Jurnalisme bencana di Palu; tak boleh berhenti sekadar peristiwa
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 11 Desember 2022 - 20:29
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Jurnalisme bencana di Palu; tak boleh berhenti sekadar peristiwa
Mobil tergulung lumpur likuefaksi di Petobo, Palu, setelah bencana 28 September 2018. (Foto: Mickey-12/Shutterstock)

Dalam urusan produksi pengetahuan tentang kebencanaan, terutama setelah petaka 28 September 2018, Palu barangkali bisa disebut salah satu yang terdepan di Indonesia. Ahmad Arif, Jurnalis Kompas yang banyak menulis karya jurnalistik seputar kebencanaan, turut mengiyakan keunggulan Palu tersebut.  

“Dalam (produksi pengetahuan) kebencanaan, ketimbang Aceh, Palu selangkah lebih maju. Ada dimensi arkeologinya, Dimensi geologi, sejarah, atau budaya,” kata penulis buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah Bencana (2010).

Masalahnya, ketersediaan produk pengetahuan atau literatur (film, video, buku, musik, dst) belum berbanding lurus dengan meluasnya kesadaran warga. Situasi kian buruk, kata Ahmad Arif, lantaran perkara kebencanaan bukanlah prioritas utama pemerintah daerah. 

“Orientasi kepemimpinan masih kepada investasi tambang. Sedangkan menyelamatkan masyarakat dari bencana dianggap bukan investasi,” ujarnya. “Pada akhirnya, kesadaran kebencanaan beredar di tingkat elite. Elite intelektualnya, elite aktivisnya, elite akademisinya. Tapi belum ke masyarakat secara luas.”

Ahmad Arif menyampaikan perkara tersebut dalam sesi “Jurnalisme Bencana” di Festival Sastra Banggai 2022, Ruang Terbuka Hijau Teluk Lalong, Luwuk, Sulteng. Neni Muhidin, pegiat literasi yang berbasis di Palu, jadi moderator dalam sesi yang berlangsung pada Sabtu sore, 23 November 2022 itu.

Neni sempat memantik Ahmad Arif sebagai berikut, “Kita tinggal di wilayah rentan dan di dunia jurnalismenya kita yang sangat ‘peristiwa’, perbincangan tentang mitigasi atau pengurangan resiko itu sering kali tidak dapat ruang.”

Dalam perjalanan diskusi, Ahmad Arif sedikit banyak mengiyakan hal tersebut. Ia bilang menulis kebencanaan memang tidak dapat banyak tempat dalam media dan industrinya.

Ia masih ingat saat tulis soal tanah runtuh (Tondo) yang hilang karena tsunami. Saat itu, pada 2012 alias enam tahun sebelum bencana 2018, Ahmad Arif malah ditertawakan banyak orang. “Waktu itu, saya sudah menulis Palu ini bom waktu,” ujarnya. 

Pada kasus itu, jurnalisme bisa memainkan perannya sebagai alarm pengingat akan risiko bencana, sekaligus dilihat sebagai satu langkah mitigasi.

Masih berkutat pada peristiwa

Di tempat terpisah, pada Rabu sore (7/12/22), Tutura.Id bertemu dengan Yardin Hasan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu. Ia terdengar sependapat dengan pandangan yang menyebut “jurnalisme di Palu (atau katakanlah Sulawesi Tengah) sangat berpusat pada peristiwa.”

“Kita masih sebatas memberitakan bencana sebagai peristiwa. Kebanyakan kita bereaksi pada pemberitaan kebencanaan kalau misalnya ada korban. Wartawan di Palu yang menyiapkan karya jurnalistik sebagai langkah mitigasi, masih dihitung jari,” ujar Yardin.

Menurut Yardin, seharusnya jurnalisme bisa memberitakan lebih dari sekadar peristiwa bencana.  “Seperti di Sigi, yang jadi langganan (banjir), seharusnya kita bisa memberitakan apa yang jadi penyebabnya dan apa ikhtiar yang bisa dilakukan,” kata dia.

Di sisi lain, Yardin bilang bahwa jurnalisme bencana yang tak sekadar peristiwa bukan tak pernah dipraktikan di Palu. Ia kasih contoh Kabar Sulteng Bangkit, yang diinisiasi oleh AJI Kota Palu, beberapa saat setelah bencana gempa-tsunami-likuefaksi 28 September 2018. 

Tim redaksi Kabar Sulteng Bangkit yang berisi enam orang banyak memuat pengetahuan soal mitigasi bencana. 

Mereka menceritakan kearifan lokal macam area yang disebut para orang tua dulu sebagai “kinta” di Petobo. Area ini tak terusik saat wilayah Petobo justru diamuk likuefaksi. Pun demikian dengan benteng alam mangrove yang melindungi warga Kabonga Besar, Donggala saat tsunami datang.

“Jurnalisme warga juga kita tampung di Kabar Sulteng Bangkit kalau perspektif bencananya kuat,” sambung Yardin.

Lantaran terbit dalam situasi respons bencana, Kabar Sulteng Bangkit memilih hadir di media sosial--alih-alih situsweb apalagi media cetak. Media sosial dianggap lebih mampu menjangkau warga.

Hingga saat artikel ini terbit, Kabar Sulteng Bangkit punya 11 ribu pengikut setia di Facebook. Sayangnya, program ini berhenti beriring dengan selesainya program-program kebencanaan pascagempa Palu 2018. Akun itu terakhir kali kirim publikasi pada 13 November 2020. 

Menimbang jurnalisme bencana yang baik bukan tak pernah dipraktikan di Palu dan Sulteng, barangkali boleh saja menaruh harap hadirnya pemberitaan seputar kebencanaan nan bernas dan membantu meminimalisir risiko. Tak melulu berhenti pada peristiwa. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Nestapa para penyintas bencana di hunian sementara
Nestapa para penyintas bencana di hunian sementara
Para korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu terpaksa bertahan di hunian sementara selama…
TUTURA.ID - Jafar G Bua dan jalan pedang menjadi wartawan
Jafar G Bua dan jalan pedang menjadi wartawan
Selama menjadi wartawan, Jafar G Bua akrab meliput di daerah konflik. Pun demikian, prinsipnya tetap…
TUTURA.ID - Suara menolak RUU Penyiaran oleh jurnalis di Palu
Suara menolak RUU Penyiaran oleh jurnalis di Palu
Sejumlah wartawan di Kota Palu menggugat beberapa isi draf RUU Penyiaran. Berpotensi membungkam kebebasan pers…
TUTURA.ID - Serangan terhadap kemerdekaan pers di Sulteng meningkat
Serangan terhadap kemerdekaan pers di Sulteng meningkat
AJI Kota Palu mencatat ada tujuh peristiwa kekerasan terhadap wartawan terjadi di Sulteng kurun 2023.…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng