepat menuntaskan demam keong
Penulis: Denthamira Rahmandha Kusuma | Publikasi: 11 Mei 2023 - 11:25
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Gerak cepat menuntaskan demam keong
Cacing Schistosoma japonicum, biang kerok demam keong, dilihat menggunakan mikroskop (Foto: Shutterstock)

Jangan teperdaya oleh pembungkus luar alias nama penyakit ini. Meski ada memuat nama keong, sesungguhnya biang keladi merebaknya kasus penyakit dengan nama ilmiah schistosomiasis adalah cacing parasit, salah satunya schistosoma japonicum.

Keong yang banyak ditemukan hidup di air tawar hanya menjadi perantara cacing jenis ini yang masih dalam bentuk larva. Setelah dua atau tiga pekan menumpang di tubuh keong, larva kemudian bertransformasi jadi serkaria.

Saat keluar dari keong—biasanya berhamburan di dalam air—serkaria akan mencari hospes alias rumah tumpangan baru. Pada fase inilah manusia bisa tertular jika melawati air atau hewan lain yang terkontaminasi sarkaria. Prosesnya dengan menembus permukaan kulit, lalu menyebar ke organ tubuh melalui pembuluh darah.

Penyebaran demam keong tak hanya mendominasi kawasan Afrika, tapi juga menjalar ke wilayah Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Asia, termasuk Indonesia. Kabupaten Poso dan Sigi di Sulawesi Tengah menjadi daerah dengan angka penderita terbanyak.

Mengutip Media Litbang Kesehatan Volume XX, Nomor 3, tahun 2010, penelitian tentang keberadaan penyakit ini di Indonesia dilakukan sejak 1940. Kala itu telah ditemukan kasus schistosomiasis yang menimpa warga Tomado, Dataran Tinggi Lindu, Kulawi, pada tahun 1935.

Lima tahun berselang, ditemukan bahwa 53% dari 176 penduduk daerah tersebut positif ditemukan telur schistosoma dalam tubuh. Upaya pemberantasan penyakit ini menggunakan berbagai metode kemudian dilakukan pada 1974. Hasilnya prevalensi jauh menurun, dari yang semula 74% menjadi 25%.

Pemberantasan intensif terus dilanjutkan kurun 1982-1988. Kali ini ditunjang berbagai penyuluhan dan pengadaan sarana kesehatan lingkungan. Ikhtiar tersebut berhasil lebih menekan angka prevalensi menjadi 1,51%.

Proses penyebaran penyakit demam keong (Sumber: www.cdc.gov)

Meski demikian, kendurnya sikap mawas diri para warga bisa saja mengatrol kembali prevalensi tadi. Ini yang terjadi sejak setahun belakangan di Poso dan Sigi. Kepala Dinas Kesehatan Sulteng I Komang Adi Sudjendra mengatakan dalam laman Republika (4/2/2023), kasus demam keong di Kabupaten Poso dan Sigi sejak tahun 2022 meningkat cukup signifikan dari 0,22 persen menjadi 1,4 persen.

Berdasarkan keterangan WHO (World Health Organization), penyakit ini menyebabkan demam berkepanjangan sebab cacing dapat hidup lama dalam pembuluh darah. Bagi orang yang bagus kekebalan tubuhnya, sistem imun akan melawan telur-telur cacing dan mengeluarkannya melalui tinja.

Gejala awal yang ditimbulkan biasanya demam, diare, berat badan menurun, dan gejala disentri. Sementara pada stadium menahun, tanda yang muncul lebih parah berupa kerusakan hati dan limfa. Jika tidak segera diobati bisa mengakibatkan kematian.

Demi menumpas penyakit schistosomiasis yang telah jadi endemi di Poso dan Sigi, Wakil Gubernur Sulteng Ma’mun Amir telah menginstruksikan Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng segera menyurati pemerintah kabupaten/kota agar membuat terobosan dan inovasi dalam penanggulangan demam keong. Upaya tersebut mendapat sokongan penuh dari WHO dan Tim Ahli Nasional Kementerian Kesehatan RI.

“Demam keong merupakan masalah kesehatan yang harus segera diselesaikan. Saya harap selanjutnya kita action di lapangan untuk menyelesaikan penyakit ini,” tegas Ma’mun dalam pertemuan “Implementasi Program Penanggulangan Schistosomiasis Tahun 2023” yang berlangsung di Swiss-Belhotel, Silae (4/5).

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala Jastal, S.K.M., M.si. saat ditemui Tutura.Id di Swiss-belhotel, Silae (Foto: Denthamira Rahmandha/Tutura.Id)

Dalam kegiatan itu, hadir pula Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala Jastal, S.K.M., M.si. Kepada Tutura.Id yang menemuinya saat rehat acara, Jastal menjabarkan bahwa upaya pengentasan demam keong sudah lama dilakukan. Hanya saja akan percuma jika hanya bertumpu dalam pemberian obat. Harus beserta kesehatan lingkungan.

“Setelah diobati orangnya akan sehat, tapi kalau lingkungannya masih ada keong yang infektif dan orang-orang masih beraktivitas di situ, maka sirkulasi penularannya juga berjalan terus tidak bisa dihindarkan,” tutur Jastal.

Agar bisa memutus rantai penyebaran penyakit ini, kolaborasi multi pihak harus terjalin. Tak hanya oleh pemerintah, dalam hal ini dinas kesehatan, tapi juga lintas sektor dan terpenting lagi kesadaran warga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Terlebih Pemerintah Indonesia sudah pasang target bebas demam keong pada 2025.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Bagaimana media membingkai peristiwa ledakan tungku smelter di Morowali
Bagaimana media membingkai peristiwa ledakan tungku smelter di Morowali
Publik harus senantiasa mengingat bahwa setiap pemberitaan tak lepas dari sudut pandang dan kepentingan redaksional…
TUTURA.ID - Cerita kesaksian pendamping korban kekerasan seksual
Cerita kesaksian pendamping korban kekerasan seksual
Empat praktisi bersaksi atas pengalaman mereka mendampingi korban kekerasan seksual. Tidak mudah. Keberpihakan kepada korban…
TUTURA.ID - Sunardi Katili: Segera tutup PLTU batu bara captive di Morowali
Sunardi Katili: Segera tutup PLTU batu bara captive di Morowali
Direktur Eksekutif Walhi Sulteng Sunardi Katili menilai Perpres 112/2022 tak berdaya mengintervensi industri yang menggunakan…
TUTURA.ID - Kisah dua kura-kura endemik Sulawesi yang terancam punah
Kisah dua kura-kura endemik Sulawesi yang terancam punah
Kehilangan habitat dan perburuan ilegal membuat keberadaan dua kura-kura endemik Sulawesi makin susah ditemukan.
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng