Serangan terhadap kemerdekaan pers di Sulteng terus terjadi saban tahun. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu mencatat ada tujuh insiden menghalangi tugas jurnalistik terjadi di Sulteng sepanjang 2023.
AJI Kota Palu bahkan dengan tegas menyebut jika peristiwa penyerangan ini sebagai bentuk kekerasan terhadap kebebasan pers. Dari laporan yang mereka terima pada tahun lalu, kekerasan verbal jadi kategori penyerangan yang paling marak terjadi.
Serangan verbal yang dialami para pencari berita ini mulai dari ancaman hukum, ancaman pemukulan, pengusiran, pelecehan seksual, hingga intimidasi plus persekusi.
Sedangkan dalam penelusuran Tutura.Id, perbuatan menghalangi kerja-kerja jurnalistik di provinsi berjuluk “Negeri Seribu Megalit” ini pada tahun lalu adalah yang terbanyak kurun lima tahun terakhir. Bahkan, terus meningkat sejak 2021.
Tahun 2021, AJI Palu mencatat lima kasus kekerasan terhadap “kuli tinta”—sebutan lawas bagi wartawan—di Sulteng.
Dua perkara paling disorot kala itu berupa ancaman pemidanaan terhadap wartawan di Buol dan insiden pemukulan oleh oknum polisi kepada Alshie Marcelina, wartawan sultengnews.com, kala meliput unjuk rasa di Palu.
Setahun berikutnya, AJI Palu kembali mencatat empat perkara kekerasan yang dialami beberapa wartawan di Sulteng.
Seorang perempuan jurnalis yang bekerja untuk Likein.id, Katrin, dilecehkan oleh oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kala meliput kegiatan di Kantor Wali Kota Palu.
Ada pula desakan pencabutan berita yang tayang di media Referensia.id, Harian Mercusuar, dan media.alkhairaat.id.
Fakta di atas seolah berseberangan dengan tujuan kemerdekaan pers yang termuat dalam Undang-Undang (UU) nomor 40 tahun 1999. Pers sebagaimana dijelaskan dalam UU tersebut berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Selain itu, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Sebagai bentuk konkretnya, pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Alih-alih jadi evaluasi, perkara yang menimpa insan pers justru bertambah bahkan tak semuanya diproses secara adil.
Koordinator Divisi Advokasi AJI Palu, Agung Sumandjaya, turut membenarkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan yang dialami wartawan di Sulteng berakhir dengan permintaan maaf. Ada juga perkara yang hanya berhenti pada tahap penyelidikan.
“Kadang penyidik (polisi) beralasan kurang saksi dan bukti. Sehingga tak bisa lanjut sampai pidana. Apalagi jika pelaku adalah oknum penegak hukum, seperti insiden pemukulan jurnalis oleh seseorang yang diduga merupakan aparat beberapa tahun lalu,” ungkap Agung kepada Tutura.Id, Kamis (4/1/2023).
Agung menyoroti perkara kekerasan yang menimpa Alshie Marcelina, jurnalis sultengnews.com, ketika sedang meliput demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja alias Omnibus Law,di depan gedung DPRD Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Palu, pada 8 Oktober 2020.
Insiden pemukulan terjadi ketika Alshie, Adhy Rifaldi (sultengnews.com), dan Windy (kailipost.com) berusaha mengamankan diri imbas ricuh antara massa aksi dengan kepolisian.
Bukannya diberi perlindungan, Alshie dan Adhy justru mendapat hantaman tangan. Sedangkan Windy terkena lemparan. Padahal mereka berada di barikade kepolisian.
“Kami (AJI Palu) berpendapat bila pelaku diduga adalah aparat maka hanya akan berakhir di sidang disiplin. Meski tak setimpal, tapi setidaknya ada efek jera bagi para pelaku,” ujar Agung.
Lihat postingan ini di Instagram
AJI Palu: Pelaku kebanyakan aparat negara
Dalam Catatan Akhir Tahun 2023, AJI Palu secara gambang menyebut jika pelaku kekerasan terhadap wartawan di Sulteng dilakukan oleh oknum aparat kepolisian, pegawai pemerintahan, hingga warga yang dibekingi elite lokal.
Menurut Agung, bila bercermin dari tujuh kasus di tahun 2023, rata-rata pelaku yang menghalangi tugas peliputan para wartawan justru bertanggung jawab sebagai petugas hubungan masyarakat (humas) di masing-masing instansi.
“Sangat tidak mungkin mereka tak paham tugas jurnalis yang dilindungi undang-undang. Kami yakin mereka terganggu dengan aktivitas jurnalistik teman-teman di lapangan. Padahal, kalau keberatan bisa diadukan ke Dewan Pers bukan dengan intimidasi apalagi kekerasan,” terangnya.
Merujuk rilis AJI Palu (31/12/2023), dari tujuh peristiwa serangan terhadap kemerdekaan pers di Sulteng, para pelaku merupakan dua oknum polisi, dua pegawai pemerintah daerah, massa pro elite politik, serta orang tak dikenal.
Tak hanya itu, wartawati (perempuan jurnalis) selalu masuk dalam lis korban kekerasan seputar kemerdekaan pers.
Jika ada pihak yang mengeklaim tak paham kaidah jurnalistik, sambung Agung, itu sebenarnya bisa dibantah.
Sebab, sejumlah organisasi wartawan di Palu, termasuk AJI rutin memberi materi seputar jurnalistik dan turut menyosialisasikan UU Pers kepada instansi pemerintah, TNI/Polri, hingga masyarakat.
Termasuk menyampaikan kaidah pengaduan jika ada pihak yang disebutkan dalam pewartaan, merasa kurang berkenan.
Soal kekerasan terhadap insan pers, lanjut Agung, AJI Palu berharap tak ada insiden berulang di masa mendatang. Pun, wartawan yang jadi korban kekerasan diminta tak menempuh jalan damai, sebab akan jadi preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Sulteng.
“AJI Palu akan terus bersuara terkait kekerasan terhadap wartawan, baik lewat pernyataan sikap atau penyampaian langsung ke pimpinan instansi terkait. Agar insiden serupa dapat diproses secara adil lewat hukum, bukan lewat permohonan maaf,” pungkasnya.
Perlu diketahui, sesuai pasal 18 UU Pers, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers terancam pidana dua tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Aliansi Jurnalis Independen AJI Kota Palu kekerasan terhadap wartawan kebebasan pers wartawan jurnalis media sulteng