Keadilan bagi pekerja rumah tangga sekarang juga
Penulis: Trisetiawan | Publikasi: 17 Februari 2023 - 14:49
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Keadilan bagi pekerja rumah tangga sekarang juga
Trisetiawan, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri di Badan Pertanahan Kota Palu.

Keadilan adalah tema yang tidak pernah selesai dibicarakan, ia semacam cita-cita yang sulit digapai atau bahkan tidak akan pernah terwujud secara utuh. Sifatnya yang terkesan utopis inilah yang mungkin membuatnya langgeng menjadi topik pembahasan dan terus-menerus diperjuangkan.

Tepat satu hari setelah hari kasih sayang, saya membaca satu berita soal perjuangan merebut keadilan. Sekelompok orang dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Sipil Untuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sedang mengusahakan nasib adil bagi para pekerja rumah tangga.

Mereka menuntut percepatan pengesahan UU PPRT yang mandek selama 19 tahun. Di Indonesia, UU PPRT memang sudah lama diusulkan. Namun tak tampak kemajuan berarti. Meski sudah melewati dua kali pergantian presiden, situasi tak banyak berubah. Jalan di tempat.

Padahal jika melihat statistik yang mencatat suburnya pertumbuhan profesi ini, harusnya menjadi bahan bakar tersendiri yang ikut mendorong percepatan RUU PPRT.

Misal data terakhir yang dihimpun International Labour Organization (ILO), sejak 2008-2015 jumlah Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia berkembang dari 2,6 juta menjadi 4 juta pekerja. Sementara, Jaringan Nasional Advokasi (JALA) mengestimasi jumlah PRT pada tahun 2021 naik menjadi 5 juta orang.

Perkembangan jumlah PRT ini tentu karena dorongan kebutuhan yang makin tinggi dan peranannya yang sangat penting. Jasa PRT secara tidak langsung telah banyak membantu pendapatan negara maupun siklus pasar. Bahkan untuk PRT yang bekerja di luar negeri, kita glorifikasi dengan sebutan pahlawan devisa negara.

Kehadiran PRT sangat dibutuhkan, terutama oleh rumah tangga kelas menengah ke atas, karena menyokong kebutuhan dasar mereka  sehingga bisa melakukan kegiatan produksi dengan lancar.

Coba bayangkan; mengapa para artis idola banyak orang bisa tetap tampil menawan dan prima menghibur? Apa yang membuat Cipung/Rayanza (anak Raffi Ahmad) bisa terlihat menggemaskan? Atau paling baru, apa yang bikin Nikita Willy menjadi role model parenting ibu-ibu masa kini?

Jawabannya karena pekerjaan domestik mereka sudah ditangani dengan baik oleh para PRT. Bekerja sebagai PRT barangkali bisa jadi sekrup utama dalam memuluskan perjalanan karir para public figure dan pekerja publik lainnya.

Tidak semua PRT juga bernasib baik bisa mengurusi urusan rumah Nikita Willy, atau keluarga Raffi Ahmad. Di luaran sana, jauh lebih banyak PRT bernasib sial, direndahkan, dan dipandang sebelah mata.

PRT melakukan aksi di depan kantor Kementerian Tenaga Kerja (2018) - Foto: Shutterstock

PRT dalam cengkeraman kekuasaan misoginis

Orang-orang yang memilih bekerja sebagai PRT umumnya adalah mereka yang tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan. Alhasil menjadi PRT semacam suratan takdir yang harus diterima. Problemnya, mereka menjadi PRT di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah negara yang tidak menyediakan perlindungan optimal bagi para PRT.

Indonesia bahkan baru secara formal menyebut profesi ini sebagai “pekerja” pada tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Ketenagaakerjaan Republik Indonesia. Sebelumnya, kita menyebutnya dengan pembantu/asisten rumah tangga.

Penyebutan itu tentu sebuah inisiatif baik. Tapi, apakah dengan perubahan penyebutan saja sudah cukup tanpa perubahan nasib lebih baik? Tanpa perlindungan hukum yang memadai?

Di sinilah letak pengabaian negara terhadap PRT. Selama bertahun-tahun tidak ada payung hukum yang melindungi PRT. Mereka dibiarkan berkutat sendirian dengan segala macam kerentanannya. Mereka dibiarkan berjuang sendiri keluar dari segala yang mengancam kehidupannya.

Tidak adanya jaminan hukum ini membuat para PRT tidak jarang mengalami kekerasan, eksploitasi, dan bahkan diperdagangkan. Termasuk tidak dipenuhinya hak-hak sebagai pekerja, mulai dari upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat, dan peningkatan kapasitas.

Segala penderitaan yang dialami PRT sama sekali tidak membuka mata pemerintah untuk menyegerakan perampungan RUU PPRT. Sikap acuh pemerintah itu bisa saja kita lihat dari kaca mata berbasis gender.

Pekerja rumah tangga yang didominasi perempuan mungkin ikut serta menjadi sebabnya. Dalam lintasan panjang sejarah, perempuan selalu terpinggirkan dan dianggap sebagai jenis kelamin kedua, alias “the second sex” jika kita hendak meminjam istilah pemikir feminis Prancis, Simone De Beauvoir.

Anggapan patriarkis mungkin pula menempel di kepala pemegang kebijakan yang sulit dihindarkan. Pasalnya, struktur kekuasaan juga dipenuhi oleh kerumunan laki-laki yang seringkali absen akan pengalaman perempuan. Alhasil kekuasaan menjadi misoginis, lantaran dibangun di atas dalil-dalil yang terlampau manly, sehingga tidak applicable terhadap perempuan. Lugasnya, kekuasaan kerap mengabaikan perempuan secara sadar atau tidak sadar.

Faktor-faktor tadi membawa mereka tiba pada kesimpulan jahat, bahwa apa pun pekerjaan yang identik dengan perempuan berarti adalah pekerjaan kelas kedua. Sehingga jangan heran pekerja-pekerja domestik menjadi terasa sulit mereka akui sebagai imbas dari bias gender.

Maka, hanya gerombolan patriarkilah yang menghambat dan menolak pengesahaan undang-undang ini. Hanya laki-laki menyebalkan yang menghambat perempuan punya pekerjaan lebih baik.

Upaya-upaya mendesak pengesahan RUU PPRT bukan tanpa usaha. Berbagai organisasi dan aliansi masyarakat sipil getol menyuarakan dan mengawal isu ini. Penundaan-penundaan berarti hanya menambah panjang jumlah korban pekerja rumah tangga.

Sudah saatnya bagi DPR RI untuk memperlancar perjalan RUU PPRT. Pemerintah RI juga perlu meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT sekarang juga!

*) Penulis: Trisetiawan, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri di Badan Pertanahan Kota Palu (PPNPN) Badan Pertanahan Kota Palu.
Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sepanjang 500-800 kata. Tulisan pada rubrik "Opini" merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
21
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kiprah para puan yang tak sekadar mengurusi pekerjaan domestik
Kiprah para puan yang tak sekadar mengurusi pekerjaan domestik
Kaum perempuan sejak dahulu sudah punya peran sentral dalam masyarakat. Mereka sekali lagi membuktikan itu.
TUTURA.ID - The Women Ride; mendobrak stereotipe gender di jalanan
The Women Ride; mendobrak stereotipe gender di jalanan
Sekumpulan perempuan asal Palu yang tergabung dalam The Women Ride ingin mendobrak stereotipe lawas bahwa…
TUTURA.ID - Suara menolak RUU Penyiaran oleh jurnalis di Palu
Suara menolak RUU Penyiaran oleh jurnalis di Palu
Sejumlah wartawan di Kota Palu menggugat beberapa isi draf RUU Penyiaran. Berpotensi membungkam kebebasan pers…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng