Bentuk permukaannya telah pipih nyaris seperti kertas, namun ia tetap kokoh dengan serat-serat halusnya yang merapat tanpa jahitan.
Ada manik-manik kecil berkumpul membentuk corak kepala kerbau di bagian permukaan dada.
Di bagian bawah, rumbai yang bersusun sebagai rok menutup paha dan kaki berhiaskan manik-manik dari kain berwarna cerah.
Lembaran-lembaran dari kulit kayu yang telah beralih rupa menjadi gaun tadi disebut waru ranta, pakaian adat wanita Suku Lore dari masyarakat yang mendiami lembah Bada, Kabupaten Poso.
Pakaian adat serupa, seperti halili (blus), badu tomuane (kameja), vevo (celana), topi (rok), dan sekitar 500 koleksi pakaian adat lainnya terpajang dalam pameran khusus kain dan baju tradisional masyarakat Sulteng. Berlangsung di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah sejak Senin, 29 Mei 2023.
Sulawesi Tengah salah satu dari enam provinsi di Sulawesi memiliki 12 etnis yang terdiri dari Suku Kaili, Kulawi, Tomini, Lore, Buol, Toli-Toli, Pamona, Saluan, Balantak, Banggai, Bungku, dan Mori.
Masing-masing suku tersebut memiliki pakaian adat tradisional yang unik. Semuanya terpajang dalam pameran sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam melestarikan berbagai wastra di Sulteng.
Keberadaan pakaian tradisional khususnya kain kulit kayu secara historis telah dikenal manusia sejak zaman prasejarah. Sekira 3700 tahun silam.
Jika ditelisik tradisi menenun sudah ada sejak era neolotikum. Salah satu fase pada masa prasejarah kala manusia telah mengenal budaya hidup menetap dan membuat berbagai perkakas dapur, semisal periuk, tembikar, termasuk kain kulit kayu.
Di tengah pengaruh perkembangan zaman yang membuat industri pakaian impor dan tekstil yang kian pesat, tradisi pembuatan kain tradisional masyarakat Sulteng masih dipertahankan hingga kini.
Pakaian dan kain kulit kayu yang menjadi hasil budaya masyarakat Kulawi dan Bada biasanya dikenakan dalam berbagai acara kesenian.
Novi, seorang pemandu khusus pameran, menjelaskan ada tiga jenis kain tradisional yang dikenal oleh masyarakat Sulteng.
Selain kain kulit kayu oleh masyarakat Pandere dan Kulawi di Kabupaten Sigi dan Masyarakat Lore di Kabupaten Poso, ada kain adat mbesa kidi-kidi hasil karya masyarakat Kabupaten Sigi.
Lalu tentu saja kain tenun Donggala yang menyebar di masyarakat Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
"Sebelum pakaian modern ini ada, pakaian tradisional inilah yang menjadi indentitas kita yang masih digunakan hingga sekarang. Di negara lain pakaian adat hanya tinggal koleksi. Kita di Sulteng masih ada yang membuat karena budaya kita tidak pernah berhenti," tutur Novi penuh semangat kepada Tutura.Id, Jum'at (2/6/2023).
Kain Kulit Kayu
Tradisi pembuatan kulit kayu masih dimanfaatkan masyarakat Sulteng sebagai perlengkapan upacara adat.
Kultur ini berkembang terutama di kalangan masyarakat yang tinggal di Lembah Bada, Lembah Behoa, Lembah Napu, dan Lembah Kulawi.
Empat lembah yang dihuni Suku Lore dan Suku Kulawi dengan beberapa subetnis mengelola dan mengembangkan pembuatan kulit kayu menjadi kain. Biasanya disebut vuya atau kumpe.
Praktik budaya yang berlangsung sedemikian lama tersebut memposisikan Sulteng sebagai salah satu penghasil utama kerajinan kulit kayu, selain Papua dan Kalimantan.
Tidak ada informasi spesifik tentang asal muasal tradisi pembuatan kain kulit kayu di Sulteng.
Di Kulawi, misalnya, konon nenek moyang mereka mengembara untuk berburu dan mencari lokasi pertanian sembari menjajakan vuya hingga ke Lembah Bada.
Kain-kain tersebut dipertukarkan dengan kerbau untuk di bawa pulang.
Sementara masyarakat Lembah Bada punya versi mitos yang lain.
Alkisah kain kulit kayu sebelumnya hanya digunakan untuk menutup bagian bawah tubuh.
Kemudian masyarakat Bada mulai membuat komo, semacam selimut untuk tidur. Terutama bagi mereka yang hidup di daerah pengunungan yang udaranya dingin.
Waktu itu masyarakat belum mengenal baju. Tradisi mengenakan baju masuk bersamaan dengan datangnya pedagang Portugis.
Hal ini mengilhami masyarakat Bada membuat baju dari kain kulit kayu yang kental dengan nuansa Portugis. Terlihat dari bentuk baju dan rok yang menyerupai gaun dengan renda-renda.
Tidak semua kayu bisa diolah menjadi kain. Hanya jenis kayu-kayu tertentu yang kulitnya biasa dijadikan vuya.
Biasanya dari jenis pohon beringin (nunu), pohon malo, dan ada juga yang memanfaatkan serat daun nenas.
Proses pembuatannya dimulai dengan merebus kulit kayu bagian dalam agar membuatnya lunak seperti kertas.
Kemudian dibungkus dengan daun pisang untuk difermentasi selama dua sampai empat hari.
Kulit kayu kemudian dipukul-pukul menggunakan peboba yang biasanya terbuat dari pohon enau agar seratnya lebih tipis.
Setelah itu dihaluskan lagi dengan ike yang terbuat dari batu jenis tertentu. Ike dibedakan menjadi beberapa jenis, mulai dari ike pehelai, ike pokero, ike pebengka, dan ike pepaupu.
Untuk mewarnai kain digunakan pewarna alam yang berasal dari tumbuhan, getah pohon, hingga lumpur (untuk menghasilkan warna hitam dan coklat).
Warna dan motif biasanya merujuk desa asal dan jabatan orang yang memakainya.
Pada tahun 2014, tradisi pembuatan kain kulit kayu di Sulteng telah disahkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kain adat mbesa
Mbesa adalah sebutan untuk kain tradisional masyarakat Kulawi, Sigi, yang terbuat dari kulit kayu.
Sekilas motif dan warnanya mirip dengan tenunan Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, dan Toraja di Sulawesi Selatan yang juga terbuat dari kulit kayu.
Ada kurang lebih 14 motif dalam mbesa, yakni rumbu lolo, sekomande, paritutu, paralonco, tiku lando, lowi-lowi, hirita, mori lotong, tali tobatu, lantam boko, sura langi, kidi-kidi, memburi taipa, dan memburi toru.
Pada masa lalu, mbesa turut menjadi perlengkapan saat perang. Untuk membedakan dengan prajurit musuh.
Selain itu, pakaian ini juga digunakan sebagai tanda kebesaran dan kebanggaan, contohnya saat dikenakan Raja Kulawi Tomai Torengke.
Tak jarang mbesa juga dimanfaatkan sebagai hiasan dinding dalam rumah adat Lobo, tempat orang berkumpul melaksanakan musyawarah sebelum berangkat perang.
Saat ini kain adat mbesa yang banyak dijumpai menyebar di masyarakat adalah produksi baru yang dibuat dengan produksi pabrik dengan motif cetak.
Kain tenun ikat Donggala
Tenun ikat Donggala masuk dalam salah satu kelompok tenun ikat pakaian di Indonesia. Diperkirakan sudah ada sejak periode abad ke-4 hingga abad ke-16 Masehi.
Sedangkan penerapan dalam pola hiasnya yang berbentuk garis-garis geometris merupakan pola hias yang sudah lebih dulu dikenal pada zaman prasejarah.
Pengaruh klasik dari motif pada kain tenun sarung Donggala masih mencari dan mempertahankan kepribadiannya.
Pada umumnya daerah pembuatan kain tenun Donggala berada di sekitar pantai yang terbentang dari Pantai Timur hingga ke Pantai Barat.
Berdasarkan teknik pembuatan dan corak kainnya, ada enam jenis sarung Donggala, yaitu Kain Plekat Garusu dan Buya Cura, Buya Bomba, Buya Subi, Buya Kombinasi Bomba dan Subi, Buya Bomba Kota, dan Buya Awi.
Terdapat dua alat tenun yang digunakan untuk membuat kain ini, yaitu Gedongan yang merupakan warisan peninggalan nenek moyang dan Alat Tenun Bukan Mesin ( ATBM).
Sarung tenun satu-satunya produksi tenun Gedongan dijadikan pakaian upacara sehingga setiap anggota keluarga harus memiliki sarung jenis ini walau hanya selembar.
Kain tenun ikat Donggala banyak digunakan saat menghadiri upacara adat, perkawinan, penjemputan tamu, hingga hari-hari besar keagamaan.
kain tradisional wastra kain kulit kayu tenun Donggala Suku Kaili Sulawesi Tengah Lembah Bada Kulawi Lore Lindu Poso Sigi Kota Palu pameran budaya Museum Provinsi Sulteng kearifan lokal upacara adat tradisi kultur kriya